Mohon tunggu...
Bachtiar Masarif
Bachtiar Masarif Mohon Tunggu... -

Gelandangan di tepi sejarah.pergi kemana-mana, tak tahu mesti pulang kemana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Robohnya Surau dalam Diri Kami yang Memang Tak Pernah Berdiri Tegak

24 Agustus 2011   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikian cerita Ajo Sidi kepada Kakek Penjaga Surau dalam cerpen AA Navis tersebut.

Merenungkan apa yang terjadi dalam cerpen tersebut, tak pantas rasanya kalau merasa apa yang telah kita lakukan telah mencapai titik “sudah”, entah itu sudah baik, sudah cukup, sudah berhasil, sudah sempurna. Apa yang telah kita anggap “sudah baik”, baik berhubungan dengan amal ibadah, pekerjaan, kelakuan dan lainnya, yang pada gilirannya ketika dihadapkan pada yang “lebih ahli” ataupun yang lebih mengetahui akan terlihat banyak kekurangannya. Karena itu menjadi teramat takabur dan bodoh kalau kita merasa yang paling dekat dengan Tuhan, merasa yang paling baik, merasa yang paling rendah hati merasa yang paling benar ataupun merasa yang paling hebat. Tuhan, tak pantas rasanya kalau aku tak meminta petunjuk dari Mu. Ihdinasshirath almustaqiim.

*tulisan lawas, meski gak lawas-lawas amat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun