Kondisi gelap gulita, jalan yang sempit, dan dekat dengan jurang, membuatnya harus ekstra hati-hati. Â Untunglah pekerjaaan monitoring jalan selesai sebelum hari beranjak gelap. Kami harus kembali ke Kota Bima sebelum waktu berbuka puasa.
Pukul 17.00 kami selesai survei dan kembali ke Hotel Marina. Â Kota Bima menjelang berbuka puasa kali ini begitu lenggang karena memang sedang hujan deras. Â Dari jendela hotel di lantai 4 saya bisa melihat suasana menjelang maghrib. Â
Tak banyak orang terlihat di jalan. Â Di Jakarta atau Bandung, menjelang Maghrib justru banyak orang tumpah ke jalan untuk 'ngabuburit' menunggu azan berkumandang.
Sebelumnya batu-batu di gorong-gorong itu pernah dipindahkan oleh pekerja di lapangan. Â Tapi keesokan harinya sudah ditutupi batu kembali oleh warga. Â Ketika kembali akan dibuka, beberapa warga datang sambil marah-marah. Â Mereka mengancam akan menutup jalan kalau batu itu dipindahkan.
Mengapa? Â Rupanya gorong-gorong yang ada dijadikan tempat persembunyian babi liar. Â Babi-babi inilah yang merusak lahan dan tanaman warga. Â Saya juga heran kalau siang babi-babi itu tak terlihat. Â Tetapi kalau malam gelap, puluhan babi muncul entah dari mana. Â Akhirnya, batu-batu itu dibiarkan dulu menutupi gorong-gorong.
Cobaan puasa di Bima adalah terik matahari. Â Kata teman-teman di Bima, di kota ini mataharinya dua. Â Lebih terik dibandingkan Jakarta atau Tangerang. Â Rata-rata yang kami temui adalah saluran yang tertimbun tanah, ilalang yang tinggi hingga ke badan jalan, beberapa titik longsor, dan tiadanya saluran sehingga menimbulkan genangan bila hujan. Â Untungnya di Bima saat itu jarang hujan.
Seperti biasa kami berbuka puasa di kota Bima. Â Kali ini kami berbuka puasa di Rumah Makan Putra Semarang. Â Meski kondisi hujan deras, rumah makan ini tetap ramai. Â Nikmatnya berbuka puasa dengan ikan bakar, sayur asem, dan teh manis hangat. Â Â Rasa haus seharian tadi hilang sudah. Â Sambil makan diiringi dengan nyanyian pengamen jalan yang mampir. Â Â
Â
Rabu, 14 Juni 2017