Dia memanjat terus. Keringat di sekucur tubuhnya mulai menguap. Padahal udara malam cukup dingin. Bahkan kelewat dingin. Dingin khas awal kemarau. Di langit tak segumpal awan yang menampakkan diri. Semua menyisih ke horizon yang jauh. Bergumpal-gumpal seperti kapas di kaki langit.
Sepertiga dari ketinggian 200 meter itupun telah dicapainya. Sebuah prestasi yang tidak terlalu penting dicatat. Apa sih artinya dua pertiga yang sisa, jika memang ia memanjat tanpa tujuan. ?
Â
Tanpa tujuan ? Ah, seorang gila pun mungkin punya tujuan. Paling tidak, secara filosofis, tanpa tujuan itu sebenarnya juga adalah sebuah tujuan. Dan sekarang dua pertiga lagi dari ketinggian 200 meter itu ia akan sampai ke tujuan.
Di puncak menara itu memang banyak yang dapat menjadi tujuan. Ada penangkal petir yang menjadi incaran maling tiap malam. Jika dilelang di pasar loak bisa laku dengan harga yang lumayan. Selain itu banyak aluminium, besi tembaga, dan ya siapa tahu juga ... emas. Konon, alat-alat canggih yang dipasang di puncak menara itu ada yang berlapis emas. Tapi itu konon....
Tapi dia memanjat menara itu bukan niat untuk mencuri, sebagaimana lelaki malang yang digebuki warga beberapa waktu lalu karena ketangkap basah memanjat menara itu. Dia hanya memanjat saja. Sekadar untuk sampai ke puncaknya. Sekedar ingin menikmati suasana lain yang diharapnya dapat mengurai kegelisahan-kegelisahannya. Jadi tak ada alasan bagi warga untuk menggebukinya.
Tapi meski begitu salah paham bisa saja terjadi. Dan alangkah banyak korban salah paham, salah tangkap dan juga belakangan salah tembak yang sering terjadi. Masih ingat sengkong dan Karta, dalam kasus salah tangkap dan kemudian salah hukum. Puluhan tahun mereka mendekam dalam penjara dan kemudian terbukti tak bersalah setelah ada pengakuan dari pelaku yang sesungguhnya. Jadi ia memang mesti hati-hati untuk menghindar dari berbagai kesalahan yang dapat menimpanya.
Dua malam yang lalu dia sudah mulai memanjat. Tapi niatnya diurungkannya ketika kesibukan orang-orang di rumah Sunarti yang berjarak kira-kira 100 meter dari kaki menara itu dikhawatirkannya akan mengetahui niatnya. Dia tidak mau ada orang, apalagi orang banyak yang ikut campur dengan urusannya. Apalagi urusannya memang urusan pribadi. Benar-benar pribadi.
Menjatuhkan diri dari puncak menara dengan ketinggian 200 meter tentulah urusan pribadi, sepanjang tak ada yang campur tangan. Dan dua malam yang lalu dia memang berniat bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari puncak menara itu, pas ketika kekasihnya Sunarti sedang bersanding di pelaminan dengan pemuda pilihan orang tuanya. Ya, dia sakit hati. Sakit hati karena Sunarti, demikian rela mengikuti kehendak orang tuanya tanpa konpromi dengannya. Padahal dia sudah berjanji sehidup semati dengan Sunarti. "Tak ada yang bisa memisahkan kita kecuali maut !" demikian janji mereka saat bersama di puncak.
Tapi sekarang dia menyadari janji tidak selamanya bisa dipercaya. Sunarti telah menghianatinya. Sunarti tak bisa meyakinkan orang tuanya bahwa dia telah mengikat janji yang setia. Bahkan Sunarti seolah-olah mengejeknya, menganggapnya lelaki yang tak mampu bertanggung jawab.
Kali ini dia akan sampai ke puncak. Dia membayangkan bagaimana nanti saat detik-detik terakhir ia akan melepaskan pegangannya di puncak ketinggian 200 meter menara itu, lalu membiarkan tubuhnya lemar melayang-layang di udara malam yang dingin beberapa menit sebelum terdengar kedebuk yang keras di tanah, yang mungkin akan mngundang perhatian orang-orang yang ada di seputar menara itu.
