Mohon tunggu...
Badai NTB Channel
Badai NTB Channel Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ketua Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Nusa Tenggara Barat 2022-2024 Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi di Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peluang Penerapan Konsep Blue Economy pada Usaha Rumput Laut Untuk Pembangunan Ekonomi Lokal di NTB

14 Desember 2023   21:30 Diperbarui: 14 Desember 2023   22:39 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aspek Keberlanjutan

Aspek keberlanjutan atau sustanaibility sesungguhnya menangkap sinergisitas antara aspek pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi. Dengan demikian pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai inklusifitas pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan konservasi ekologi atau lingkungan. Dalam (Erlania & Radiarta, 2015) budidaya rumput laut merupakan budidaya yang dapat dikatakan berbiaya rendah karena tidak membutuhkan biaya pemiliharaan yang tinggi, dan budidaya organic yang ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan, budidaya rumput laut tidak membutuhkan pakan yang dapat meninggalkan residu organik yang dapat menyebabkan pencemaran di perairan. Sebaliknya, rumput laut dapat menyerap nutrien organik berupa nitrogen dan fosfor terlarut dari perairan dan dimanfaatkan untuk pertumbuhannya. Selain itu, rumput laut juga menyerap CO2 terlarut dari perairan, yang dikenal sebagai blue carbon, yang digunakan dalam proses fotosintesis. 

Namun demikian, ada hal yang patut diperhatikan terkait budidaya rumput laut. Pertama, budidaya rumput laut bukanlah sektor yang bebas ancaman. Ancaman budidaya rumput laut terutama berasal dari organisme organic di perairan seperti jamur, virus ataupun ikan pemakan rumput (herbivorous fish). Ancaman terhadap rumput laut kerap menggoda petani untuk menggunakan produk-produk anti hama dan virus dalam proses budidaya rumput laut. Penggunaan zat anorganik atau kimia akan mengancam kesehatan perairan wilayah budidaya laut. Oleh karenanya, diperlukan suatu mekanisme untuk menjamin penerapan budidaya yang bertanggung jawab. Kedua, menurut Michael De san dalam (Soejarwo & Fitriyanny, 2016) budidaya rumput laut haruslah memenuhi daya dukung perairan karena rumput laut sangat sensitif dan bergantung pada aspek lingkungan lokasi budidaya rumput laut. Pengaruh lingkungan yang berkaitan dengan kualitas perairan, pencemaran dan kondisi hidro-oseanografi mempunyai dampak yang besar terhadap usaha budidaya rumput laut. 

Regulasi mengenai tata kelola wilayah perairan dan wilayah pesisir. Pada tingkat nasional peraturan atau undang-undang yang menjadi payung hukum peraturan daerah terkait lingkungan hidup adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sedangkan regulasi terkait kelautan dan wilayah pesisir yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23/PERMENKP/2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/PERMEN-KP/2016 tentang pemanfaatan kawasan konservasi perairan. Ditingkat daerah, pemerintah telah mengeluarkan regulasi mengenai penataan zonasi wilayah dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua regulasi tersebut kemudian menjadi landasan pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RPWP3K), Rencana Aksi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAKP3K) hingga pada perumusan rencana Zonasi Rinci. 

Ruang partisipasi masyarakat dalam upaya penjagaan dan konservasi lingkungan menurut (Munara, 2018, Agustus 1) melalui pengakuan aturan adat atau awig-awig. Dipertegas oleh (Solihin & Satria, 2007) Dalam beberapa kasus di daerah Lombok, penetapan aturan adat atau awig-awig oleh masyarakat berkaitan dengan kemunculan kesadaran bersama (collective consciousness) terhadap kerusakan lingkungan dan penurunan potensi ekonomi yang dialami masyarakat. Penetapan awig-awig memastikan hak wilayah laut masyarakat pesisir terhadap pemanfaataan sumber daya laut dan pesisir. Pengakuan awig-awig oleh pemerintah daerah merupakan perwujudan semangat demokratisasi ekonomi, prinsip desentralisasi dan otonomi serta visi pembangunan partisipatif. 

