Sekembalinya ke Indonesia, Hasyim tidak melupakan ikrar yang telah diucapkan ketika berada di Baitullah. Ia bersungguh-sungguh mengajarkan semua ilmu yang telah diperolehnya, ditandai dengan membuka pesantren di Tebuireng, Jawa Timur. Ternyata hal ini menjadi bahan candaan, karena Tebuireng waktu itu terkenal sebagai muara maksiat, masih banyak penduduk yang terbiasa dengan judi, zina, dan mabuk. Di pusat kegelapan, Hasyim datang mendirikan pelita ilmu.
Bukan terkenal sebagai ulama saja, Hasyim juga dikenal berjiwa patriotik. Alkisah pada tahun 1947, saat Belanda sedang membonceng sekutu berhasil menguasai Singasari, Malang. Menjelang maghrib pada bulan Ramadhan, Hasyim sedang bersiap memberi pelajaran kepada para santrinya, datanglah utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Utusan itu meminta Hasyim memberikan perlawanan terhadap Belanda. Mendengar amanah utusan itu, Hasyim sekonyong-konyong menyebut "MasyaAllah" berulang kali sembari memegangi kepalanya. Kemudian Hasyim pun pingsan dalam duduknya.
Melihat Hasyim kritis, pihak keluarga segera memanggil dokter Angka Nitisastro. Setelah memeriksa, dokter menyampaikan bahwa "Penyakit beliau sudah amat payah". Dokter juga mengatakan jika Hasyim mengalami serangan jantung.
KH Hasyim Asyari wafat diumur 76 tahun pada jam 03.45. Beliau sempat menikah hingga tujuh kali lantaran istrinya lebih dahulu meninggalkannya. Dari istri yang bernama Nafisah, ia dianugerahi sepuluh anak, diantaranya adalah Wahid Hasyim yang pernah menjadi Menteri Agama. Kemudian salah satu cucunya bernama Abdurrahman Wahid yang pernah menjadi presiden keempat RI.
Daftar Pustaka:
Noor Rohinah, KH Hasyim Asyari Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H