Dia memanjat terus. Rasa takut saat menginjak anak tangga pertama menara itu kini telah hilang. Diganti rasa penasaran untuk segera memegang anti petir yang ada dipuncak menara itu. Â Seluruh rongga tubuhnya kini seperti dipompa. Semangatnya meningkat dua puluh kali. Ya, dia akan sampai ke puncak, mengikat penangkal petir seberat 20 kilo itu dengan ujung tali. Dia percaya tali plastik yang dibawanya tak akan putus bila ia melorotkannya ke bawah..
Semakin tinggi dia memanjat, dia merasakan bobot tubuhnya semakin ringan. Ah, ini mungkiun hanya perasaan, pikirnya. Apa bedanya memanjat menara ketinggian 200 meter dengan memanjat pohon kelapa ketinggian sepuluh meter. Sama saja, pikirnya. Dia tak pernah takut. Dia percaya dia akan selamat. Dia telah memanjat lebih dari seribu pohon kelapa dan dia  tidak pernah takut. Kalau memang ditakdirkan celaka, kedua-duanya juga dapat membuat tubuhnya remuk.
"Pohon kelapa tanpa cabang dan tak ada masalah. Memanjat menara, meski baru pertama kali ini tapi rasanya lebih enteng. Besi-besi penyangganya bersilangan. Dan tangga kecil yang membawanya sampai ke puncak menara pun telah tersedia. Tinggal menapakinya dengan setia" pikirnya. Maka dia pun semakin bersemangat melancungkan diri ke atas.
Setelah dia sampai pada dua pertiga dari ketinggian menara itu dia berhenti sejenak. Mengaso di tengah jalan. Bergelantungan seperti monyet. Dia mengok ke bawah. Gelap menelubung sempurna. Tak kelihatan lagi gulungan tali yang digumparkannya di kaki menara. Juga tak kelihatan lagi sepasang sandal jepitnya yang kumal di dekat gulungan tali itu.
Dia memperbaiki duduk. Mengeluarkan rokok dan korek dari saku bajunya. Menyulutnya sebatang. Tapi kemudian diurungkannya. Dia ingat sekecil apapun titik api pada malam hari akan nampak jelas dari jauh. Dan itu dapat mengundang perhatian orang yang melihatnya.
Dia melihat di kejauhan. Alangkah indah, pikirnya. Kerlap-kerlip lampu kota nampak seperti kunang-kunang. Atap atap-atap rumah memang tak jelas kelihatan karena terselubung gelap. Tapi lampu-lampu jalan dan lampu-lampu taman, aduh alangkah indahnya.
Dia lemparkan pandangannya jauh ke sebuah kompleks perumahan elit. Di sana. Di kompleks yang banyak rumah tingkatnya itu dilihatnya pemandangan yang mengagumkan. Lampu-lampunya warna-warni. Berkelap-kelip seperti bintang. Salah satu dari rumah tingkat itu, barangkali rumah tingkat yang paling tinggi di kompleks itu lampu terasnya masih menyala. Juga lampu di ruang tengah. Barangkali rumah itu berlamtai empat atau lantai lima. Soalnya, lampu itu kelihatan hampir sejajar dengannya.
Penghuni rumah itu nampaknya belum tidur. Bersama istrinya, ia ke luar ke teras menikmati udara malam. Ia baru saja ke luar. Sudah jam berapakah sekarang ? tanyanya dalam benak.
Di lain rumah para penghuninya mungkin sudah tidur nyenyak, berpelukan dengan istrti atau suaminya. Juga mungkin bukan suaminya. Mungkin dengan dengan teman selingkuhnya. Ya, sipa tahu. Ah, selingkuh, pikirnya. Ia pernah dengar istilah itu. Tapi tak tahu persis apa maknanya. Dia cuma meraba-raba, artinya mungkin kira-kira sama dengan kumpul kebo.
Kini tinggal seperempat lagi puncak menara itu akan dicapainya. Ia memanjat terus. Aku harus menurunkan penangkal petir itu sebelum dinihari, pikirnya.. Aku tak boleh urung sebelum sampai ke puncak. Aku telah memanjt ribuan pohon kelapa. Kalau disambungkan semuanya aku sudah memanjat lebih dari 10.000 meter dan menara ini hanya 200 meter, pikirnya.
Tapi malam itu memang cukup gelap. Langit hanya menampakkan silau bintang. Besi-besi bersilangan di atasnya hanya nampak samar-samar. Sementara bias cahaya lampu mobil yang lewat di jalan raya dan telah menolongnya tadi mencapai dua pertiga ketinggian menara itu kini tak dapat lagi diandalkan.
Sekarang ia sudah betul-betul sudah sampai ke puncak menara itu. Tak ada lagi besi bersilangan di atasnya. Dan penangkal petir itu sudah dapat dirabanya. Dielus-elusnya. Tapi ia tidak perlu tergesa-gesa melaksanakan niatnya. Toh semuanya sudah di tangan. Tinggal mengendorkan baut-baut yang mengikat penangkal petir itu selesai sudah pekerjaannya. Dan itu bisa dilakukannya dengan tenang. Karena itu ia istirahat sebentar.Â
Mengumpulkan seluruh tenaganya agar dapat bekerja dengan hati-hati. Ia melihat penangkal petir itu. Sebuah benda sebesar paha dengan panjang kira-kira satu meter setengah. Berapa ya, kira-kira harga benda ini ? tanyanya dalam hati. Tapi persetan dengan harga. Toh ia tak tahu sama sekali apa tujuan benda itu. Ia cuma menerima pesanan dari seseorang untuk mengambilkan benda itu dan untuk jerih payahnya ia dijanji imbalan sebesar lima ratus ribu rupiah. Ia berpikir uang lima ratus ribu itu cukup untuk melunasi tunggakan uang sekolah anaknya yang sudah duduk di bangku SMP.
Ia melemparkan lagi pandangannya ke rumah tingkat itu. Ia penasaran, karena pada malam selarut ini penghuni rumah tingkat itu ternyata belum tidur juga. Ia kini dapat melihat dengan jelas dua sejoli itu sedang bercumbu di teras lantai empat atau mungkin lantai lima rumah itu.
 Bercumbu ? Ah, sejenak ia membayangkan sebuah film jorok yang pernah ditontonnya di rumah rekannya melalui vcd yang baru saja dibelinya itu. Ia melihat laki-laki di teras rumah tingkat itu meraih bahu perempuan itu dengan kasar. Lalu ia melihat laki-laki itu menggigit bahu perempuan itu. Setelah itu ia mengangkat perempuan itu, sehingga sangat kentara gaung malamnya tersingkap.Â
Kemudian ia menunggingnya. Memukul-mukul pantat perempuan itu. Adegannya persis sama dengan adegan film biru yang ditontonnya. Dan perempuan itu seperti pasrah saja mendapat perlakuan kasar dari lelaki itu. Kini ia seperti memahami mengapa pelaku dalam film biru yang ditontonnya melakukan perbuatan seperti itu. Tapi ia tidak tahu siapakah yang meniru-niru kini. Film yang ditontonnya atau lelaki itu. Yang jelas kekerasan seksual terjadi di rumah tingkat itu. Ya, boleh jadi lelaki itu seorang maniak.
Ia kini sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya. Telinganya dipasangnya kuat-kuat untuk menangkap erangan erotis dari perempuan itu. Tapi jarak yang membentang antara puncak menara, tempatnya sedang asyik menontong dengan objek tontotan di rumah tingkat itu tak memungkin ia dapat mendengar erangan itu. Ia hanya menghayalkan sura-suara itu. Suara-suara yang telah mengganggu benaknya, tapi selalu ingin didengarnya lagi saban ia bergumul dengan istrinya di ranjang.
Tiba-tiba ia melihat lelaki itu bertambah ganas. Ia mengangkat perempuan itu dan menaikkannya ke dinding teras. Lalu dengan bernafsu, lelaki itu mendorong perempuan itu keluar sehingga perempuan itu melayang dari teras rumah berlantai empat atau mungkin lima itu. Ia masih melihat tangan perempuan itu menggapai-gapai, seolah menjerit minta tolong sebelum gelap menelannya bulat-bulat.
Ia kaget. Ia tak pernah membayangkan ujung adegang itu sangat fantastis.
"Astaga. Bajingan itu melemparkan perempuan itu dari lantai lima....!" pekiknya tak sadar. Ia tiba-tiba gemetar seperti diserang demam mendadak. Ia tiba-tiba merasa takut. Sangat takut. Terbayang dibenaknya perempuan itu sudah remuk setelah menyentuh tanah. Sebuah kejahatan di malam awal kemarau telah terjadi dan ia adalah adalah satu-satunya saksi. Saya harus berani mengungkap kejahatan, fikirnya. Ia pun membuang ujung tali yang sudah siap diikatkan pada penangkal petir itu, lalu turun pelan-pelan dengan perasaan remuk, seremuk tulang-tulang perempuan yang kini dibayangkannya tak utuh lagi itu.
Madello, 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H