Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenangan Ramadhan Tahun 80-an

18 Mei 2018   23:25 Diperbarui: 19 Mei 2018   20:39 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meriam Bambu (foto: buahhatiku.com)

Tiap generasi pasti punya kenangan sendiri saat menghadapi Ramadhan.  Begitu pula saya.   Ramadhan di era 80-an atau jaman saya duduk di bangku SD punya makna khusus yang meninggalkan kenangan mendalam.  Era 80-an saya tinggal di Samarinda.  Saat itu kawasan ini masih sepi.

Hal yang pertama kami beli saat memasuki Ramadhan adalah petasan.  Era ini, petasan sama sekali tida dilarang.  Mereka biasanya berjualan di pasar-pasar.   Petasan yang paling terkenal jaman itu adalah Karapan Sapi, bintang, dan petasan cabe.   Karapan sapi memang bukan yang terbesar tapi terlaris.  Suaranya keras.  Petasan bergambar bintang cukup keras tetapi tak sekeras Karapan Sapi.  Kalau petasan cape biasanya dijual renteng tetapi suaranya tidak begitu keras.

Kalau yang lebh besar dari Kerapan Sapi banyak.  Tapi kami terlalu takut menyalakannya.   Percaya atau tidak, saya dan Eka (almarhum) selalu punya cara untuk "memeriahkan suasana".  Saat semua orang  baru saja berbuka puasa, kami memasukkan petasan dalam bak sampah tetangga (terbuat dari drum bekas).  Tetangga saya marah luar biasa,ia keluar membawa-bawa parang.  Kami ketakutan sekali dan bersembunyi di kolong jembatan kayu rumah orang. Padahal di kolong jembatan itu gelap dan banyak nyamuk. 

Saat tarawih hampir semua tetangga yang muslim pergi ke mesjid.  Biasanya jalan ramai dengan orang yang berjalan kaki.  Hati-hati sendal bagus bisa hilang.   Dulu tak ada acara sinetron dan lainnya di televsi atau iinternet sehingga ibadah bisa fokus.   Tapi ada juga yang ke masjid sekedar shalat Isya lalu nongkrong di warung bakso atau janjian dengan pujaan hati.  Habis belum ada sms atau handphone, jadi susah kalau mau janjian.  Ketemunya ya pas tarawih.

Kami pernah juga dimarahi jemaah yang shalat tarawih karena menyalakan petasan di dekat masjid.  Alhasil, jemaah wanita sampai kocar-kacir ketakutan.  Sebagian malah pindah ke shaf laki-laki karena kaget. 

Kapok?  Tentu tidak.  Saya dan Eka pernah menyalakan petasan Karapan Sapi ini di pinggir genangan air di bahu jalan berupa tanah.   Ini hanya eksperimen saja.   Tak tahunya ada supir tetangga kami yang melintasi jalan tersebut. 

"Jangan lewat, Pak!  Ada petasan!" teriak saya dan Eka.

Bapak itu tetap saja lewat dan darrrrr!  Percikan air genangan itu terciprat mengenai kemejanya.  Dan ia melaporkan kejadian itu pada Ibu saya.  Saya ketakutan bersembunyi di kolong tempat tidur.  Saya lupa, apakah Ibu akhirnya jadi membelikan baju baru atau hanya minta maaf saja ya?

Saat sahur selalu ramai oleh warga kampung yang berkeliling sambil berteriak : Sahur, Sahur, Sahur.  Zaman now, sudah sedikit sekali pesertanya.   

Tak kalah seru adalah kami membuat meriam bambu (bledugan) menggunakan mesiunya dari karbit.  Bunyinya keras sekali seperti meriam biasa.  Karena kami tinggal di tepi Sungai Karang Mumus (anak sungai Mahakam), lawan kami adalah kampung yang berada di seberang sungai.  Kondisinya seperti perang sungguhan.  

Meriam Bambu (foto: buahhatiku.com)
Meriam Bambu (foto: buahhatiku.com)
Dahulu di tempat kami, rumah-rumah masih jauh dari tepi sungai, jadi suara meriam tak terlalu mengganggu.  Kalau sekarang, bisa digebukin orang sekampung . Kalau tak hati-hati kobaran api dari lubang sumbu bisa mengenai rambut atau alis.  Alis Eka pernah terbakar sebagian dan ia menangis pulang ke rumah. Biasanya pukul 10 malam kami sudah berhenti bermain karena tahu orang-orang sudah beranjak menuju tempat tidur.

Kalau ngabuburit saat itu, kami biasanya main sepeda, kelereng, atau layangan.  Main sepeda biasanya kami cari tempat agak jauh ke dekat area hutan.  Di sana kami masih bisa dapati rambutan tak bertuan.  Bisa kami petik dan bawa pulang (kalau sedang musim).  Main kelereng, kasihan anak sekarang lahan perkarangan semakin sempit.   Paling seru main layangan dari atas bukit.  Bisa lupa waktu.

Hidangan khas berbuka puasa biasanya dijual di kawasan Gelora Segiri atau Pasar Pagi (dekat Masjid Agung).   Biasaya Ibu membeli kue risol, nasi pucuk, kolak, bingka labu, es buah, dan beberapa kue yang saya lupa namanya.

Pasar Ramadhan di Samarinda (foto: kaltim.prokal.co)
Pasar Ramadhan di Samarinda (foto: kaltim.prokal.co)
Jaman 80-an tak ada internet, tv kabel, tv swasta, atau smarphone.   Hanya ada TVRI, itupun baru sore hari mengudara dan acaranya hampir seremonial semua.   Tidak menarik.  Jadi biasanya toko penyediaan video VHS akan laris manis.  Film kartun macam Voltus, Gaban, Mazingga,biasanya harus dipesan dulu.      Demikian pula film silat macam Tai Chi Master, Rahasia Ilmu Ulat Sutera, dan judul lain yang tak bisa saya ingat.  Lucunya kalau memilih film lewat bungkus video yang ditempeli foto atau album yang berisi cover film.

Kadang kala ada jasa penyewaan film video dari rumah ke rumah.  Nama orang itu saya masih ingat, Aping.

"Yah, ada Aping Yah!  Tapi masih di tetangga sebelah," teriak saya.

Aping memang jadi langganan di kompleks kami.    Namanya terkenal dan ditunggu banyak orang.   Selalu membawa tas besar berisi video-video VHS.

"Ping, film judul kemarin mana?" tanya ayah saya.

"Wah, barusan dipinjam tetangga sebelah, Pak."

Yee, kalah cepat.

Pernah kami  menonton video dari pagi hingga menjelang berbuka puasa.  Kepala kami jadi pusing.  Kadang kami nonton video di tempat lain.   Biasanya kami dipungut biaya 100 rupiah per orang.  Nontonnya ya gaya bebas.  Ada yang kursi, ada yang di lantai.

Saat menjelang Lebaran suasana rumah kami jadi ramai.   Parcel dari kolega Ayah mulai berdatangan.  Mulai dari minuman ringan, buah, biskuit kaleng, hingga sembako.  Kami mirip raja minyak saja.   Stok minuman kaleng di kulkas melimpah.

Kartu lebaran di toko-toko buku jadi rebutan.  Berbagai model tersedia.  Dari yang gambar masjid, kartun, hingga kaligrafi.  Kantor pos kebanjiran surat.  Sekarang masih ada yang mengirim kartu Lebaran?

Sedangkan saat Lebaran, tuan rumah akan marah kalau tamu yang bertandang tak makan dulu.  Jadi siap-siap saja kekenyangan.  Kalau sekarang kebiasaan ini mulai hilang.  Tamu hanya datang sebentar, salaman, terus pulang.  Kue di meja tamu pun tak sempat dicicipi.  Sekarang kue Lebaran malah jadi penghias meja saja.    Selamat berpuasa, Kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun