Keempat kebijakan diatas, mempunyai implikasi politis yang sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah, pemerintah dengan rakyatnya. Karena itu gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat orang mengespresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya.
Pilihan politik maupun budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan Orde Baru. Karena itu ketika negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat meminjam istilah Henk yakni mencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnisitas. Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya.
Ternyata, dugaan ini benar adanya. Benturan yang berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga para cendekiawan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan selamanya tetap bertahan bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya.
Pengamatan Lucian W Pye (1993) terbukti, goncangan politik karena ledakan politik etnisitas sudah kita rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absen dalam melindungi warganya. Hal ini nampak dalam pertikaian antara suku Dayak dengan Madura, peristiwa kekerasan politik Mei 1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon. Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas politik etnisitas juga hadir dan mengental dalam era politik desentralisasi.
Pencarian politik etnisitas, baik kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. Karena itu, para politisi di daerah sedang sibuk membangun masa lalu yang mereka miliki, lalu energi mereka habiskan untuk memproyeksikan bangunan masa lalu itu ke masa depan guna memperkuat rasa dan perasaan atas etnisitas mereka. Dengan demikian, gerakan dapat “diperluas” dan “dilestarikan” dengan pagar-pagar pembatas untuk dapat dirayakan sembari menjaga jarak dengan orang lain yang berbeda dengan mereka.
Daftar Pustaka:
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H