"Lho bakso di Jakarta beda dengan di Makassar, kuahnya juga beda."
Eh, dia malah pesan oleh-oleh bakso lebih banyak dari saya plus dua botol sambal. Â Dasar tidak mau kalah!
Sedangkan rasa manisnya berasal dari gula merah yang digerus halus. Â Banyak dijumpai di Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar. Biasanya orang Makasar menikmati sarba dengan pisang epe atau gorengan macam ubi kayu, pisang goreng, atau bakwan.
Kami memilih menikmati saraba di warung tenda yang banyak berjajar di daerah Sungai Cerekang Kota Makassar sambil mengobrol ngalor-ngidul sambil mencomot pisang goreng yang dicocol ke sambal. Sedap nian. Semakin malam daerah ini bukannya tambah sepi, justru bertambah ramai.
Banyak pegawai dan mahasiswa bergerombolan nongkrong. Â Suasananya ramai obrolan dan gelak tawa. Â Enough is enough, kali ini perut kami sudah overload alias kekenyangan. Wah, jangan sampai sakit perut karena besok harus balik Jakarta.
Memang sejak awal tiba, saya perhatikan pengemudi motor di kota angin mamiri ini agak ugal-ugalan. Â Kalau motor diklakson mobil biar memberi ruang, justru balik mengklason dan tak mau memberi jalan. Kalau disalip, eh malah marah-marah. Hal yang sama juga menimpa kami.
Mobil online yang kami gunakan bonyok bagian depannya dihantam sepeda motor yang melaju kencang dari arah berlawanan.  Sudah ngebut tak pakai lampu depan pula. Ternyat pengemudinya  seorang anak tanggung usia 14 tahun. Untung saja ia tak apa-apa, hanya lecet-lecet. Padahal tabrakan cukup keras. Buktinya pintu penumpang di samping supir sampai penyok tak bisa dibuka.  Supir taksi  online minta ganti rugi dan si anak hanya bisa menangis.
"Kenapa kamu menangis? Kamu yang salah."
"Temanku pasti marah, karena motor yang aku pake punyanya," katanya sambil terisak.
Wah, berabe nih. Â Mobil taksi online rusak, motor temannya tak kalah rusak berat.Â