Kita menyadari bahwa manusia diciptakan dengan segala keunikan. Keunikan tersebut menyebabkan manusia terperangkap dalam identitas diri mereka. Identitas memang penting ketika tujuannya untuk menandakan individu atau kelompok satu dari kelompok lainnya, sehingga masing-masing dapat berinteraksi dengan yang lainnya secara berdampingan. Tetapi, identitas menjadi kendala dan bahkan perusak ketika sekelompok atau ada seseorang dengan identitas tertentu mulai menganggap identitas selain dirinya itu lebih rendah.
Dalam studi pasca-kolonial pemikir seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak adalah nama-nama yang biasa dirujuk. Mereka dirujuk karena sumbangsihnya dalam meletakkan politik identitas sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Sementara dalam literatur ilmu politik, politik identitas dibedakan secara tajam yakni antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity).
Sedangkan Donald L Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke, mendefinisikan bahwa politik identitas adalah memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah yang sama yakni politik identitas diartikan sebagai politik berbedaan.
Konsep ini juga mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional yang diselenggarakan di Wina pada tahun 1994. Poin dari pertemuan Wina adalah lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Singkatnya politik identitas hanya digunakan sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi, alat untuk menggalang politik, guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.
Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Donald L Morowitz sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis. Namun, pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan mengatakan bahwa dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Pemahaman ini berimplikasi pada kecenderungan untuk.
Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar hak-hak sebagai manusia baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan.
Terakhir, kesetiaan yang kuat terhadap etnisitas yang dimilikinya.
Selain tiga kecenderungan di atas Klaus Von Beyme menyebutkan ada tiga karakteristik yang melekat pada politik identitas, yakni gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali “narasi besar” yang prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan mendasar sebagai realitas kehidupannya. Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, maka jalan keluarnya adalah pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar.
Prof. Henk S Nordholt (2007) memberikan kesimpulan bahwa politik identitas merupakan bentukan dari negara Orde Baru. Pandangan ini sama dengan pendapat Rachmi Diyah Larasati yang mengatakan bahwa negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas. Dua pandangan menguatkan pemahaman kita bahwa politik etnisitas merupakan kreasi negara yang monumental dalam rangka pelabelan warga negaranya. Pelabelan ini menjadi penting dalam urusan politik pengaturan atau bisa juga sebagai politik kontrol negara terhadap warganya untuk mengetahui ‘siapa lawan’ dan ‘siapa kawan’. Pengaturan dan kontrol negara terhadap warganya tidak berhenti sampai di sini. Menurut pandangan Henk (2007) ada empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk melemahkan politik etnisitas di tanah air.
Pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercabut dari akar sosio-kultural dan politiknya. Kedua, pemerintah Orde Baru menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalan SARA dikontrol sedemikian ketat. Yang berhak menggunakan SARA hanya pemerintah dalam menjustifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan dari relasi sosial-politiknya.
Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama merosot. Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan pemerintah pusat tidak terancam berbagai pergerakan.
Keempat kebijakan diatas, mempunyai implikasi politis yang sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah, pemerintah dengan rakyatnya. Karena itu gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat orang mengespresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya.
Pilihan politik maupun budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan Orde Baru. Karena itu ketika negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat meminjam istilah Henk yakni mencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnisitas. Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya.
Ternyata, dugaan ini benar adanya. Benturan yang berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga para cendekiawan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan selamanya tetap bertahan bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya.
Pengamatan Lucian W Pye (1993) terbukti, goncangan politik karena ledakan politik etnisitas sudah kita rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absen dalam melindungi warganya. Hal ini nampak dalam pertikaian antara suku Dayak dengan Madura, peristiwa kekerasan politik Mei 1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon. Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas politik etnisitas juga hadir dan mengental dalam era politik desentralisasi.
Pencarian politik etnisitas, baik kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. Karena itu, para politisi di daerah sedang sibuk membangun masa lalu yang mereka miliki, lalu energi mereka habiskan untuk memproyeksikan bangunan masa lalu itu ke masa depan guna memperkuat rasa dan perasaan atas etnisitas mereka. Dengan demikian, gerakan dapat “diperluas” dan “dilestarikan” dengan pagar-pagar pembatas untuk dapat dirayakan sembari menjaga jarak dengan orang lain yang berbeda dengan mereka.
Daftar Pustaka:
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H