Upaya merekonstruksi dan merivitalisasi awig-awig pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1994 oleh Pemerintah Desa Tanjung Luar, Keruak. Awig-awig masyarakat Tanjung Luar tersebut menetapkan "Jalur/Zona Penangkapan Ikan" bagi nelayan tradisional dan nelayan modern/semi modern. Aturan adat tersebut juga mengatur alat tangkap yang boleh digunakan kedua kelompok nelayan tersebut. Penggunaan alat tangkap yang merusak dilarang dan akan dikenakan sanksi. Namun pada waktu itu, tidak ada regulasi atau produk undang-undang yang mengakui eksistensi institusi lokal dalam upaya pengelolaan sumber daya laut maupun ikan karena pengelolaan pembangunan pada waktu itu masih menerapkan prinsip sentralisme, awig-awig tersebut pun tidak bisa dilembagakan dan tidak didokumentasikan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berkaitan tentang desentralisasi pengelolaan sumber daya kelautan memberi angin segar bagi kelompok masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya laut yang mereka miliki.

Sinergi Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Sosial

Sinergisitas pembangunan ekonomi dan sosial dapat diwujudkan melalui visi pembangunan partsipatif dengan menitikberatkan pada pembangunan berbasis masyarakat (community based development) yang meletakkan masyarakat pada posisi strategis sebagai subyek dengan didukung upaya atau program-program pengentasan kemiskinan (poverty allevation) dan ketimpangan gender. Perempuan merupakan komponen penting dalam budi daya rumput laut. Hampir seluruh aktifitas budi daya rumput laut dikerjakan oleh perempuan, mulai dari pemasangan bibit pada longline, mengikat bibit hingga pada masa panen dan penjemuran. Mudahnya perempuan mengakses kerja budi daya rumput laut dikarenakan budi daya rumput laut tidak memerlukan teknologi yang rumit. Namun, budaya patriarki yang kuat dalam masyarakat pesisir mengancam perempuan karena membatasi perempuan untuk mengakses sumber daya ekonomi dan fasilitas budi daya rumput laut. Artinya, perempuan hanya berperan pendamping terhadap laki-laki. 

Dalam situasi tertentu didapati juga kasus dimana perempuan berdaya secara ekonomi, dan perempuan menjadi aktor utama dalam budi daya rumput laut. Kepemilikian longline oleh perempuan dilatari oleh pemberian suami, sebagai bentuk tanggung jawab nafkah ekonomi. Pada aspek lain, suami justru memilih sektor lain seperti ternak untuk memenuhi ekonomi keluarga. Sesekali laki-laki berperan dalam rantai aktifitas budi daya rumput laut, yakni pada masa tanam karena harus menyelam dan mendayung untuk mengikat tali longline. Namun kasus ini bersifat tentative dan bukan representasi umum situasi sosiologis masyarakat pesisir. 

Pemerintah telah berupaya membangun kemandirian masyarakat pesisir melalui berbagai program pemberdayaan misalnya dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas pengolahan produk perikanan atau rumput laut, seperti dodol dan manisan. Tujuan dari program ini adalah agar petani pembudi daya dapat meningkatkan nilai produk komoditas rumput laut, dan diversifikasi rantai perdagangan rumput laut di kalangan petani rumput laut. Namun, program pemberdayaan ini tidak terdistribusi dengan baik. Di Teluk Sereweh misalnya, kelompok perempuan dan nelayan mengeluhkan kurangnya akses dan programprogram pemberdayaan ekonomi. Program-program pemberdayaan cenderung berupaproyek birokrasi tanpa ada komitmen yang kuat dari kelompok birokrasi. Program-program pemberdayaan kerap hanya terhenti pada proses pembuatan laporan tanpa ada kejelasan program lanjutan (follow-up). 

Aspek Tata Kelola (Governance)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun