Mohon tunggu...
Badai NTB Channel
Badai NTB Channel Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ketua Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Nusa Tenggara Barat 2022-2024 Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi di Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peluang Penerapan Konsep Blue Economy pada Usaha Rumput Laut Untuk Pembangunan Ekonomi Lokal di NTB

14 Desember 2023   21:30 Diperbarui: 14 Desember 2023   22:39 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) atau Local Economic Development sesungguhnya bukanlah konsep baru dalam studi pembangunan. Namun wacana mengenai pembangunan ekonomi lokal semakin menguat berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap negara berkembang, terutama daerah (local regions). Globalisasi dianggap menantang konsep-konsep lama mengenai pembangunan ekonomi lokal, dimana dampak globalisasi kerap beragam terhadap negara ataupun daerah-daerah lokal. Sayangnya dampak utama dari globalisasi ini adalah semakin menajamnya kesenjangan dan peningkatan kemiskinan. Persoalan globalisasi dan kemiskinan bukanlah persoalan yang dapat diurai secara sederhana. Pada satu aspek, globalisasi memang dikritik karena dampak yang ditimbulkannya. 

Dampak negatif globalisasi bahkan menjadi perdebatan tersendiri dalam studi pembangunan maupun globalisasi. Namun disisi yang lain, globalisasi pada kenyataannya bukanlah suatu proses yang sui generis dan dampak kesejahteraan merupakan suatu hal yang pasti dan otomatis terjadi. Artinya, kemiskinan dan kesenjangan bukanlah suatu dampak yang pasti ditimbulkan oleh globalisasi. Kemiskinan dan kesenjangan merupakan persoalan yang kompleks, terlebih jika dikaitkan dengan integrasi daerah atau regional dengan ekonomi global. Peningkatan kesenjangan dan kemiskinan di daerah dalam era globalisasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya saja kapasitas daya saing, kapasitas inovasi, kapasitas kebijakan publik, dan lain sebagainya. 

Dalam rangka merevitaliasi berbagai potensi perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintah Provinsi NTB membuat terobosan baru melalui program-program unggulan, dalam rangka menjadikan provinsi NTB sebagai provinsi yang mampu merevitalisasi pertanian dengan baik, hal ini sejalan dengan program pemerintah nasional. Revitalisasi yang gencar dilakukan pemerintah NTB (BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2023) adalah pada sektor pertanian dan perternakan dalam artian luas yang mencakup tiga komoditas unggulan yakni sapi, jangung, dan rumput laut atau dikenal dengan program "PIJAR". Program ini dalam (BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2023) dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, ketahanan pangan dan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Dengan adanya program PIJAR diharapkan mampu mendorong pembangunan ekonomi daerah, serta mampu menurunkan tingkat kemiskinan.

Dalam perspektif LED, peningkatan daya saing ataupun solusi pembangunan ekonomi harus didasarkan pada partisipasi dan sesuai dengan konteks lokalitas, baik kebutuhan, sumber daya maupun gagasan. Di Nusa Tenggara Barat, program LED mulai dikembangkan pada tahun 2012 yang merupakan program kerjasama antara pemerintah Jerman melalui badan kerjasama teknis (Germany Technical Cooperation-GTZ). Jalinan kerjasama ini mengarah pada pengembangan ekonomi lokal yang dikemas dalam Regional Economic Development (RED) di NTB (Antara, 2012). Basis utama GIZ-RED adalah merangkul mitra lokal dalam upaya pengembangan ekonomi daerah. Adapun tujuan GIZ-RED yakni memberi dukungan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan prinsipprinsip tata pemerintahan yang baik melalui penerapan standar administrasi dan hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terkait desentralisasi pelayanan publik.

Pemerintah NTB telah melakukan upaya upgrading guna meningkatkan daya saing komoditas rumput laut NTB. Beberapa bentuk upgrading yang dilakukan pemerintah NTB telah cukup baik namun masih belum mampu meningkatkan daya saing dikarenakan kendala kapabilitas kemampuan daerah. Lambannya upgrading juga menunjukkan bahwa peran pemerintah dinilai masih kurang dalam merealisasikan kebijakan pengembangan rumput laut. Kebijakan pengolahan rumput laut masih belum mengarah pada sektor indutri menengah, dan hanya sedkit dari persentase produksi yang berhasil ditingkatkanolehpemerintah NTB. Sedikitnya produk upgrading rumput laut yang secara kompetetif diluar pasar lokal menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah dan industri rumput laut masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan tidak meratanya akses pasar yang didapatkan oleh masing-masing pelaku pengolah rumput laut. 

