Ka'bah yang menjadi kiblat muslim sedunia, juga menjadi saksi pembaiatan sekelompok manusia pemuda dari berbagai negara, mereka mengucapkan ikrar untuk mengembangkan syiar islam sepulang masa pendidikannya. Salah seorangnya menjadi pendiri NU, yakni KH Hasyim Asyari.
Lahir di desa Nggendang (terletak dua kilometer sebelah utara kota Jombang) pada 14 Februari 1817. Garis keturunan beliau berasal dari kalangan ulama. Kakeknya KH Usman yang terkenal sebagai ulama besar pada masanya. Orang tua beliau adalah KH Asj'ari yang menikah dengan Halimah ( putri dari KH Usman), keduanya menjadi penerus kemasyhuran pesantren Nggendang. Serta tercatat sebagai keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI.
Saat mengandung Hasyim, Halimah sebagai ibunya bermimpi jika ada purnama rebah didalam kandungannya. Esok harinya, Halimah terbangun sembari menggigil mengisahkan mimpinya kepada suaminya, Asj'ari. Respon suami terpesona atas mimpi yang telah dialami sang istri. Dukun persalinan ikut merasakan adanya tanda keistimewaan saat pertama kali melihat Hasyim. "Bayi yang lahir ini, kelak akan menjadi orang besar" ucap sang dukun.
Ramalan sang dukun ternyata benar. Akan tetapi, hal ini bukan semata trah yang diwariskan oleh Hasyim sehingga mendapatkan julukan hadratus syeikh. Melainkan semangat belajar dan tekad yang dimiliki, sehingga menjadikan Hasyim sebagai ulama besar. Tekad ini bisa dilihat saat ia berusia 15 tahun.
Setelah menempuh dasar-dasar pendidikan agama di pesantren ayahnya, lalu Hasyim meminta izin untuk memperdalam ilmu. Keinginannya dikabulkan oleh ayahnya. Dengan sarana dan prasarana yang sangat minim, ia memulai pengembaraanya menyusuri berbagai pesantren di Jawa Timur. Dari banyaknya pesantren yang dikelilinginya, Hasyim terpikat untuk lebih lama lagi memperdalam ilmunya di pesantren Siwalan Pandji Sidoharjo. Yang saat itu dipimpin oleh kyai Ja'kub.
Berkat kecerdasannya, di pesantren tersebut Hasyim menjadi santri yang menonjol. Sikap dan tekadnya telah mencuri hati pimpinan pesantren. Pada akhirnya, kyai Ja'kub mengangkat Hasyim sebagai menantu. Ia dinikahkan dengan putri kyai Ja'kub yang saat itu berusia 21 tahun bernama Khadidjah.
Setelah pernikahan, Hasyim bersama istri dan mertua menunaikan ibadah haji. Selepas ibadah haji, mereka tidak pulang tetapi bermukim di Tanah Suci. Hasyim yang sangat haus ilmu, mempunyai tekad ingin memperdalam ilmu di Tanah Suci. Setelah tujuh bulan di Makkah, istrinya wafat setelah melahirkan bayinya yang bernama Abdullah. Kemudian Abdullah juga menyusul ibundanya ketika baru berusia 40 hari.
Perasaan Hasyim hancur. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Namun Hasyim merasa harus menimba ilmu lagi, ia pun berangkat kembali ke Makkah. Selama tujuh tahun ia mencari ilmu di Makkah melalui bimbingan dari guru besar seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabau, Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Mahfudz Al-Tirmidzi.
Hasyim memperdalam ilmu hadis dari Syeikh Mahfudz yang dikenal mahir dalam mengajarkan kitab Sahih Bukhari. Bukan hanya menjadi murid kesayangan saja, Hasyim juga mendapatkan ijazah dari Syeikh Mahfudz.
Hasyim bagaikan musafir yang berada di sisi Baitullah. Malam harinya ia sibukkan dengan menyimak pengajaran dari sang guru. Biasanya Hasyim bersama santri dari mancanegara duduk melingkar yang dicahayai cahaya pelita bernama fanus. Di tengah lingkaran itu, sang guru dengan jubah kebesaran yang dipakai memberikan wejangan. Saat hendak kembali ke Indonesia, Hasyim bersama teman seperguruan bersatu lalu mengikat ikrar, yang saat itu Baitullah menjadi saksi ikrar mereka.
Sekembalinya ke Indonesia, Hasyim tidak melupakan ikrar yang telah diucapkan ketika berada di Baitullah. Ia bersungguh-sungguh mengajarkan semua ilmu yang telah diperolehnya, ditandai dengan membuka pesantren di Tebuireng, Jawa Timur. Ternyata hal ini menjadi bahan candaan, karena Tebuireng waktu itu terkenal sebagai muara maksiat, masih banyak penduduk yang terbiasa dengan judi, zina, dan mabuk. Di pusat kegelapan, Hasyim datang mendirikan pelita ilmu.
Bukan terkenal sebagai ulama saja, Hasyim juga dikenal berjiwa patriotik. Alkisah pada tahun 1947, saat Belanda sedang membonceng sekutu berhasil menguasai Singasari, Malang. Menjelang maghrib pada bulan Ramadhan, Hasyim sedang bersiap memberi pelajaran kepada para santrinya, datanglah utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Utusan itu meminta Hasyim memberikan perlawanan terhadap Belanda. Mendengar amanah utusan itu, Hasyim sekonyong-konyong menyebut "MasyaAllah" berulang kali sembari memegangi kepalanya. Kemudian Hasyim pun pingsan dalam duduknya.
Melihat Hasyim kritis, pihak keluarga segera memanggil dokter Angka Nitisastro. Setelah memeriksa, dokter menyampaikan bahwa "Penyakit beliau sudah amat payah". Dokter juga mengatakan jika Hasyim mengalami serangan jantung.
KH Hasyim Asyari wafat diumur 76 tahun pada jam 03.45. Beliau sempat menikah hingga tujuh kali lantaran istrinya lebih dahulu meninggalkannya. Dari istri yang bernama Nafisah, ia dianugerahi sepuluh anak, diantaranya adalah Wahid Hasyim yang pernah menjadi Menteri Agama. Kemudian salah satu cucunya bernama Abdurrahman Wahid yang pernah menjadi presiden keempat RI.
Daftar Pustaka:
Noor Rohinah, KH Hasyim Asyari Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H