Mohon tunggu...
Bachtiar Masarif
Bachtiar Masarif Mohon Tunggu... -

Gelandangan di tepi sejarah.pergi kemana-mana, tak tahu mesti pulang kemana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Robohnya Surau dalam Diri Kami yang Memang Tak Pernah Berdiri Tegak

24 Agustus 2011   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin malam Mas Muh menertawakanku perihal apa yang sudah aku lakukan kepada seorang teman. Ya, kemarin sore aku menulis pesan singkat kepada salah seorang teman yang beberapa hari belakangan mengeluh tentang kondisi yang dialaminya. Isi pesan singkat kemarin kurang lebihnya seperti ini “Jangan lihat ke atas terus, sesekali lihatlah ke bawah, banyak orang yang tidak lebih beruntung darimu”.

Sampeyan ini seperti anggota Majelis Ulama saja Mas!”, kata Mas Muh kepadaku sambil tertawa cengengesan.

“Lho, memangnya ada yang salah Mas Muh”, balik aku bertanya kepada Mas Muh, dengan sedikit menggugat tentunya.

“Bukan, bukan masalah benar atau salah!”, begitu jawabnya. Setelah menghisap kreteknya dalam-dalam Mas Muh melanjutkan “ Bahkan dari sudut tertentu apa yang sudah Sampeyan lakukan itu bisa di katakan sebagai hal yang baik, kalau memang maksudnya mengingatkan agar teman Sampeyan itu tetep besyukur dan tidak protes sama Gusti Allah”

Tentu saja uraian Mas Muh tadi membuat aku bingung, lha wong dari anatomi tertawanya jelas-jelas Mas Muh itu menertawakan aku je..

“Lantas apa yang membuat Mas Muh menertawakan saya?” tanyaku kepada Mas Muh.

“Begini Mas, coba pikirkan lagi apa yang sudah ‘njenengan sampaikan lewat pesan singkat kemarin itu. Kalau kita melihat apa yang menurut anggapan kita posisinya ada di bawah kita, dan kemudian kita merasa lebih baik dari mereka. Apa itu ‘ndak berarti kita menganggap mereka tidak atau kurang di beri rahmat ataupun rejeki sama Gusti Allah?”. Sembari membetulkan letak duduknya Mas Muh melanjutkan, “Menurut apa yang saya yakini, Gusti Allah itu maha mengetahui dan maha adil, tentu saja yang benar-benar tahu ukuran dan proporsi keadilan itu ya cuma Gusti Allah. Apa yang menurut sistematika cara berpikir kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Kita cuma di beri kemungkinan untuk berbaik sangka sama Gusti Allah dan terus berharap agar dalam memandang kehidupan ini kita tidak terlalu berbeda jauh dengan cara Gusti Allah memandang kehidupan”.

Sambil manggut-manggut aku mengingat kembali jawaban Mas Muh.

“Dan, meskipun Tuhan itu Maha Adil, kita semua berharap agar Gusti Allah tak menghakimi kita dengan keadilan Nya, karena kita ini sudah terlalu banyak berbuat tidak adil terhadap Nya, hanya Rahmat Nya lah yang cuma jadi harapan kita.”, tambah Mas Muh.

Dalam hati berkelakar, Seandainya buka layanan kata-kata mutiara melalui pesan singkat seperti yang ramai belakangan ini, bisa-bisa Mas Muh bakal menertawakanku seumur hidup.

Membicarakan Mas Muh, jadi teringat Ajo Sidi tokoh dalam cerita pendek A.A. Navis “Robohnya Surau Kami”. Dalam cerpen legendaris itu Ajo Sidi bercerita kepada Kakek Penjaga Surau tentang seseorang yang bernama Haji Saleh. Seorang yang ketika dihadapkan pada pengadilan Tuhan merasa yakin apa yang telah dilakukannya selama di dunia telah memenuhi syarat-syarat untuk dimasukkan ke dalam Surga, namun ketika dilakukan interogasi atas diri Haji Saleh, ternyata apa yang dilakukan di dunia belum memenuhi syarat agar dirinya di masukkan ke dalam surga. Pada gilirannya Haji Saleh dan teman-teman senasibnya menghadap Tuhan meminta klarifikiasi atas apa yang telah menimpa dirinya dan teman-temannya.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikian cerita Ajo Sidi kepada Kakek Penjaga Surau dalam cerpen AA Navis tersebut.

Merenungkan apa yang terjadi dalam cerpen tersebut, tak pantas rasanya kalau merasa apa yang telah kita lakukan telah mencapai titik “sudah”, entah itu sudah baik, sudah cukup, sudah berhasil, sudah sempurna. Apa yang telah kita anggap “sudah baik”, baik berhubungan dengan amal ibadah, pekerjaan, kelakuan dan lainnya, yang pada gilirannya ketika dihadapkan pada yang “lebih ahli” ataupun yang lebih mengetahui akan terlihat banyak kekurangannya. Karena itu menjadi teramat takabur dan bodoh kalau kita merasa yang paling dekat dengan Tuhan, merasa yang paling baik, merasa yang paling rendah hati merasa yang paling benar ataupun merasa yang paling hebat. Tuhan, tak pantas rasanya kalau aku tak meminta petunjuk dari Mu. Ihdinasshirath almustaqiim.

*tulisan lawas, meski gak lawas-lawas amat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun