Mohon tunggu...
Badaruddin Amir
Badaruddin Amir Mohon Tunggu... Guru - Guru

Lahir di Barru pada 4 Mei 1962. Menulis puisi, cerpen dan esai satra pada berbagai media. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain, "Latopajoko & Anjing Kasmaran" (Kumpulan Cerpen), "Karya Sastra sebagai Bola Ajaib" (Kumpulan Esei), "Aku Menjelma Adam" (Kumpulan Puisi), "Cerita Kita Bersama" (Kumpulan puisi). Karya-karya cerpen dan puisinya yang lain dibuat dalam beberapa antologi bersama yang terbit di Makassar. Sekarang menjadi guru dan wartawan pada sala satu majalah pendidikan yang terbit di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Memanjat Terus

13 Agustus 2018   13:11 Diperbarui: 13 Agustus 2018   14:04 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia memanjat terus. Rasa takut saat menginjak anak tangga pertama menara itu kini telah hilang. Diganti rasa penasaran untuk segera memegang anti petir yang ada dipuncak menara itu.  Seluruh rongga tubuhnya kini seperti dipompa. Semangatnya meningkat dua puluh kali. Ya, dia akan sampai ke puncak, mengikat penangkal petir seberat 20 kilo itu dengan ujung tali. Dia percaya tali plastik yang dibawanya tak akan putus bila ia melorotkannya ke bawah..

Semakin tinggi dia memanjat, dia merasakan bobot tubuhnya semakin ringan. Ah, ini mungkiun hanya perasaan, pikirnya. Apa bedanya memanjat menara ketinggian 200 meter dengan memanjat pohon kelapa ketinggian sepuluh meter. Sama saja, pikirnya. Dia tak pernah takut. Dia percaya dia akan selamat. Dia telah memanjat lebih dari seribu pohon kelapa dan dia  tidak pernah takut. Kalau memang ditakdirkan celaka, kedua-duanya juga dapat membuat tubuhnya remuk.

"Pohon kelapa tanpa cabang dan tak ada masalah. Memanjat menara, meski baru pertama kali ini tapi rasanya lebih enteng. Besi-besi penyangganya bersilangan. Dan tangga kecil yang membawanya sampai ke puncak menara pun telah tersedia. Tinggal menapakinya dengan setia" pikirnya. Maka dia pun semakin bersemangat melancungkan diri ke atas.

Setelah dia sampai pada dua pertiga dari ketinggian menara itu dia berhenti sejenak. Mengaso di tengah jalan. Bergelantungan seperti monyet. Dia mengok ke bawah. Gelap menelubung sempurna. Tak kelihatan lagi gulungan tali yang digumparkannya di kaki menara. Juga tak kelihatan lagi sepasang sandal jepitnya yang kumal di dekat gulungan tali itu.

Dia memperbaiki duduk. Mengeluarkan rokok dan korek dari saku bajunya. Menyulutnya sebatang. Tapi kemudian diurungkannya. Dia ingat sekecil apapun titik api pada malam hari akan nampak jelas dari jauh. Dan itu dapat mengundang perhatian orang yang melihatnya.

Dia melihat di kejauhan. Alangkah indah, pikirnya. Kerlap-kerlip lampu kota nampak seperti kunang-kunang. Atap atap-atap rumah memang tak jelas kelihatan karena terselubung gelap. Tapi lampu-lampu jalan dan lampu-lampu taman, aduh alangkah indahnya.

Dia lemparkan pandangannya jauh ke sebuah kompleks perumahan elit. Di sana. Di kompleks yang banyak rumah tingkatnya itu dilihatnya pemandangan yang mengagumkan. Lampu-lampunya warna-warni. Berkelap-kelip seperti bintang. Salah satu dari rumah tingkat itu, barangkali rumah tingkat yang paling tinggi di kompleks itu lampu terasnya masih menyala. Juga lampu di ruang tengah. Barangkali rumah itu berlamtai empat atau lantai lima. Soalnya, lampu itu kelihatan hampir sejajar dengannya.

Penghuni rumah itu nampaknya belum tidur. Bersama istrinya, ia ke luar ke teras menikmati udara malam. Ia baru saja ke luar. Sudah jam berapakah sekarang ? tanyanya dalam benak.

Di lain rumah para penghuninya mungkin sudah tidur nyenyak, berpelukan dengan istrti atau suaminya. Juga mungkin bukan suaminya. Mungkin dengan dengan teman selingkuhnya. Ya, sipa tahu. Ah, selingkuh, pikirnya. Ia pernah dengar istilah itu. Tapi tak tahu persis apa maknanya. Dia cuma meraba-raba, artinya mungkin kira-kira sama dengan kumpul kebo.

Kini tinggal seperempat lagi puncak menara itu akan dicapainya. Ia memanjat terus. Aku harus menurunkan penangkal petir itu sebelum dinihari, pikirnya.. Aku tak boleh urung sebelum sampai ke puncak. Aku telah memanjt ribuan pohon kelapa. Kalau disambungkan semuanya aku sudah memanjat lebih dari 10.000 meter dan menara ini hanya 200 meter, pikirnya.

Tapi malam itu memang cukup gelap. Langit hanya menampakkan silau bintang. Besi-besi bersilangan di atasnya hanya nampak samar-samar. Sementara bias cahaya lampu mobil yang lewat di jalan raya dan telah menolongnya tadi mencapai dua pertiga ketinggian menara itu kini tak dapat lagi diandalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun