Pasal 33 ayat (3): PPDB dilaksanakan berdasarkan kriteria yang objektif, transparan, dan akuntabel, dan tidak diskriminatif.
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan
Peraturan Menteri (Permendikbud) ini mengatur secara detail tentang pelaksanaan PPDB, termasuk sistem zonasi. Dalam Pasal 14 Permendikbud ini disebutkan bahwa:
Pasal 14 ayat (1): PPDB dilaksanakan dengan menggunakan sistem zonasi, afirmasi, dan prestasi.
Pasal 14 ayat (2): Sistem zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan sistem penerimaan peserta didik baru yang memprioritaskan penerimaan peserta didik baru yang berdomisili di dalam zonasi yang telah ditetapkan.
4. Peraturan Daerah (Perda) dan Juknis PPDB di Masing-Masing Daerah
Setiap daerah memiliki Perda dan Juknis PPDB yang mengatur secara lebih detail tentang pelaksanaan PPDB di wilayahnya masing-masing. Perda dan Juknis ini harus selaras dengan peraturan perundang-undangan di atas.
PPDB zonasi di Indonesia memiliki payung hukum yang kuat dan komprehensif. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah saling melengkapi untuk memastikan bahwa PPDB dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif.
Lahirnya sistem zonasi didasari oleh ketimpangan akses pendidikan yang mencolok. Sebelumnya, PPDB didominasi oleh sistem prestasi dan uang, sehingga memicu kesenjangan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Selain itu, diharapkan dengan pemerataan akses, mutu pendidikan di seluruh sekolah dapat meningkat karena distribusi siswa yang lebih merata. Tak lupa, sistem zonasi juga diharapkan dapat mengurangi beban orang tua dalam mengantarkan anak ke sekolah yang jauh dari tempat tinggal.
Namun, kebijakan ini menuai berbagai pro dan kontra. Di satu sisi, data Kemendikbud menunjukkan peningkatan jumlah peserta didik dari keluarga kurang mampu di sekolah-sekolah favorit. Tren peningkatan mutu sekolah di daerah pinggiran pun mulai terlihat, meskipun masih terdapat kesenjangan dengan sekolah di pusat kota. Di sisi lain, beberapa siswa berprestasi di daerah pinggiran terhambat untuk mengakses sekolah unggulan di luar zonasi. Tantangan lain adalah keterbatasan kapasitas sekolah di beberapa daerah, dan praktik manipulasi data domisili untuk menyiasati sistem zonasi.
Tantangan-tantangan ini tak boleh diabaikan. Kesenjangan infrastruktur sekolah antara pusat kota dan daerah pinggiran perlu diatasi dengan peningkatan infrastruktur sekolah di daerah pinggiran. Distribusi guru yang merata ke seluruh daerah, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kualifikasi guru, juga menjadi kunci. Tak kalah penting, mindset masyarakat tentang sekolah favorit identik dengan sekolah berkualitas perlu diubah melalui edukasi dan sosialisasi.