Dalam Hidayat & Safitri (2017) permasalahan utama pengembangkan komoditas unggulan rumput laut di NTB adalah masih minimnya penanganan pasca panen dan pengolahan hasil, rendahnya permodalan petani, serta terbatasnya kemitraan dalam pemasaran hasil. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya strategis dalam upaya mendorong peningkatan nilai tambah hasil serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat/petani yaitu dengan membangun sarana pengolahan hasil rumput laut (pasca panen), jalinan kemitraan antara petani dengan investor serta penyediaan pasar fisik komoditas rumput laut guna memperluas peluang pengembangan usaha rumput laut. Pertama, petani pembudidaya masih menjadi aktor yang menerima cash-flowpaling rendah dalam rantai perdagangan rumput laut. Cash-flow yang rendah pada petani tidak saja disebabkan karena kurangnya pemahaman petani mengenai standarisasi rumput laut basah dan teknik untuk memproduksi rumput laut yang baik, namun juga disebabkan oleh rantai perdagangan yang cukup panjang sehingga tidak terbentuk strukturrantai nilai yang bersifat low-trust chain. Kedua, daya saing yang rendah mengakibatkan pola relasi yang asimetris antara buyer dan produsen. 

Petani bergantung pada pasar ekspor dan lebih memilih menjual hasil budidaya mereka untuk pasar ekspor. Hal ini dikarenakan harga jual yang dinilai lebih tinggi dibandingkan harga jual di pasar domestik. Ketergantungan pada pasar luar negeri menyebabkan posisi petani yang rentan karena keterbatasan daya saing. Ketiga, masih rendahnya sinergisitas para aktor terutama birokrasi. Birokrasi rumput laut masih dapat dikatakan tumpang tindih antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dan terakhir, penyusunan peta jalan industrialisasi rumput laut masih bersifat sektor atau parsial. Hal ini tidak saja dilihat dari minimnya sinergisitas birokrasi, namun juga para stakeholder lainnya, serta sinergisitas kebijakan. Hal ini terlihat dari, misalnya upaya industrialisasi tidak diikuti dengan kebijakan harga, pembentukan networking atau jejaring global, dan efektifitas jejaring tingkat lokal yang meliputi pemerintah, petani, dan pedagang serta pelaku industri rumput laut. 

Dari pemaparan mengenai rantai nilai rumput laut yang masih rendah dapat dilihat bahwa desentralisasi daerah merupakan suatu respon mengenai perlunya paradigma pembangunan yang bertumpu pada kebutuhan daerah. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki keunikan masing-masing. Sehingga persepektif PEL dengan model HEXAGON dapat digunakan untuk menganalisis dan menelaah pengembangan industri rumput laut di NTB. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjawab rumusan masalah, Bagaimana pengembangan komoditas rumput laut NTB dalam model HEXAGON pembangunan ekonomi local (PEL)?

Metodologi dan Konsep LED (Local Economic Development) 

Heksagon PEL (pembangunan Ekonomi Lokal) atau LED menurut (Mayer & Stamer, 2014) merupakan semacam alat didaktif. Tujuan model ini adalah menyusun dan sebagai pengingat isu-isu penting dalam proses pembangunan ekonomi lokal. Model heksagon terdiri dari enam segitiga dimana masing-masing segitiga berkaitan dengan isu tertentu. Meski demikian, keenam segitiga ini tidak diartikan sebagai suatu runtutan aktifitas, namun hanya bersifat penggolongan isu-isu esensial dalam LED. Segitiga pertama dan kedua (target group dan locational factors) disebut sebagai instrumen inti LED. Segitiga ketiga dan keempat (policy focus and synergy dan sustanaibility) merupakan inovasi dan perluasan cakupan dan perspektif LEDyang disebut instrumen inovasi. Segitiga kelima dan keenam (governance dan planning M+E) mengenai isu-isu yang terkait dalam implementasi LED dan digolongkan sebagai segitiga koordinasi. 

Model pengembangan PEL juga telah menjadi rekomendasi kebijakan di beberapa daerah di Indonesia. Publikasi (Saragih, 2012) yang berjudul "Model Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) berbasis Kopi Arabika Spesialti di Kabupaten Simalungun" menguraikan beberapa strategi peningkatan produktifitas kopi melalui rekomendasi model PEL. Argumen (Saragih, 2012) menyatakan bahwa, teori PEL mengungkapkan pentingnya kolaborasi berbagai sektor dalam upaya peningkatan produktifitas kopi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun