Siapa yang tak senang mendapat bonus? Tapi yang dimaksud bonus di sini bukan uang atau barang tetapi orang. Eits, jangan berpikir yang tidak-tidak. Bonus yang dimaksud disini adalah bonus demografi (demographic dividend), dimana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.
Bila merujuk pada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), bonus demografi mengandung arti bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.Pada periode itu, jumlah usia angkatan kerja, yakni yang berusia 15 tahun—64 tahun, diperkirakan mencapai sekitar 70%.
Bonus demografi juga menghasilkan jumlah usia tanggungan yang dibebankan kepada jumlah usia produktif sangat sedikit. Adapun jumlah penduduk lainnya memasuki usia tidak produktif, yakni usia di bawah 14 tahun dan usia di atas 65 tahun. Menteri Kesehatan Nila F Muluk mengatakan, laju pertambahan penduduk sangat cepat. Jumlah penduduk saat ini mencapai 255 juta jiwa, padahal BPS pada sensus 2010 mendata jumlah penduduk baru sebanyak 237,6 juta jiwa.
Pada tahun 2012 adalah awal di mana Indonesia mengalami bonus demografi. Meskipun sebenarnya bonus demografi telah dialami oleh beberapa Provinsi di Indonesia lebih awal yaitu sejak tahun 2010 seperti Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur dan Kepulaun Riau. Namun ada pula 4 (empat) provinsi yang tidak mengalami bonus demografi, yaitu empat provinsi, yaitu, NTT, Papua, Papua Barat, dan Maluku.
NTT hampir mustahil meraih bonus demografi, lantaran pemerintahannya gagal menekan tingkat kelahiran pada pasangan usia subur (total fertility rate/TFR). Di Papua dan Papua Barat, penyebabnya hampir sama, yaitu kebanyakan pemerintah daerah di sana justru mendorong agar warga asli Papua melahirkan anak banyak. Kebijakan itu dilandasi oleh pertumbuhan penduduk pendatang yang semakin meningkat. Untuk wilayah Maluku, kegagalan disebabkan tingginya tingkat putus Keluarga Berencana (drop out/DO).
Kembali pada bonus demografi, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif. Hal ini tentunya akan meningkatkan jumlah penghasilan yang masih bisa disisihkan sebagai salah satu sumber devisa negara.
Pertanyaan selanjutnya, apakah jumlah devisa bisa meningkat paralel dengan meningkatnya angkatan kerja? Di masa sekarang dan masa akan datang, Indonesia akan mengalami persaingan yang lebih berat. Apalagi kini telah masuk masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), belum lagi isu-isu terkait jatuhnya harga minyak dunia, sedang lesunya perekonomian dunia, dan isu terkait ketahanan pangan. Jika tak mau bersaing dengan bangsa lain, bukan bonus yang didapat tetapi bencana.
Dalil yang dikemukakan Thomas Robert Malthus yaitu bahwa jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan kebutuhan hidup riil dapat meningkat secara arismatik (deret hitung).
Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan terjurumus ke dalam jurang kemiskinan dan berada di ujung batas kelaparan. Dalam jangka panjang, tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan "pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan bumi tak mampu memprodusir makanan buat menjaga eksistensi manusia.” Jika ada yang bertanya bagaimana cara menghentikan pertumbuhan penduduk ini? Malthus menjawab dengan kalem “Perang adalah satu-satunya cara mengurangi jumlah penduduk.” Tentu saja tidak ada yang ingin menempuh cara gila ini.
Negara Gagal Bonus Demografi
Ada baiknya bangsa ini belajar dari negara lain yang gagal memanfaatkan bonus demografi. Jangan sampai Indonesia turut bergabung menyusul Afrika Selatan dan Brazil sebagai negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi. Ada apa dengan dua negara itu? Hingga saat ini Afrika Selatan masih termasuk dalam negara dunia ketiga dengan permasalahan kemiskinan yang banyak membelit warganya. Sementara Brazil, meski baru saja sukses menjadi tuan rumah Olimpiade 2016, tetap terjebak dalam middle income trap karena ketimpangan ekonomi antarmasyarakat masih sangat tinggi. Itulah sebabnya Brazil gagal naik peringkat dari zona negara middle income menuju zone negara high income. Negara tersebut gagal memanfaatkan bonus demografi karena kurangnya perencanaan.
Kualitas Bukan Kuantitas.
Faktanya di lapangan, sebenarnya Indonesia masih belum siap dalam menghadapi bonus demografi ini. Ada beberapa indikator yang mendukung pernyataaan ini.
- Tingkat pendidikan. Tentu untuk menghasilkan SDM yang baik diperlukan pula pendidikan yang baik. Percuma saja jika (maaf) hanya jadi bangsa kuli. Melakukan pekerjaan kasar yang hanya mengandalkan otot bukan otak. Dari tabel terlihat bahwa mayoritas pendidikan angkatan kerja produktif hanya sampai SD dan SMP. Jelas saja, SDM seperti ini tidak akan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas di era globalisasi yang butuh tingkat pendidikan dan keahlian tinggi.
- Tingkat pengangguran. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang atau 5,5 persen. Ada yang bilang lebih baik jadi kuli daripada lulus sarjana tetapi menganggur. Paling tidak, bekerja membuat seseorang mampu untuk menghidupi diri sendiri dan tidak menjadi beban/tanggungan orang lain. Menurut Marx ( Munir Rozi dan Budiarto, 1986), surplus relatif penduduk atau pengangguran dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
- Pengangguran mengambang (floating) terdiri dari sejumlah besar orang-orang yang tenaganya tersisihkan oleh mesin maupun perubahan struktur yang terjadi dalam industri.
- Pengangguran terus-menerus tetap (laten) disebabkan karena bagian penduduk pengolah tanah sudah berada dalam posisi untuk pindah ke kota besar, terutama disebabkan akibat masuknya modal dalam sektor pertanian
- Pengangguran berhenti (stagnant) mencakup para pekerja yang pekerjaannya sangat tidak teratur sehingga tingkat kehidupannya mencapai titik yang terendah.
- Tingkat Kemiskinan. Seperti lingkaran setan, rendahnya pendidikan berbanding lurus dengan rendahnya pendapatan. Alhasil, pendapatan minim tersebut tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Generasi ini memang produktif namun tak mampu menopang generasi tidak produktif lainnya. Bahkan mereka menjadi beban tambahan generasi produkif lainnya. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, jumlah penduduk miskin mencapai 28 juta jiwa atau 10,86 persen dari total penduduk Indonesia. Menurut BPS, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Makan sehari-hari saja, apalagi memikirkan sekolah. Piye tho
- Masalah Kesehatan. Sama dengan pendidikan. Makan saja susah apalagi buat berobat. Ada pepatah lama, orang miskin dilarang sakit. Masih untung saat ini ada BPJS. Tapi celakanya, justru para angkatan kerja produktif yang banyak menjadi pasien BPJS. Utamanya penyakit yang disebabkan oleh kebiasan merokok, seperti sesak napas, sakit paru-paru, stroke, dan penyakit lainnya. Bagaimana mau bersaing di dunia kerja jika sakit-sakitan. Sebentar-sebentar batuk, sebentar-sebentar ke dokter. Sehari kerja, tiga hari sakit.
Belajar dari Negara Lain
Mestinya kita belajar dari Korea Selatan. Mereka berhasil memanfaatkan bonus demografi. Padahal kalau kilas balik sejarah, kondisi mereka tidak berbeda jauh dari Indonesia. Korea Selatan merdeka hanya selisih beberapa hari. Selain itu, mereka juga baru bangkit dari perang saudara dengan Korea Utara. Namun pada saat ini perkembangan dan kemajuan Korea Selatan lebih tinggi dibandingkan Indonesia, baik itu tentang kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Kuncinya adalah peningkatan kualutas sumber daya manusia dan kerja keras.
Menurut PBB pada tahun 2013 saat ini kondisi Korea Selatan dan Jepang sangat bagus dan layak untuk diperhitungkan, sebab penilaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Jepang berada di ranking 10 dan Korea Selatan di ranking 12. Jauh berada di atas ranking Indonesia yang tercecer di rangking 111.
Strategi Menghadapi Bonus Demografi.
Dari negara yang gagal dan berhasil memanfaatkan bonus demografi dapat kita ambil pelajaran bahwa perencanaan adalah faktor penentu. Pernah menonton film Sabtu Bersama Ayah. Diceritakan setiap hari Sabtu, sang anak berkesempatan untuk menonton video wasiat almarhum sang ayah. Video tersebut berisi nasehat dan bimbingan untuk anak dalam menempuh kehidupan. Selalu ditekan oleh Sang Ayah bahwa dalam hidup yang terpenting adalah membuat rencana, rencana, dan rencana. Negara yang gagal sejak awal memang kurang perencaaan. Sebaliknya Korea dan Jepang jauh-jauh hari sudah mempersiapkan sdm-nya menghadapi bonus demografi. Laju bonus demografi juga akan berimbas pada sektor-sektor lain baik positif atau negatif seperti perumahan, keamanan, kecukupan pangan, dan penataan wilayah.
- Pendidikan. Ini menjadi tugas utama untuk meningkatkan kualitas dari bonus demografi yang ada. Korea Selatan pernah menjadi salah satu negara termiskin di Asia dengan sumber daya alam yang terbatas. Mereka sadar, bahwa satu-satunya jalan untuk memanfaatkan bonus demografi adalah pendidikan. Pendidikan tinggi yang baik akan meningkatkan kualitas sdm mereka serta mempengaruhi faktor-faktor lainnya. Demikian halnya dengan Jepang, mereka sadar bahwa kualitas sdm adalah segalanya. Mengutip Francis Beacon, Knowledge is Power. Terbukti dua negara ini menjadi maju. Pada mulanya adalah pendidikan. Ini yang harus dikejar. Galakkan terus wajib belajar 12 tahun dan 15 tahun. Dan sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, tingkatkan pula pelatihan kerja (vocational training) sebagai terobosan peningkatan kualitas tenaga kerja.
- Kesehatan. Penting untuk menciptakan generasi yang kuat dan berkualitas. Penting peranan generasi berencana (Genre) yaitu merencanakan kesehatan anak sejak dari dalam hingga dewasa terutama di masa usia emas 1 – 18 tahun (golden age). Mulai dari asupan gizi di dalam rahim, pemberian ASI eklusif, imunisasi, mempraktekkan gaya hidup sehat, hingga pendidikan tentang kesehatan termasuk kesehatan reproduksi. Mens sana in corpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat).
- Pemberdayaan perempuan. Perempuan punya kesempatan yang sama untuk maju dan bekerja seperti laki-laki. Kini bukan jamannya Siti Nurbaya, dimana perempuan hanya menunggu untuk dilamar dan bekerja di dapur. Jika perempuan produktif hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga, tentu akan menambah beban tanggungan angkatan kerja produktif lainnya. Apalagi jumlah perempuan produktif jumlahnya hampir sama dengan laki-laki produktif. Hasil estimasi Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dengan bimbingan dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk pada tahun 2015 sebesar 255.461.686 jiwa, yang terdiri atas 128.366.718 jiwa penduduk laki-laki dan 127.094.968 jiwa penduduk perempuan.
- Penciptaan lapangan kerja. Semakin bertambahnya penduduk semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Kasarnya, semakin banyak mulut yang harus diberi makanan. Pemerintah perlu menciptakan peluang kerja untuk mereka. Selain itu bekali pula dengan pendidikan kewirausahaaan, apalagi di era digital ini peluang berusaha sangat terbuka lebar. Demikian pula dengan pelatihan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka bukan saja menciptakan peluang kerja untuk diri sendiri tetapi juga orang lain. Sehingga semakin banyak tenaga kerja diserap, semakin rendah angka pengangguran.
- Selain itu, cintailah produksi dalam negeri. Belajar dari Jepang dan Korea Selatan, mereka sangat mencintai produksi dalam negeri hingga dapat menyerap hasil produksi dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi Indonesia mempunyai pangsa yang sangat besar, dengan jumlah konsumen mencapai lebih dari 250 juta jiwa.
Bukan Bonus
Menurut Rektor Univeritas Padjajaran, Prof. Ganjar Kurnia, istilah tersebut seringkali menjadi problema. Sebab, istilah “bonus” itu sendiri sering dianggap membawa manfaat. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalahupah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah atau perangsang; gaji, upah ekstra yang dibayarkan kepada karyawan; gratifikasi; insentif.
Bonus demografi bukan hasil instan tapi merupakan investasi jangka panjang dari rencana kependudukan yang bakal berdampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat jika dikelola secara benar. Sebaliknya jika tidak diatur dan diawasi sejak dini, maka akan menjadi petaka bagi bangsa ini.
Semestinya kita waspada dengan berjalannya bonus demographic karena bertentangan dengan teori yang disampaikan oleh Maltus. Ahli ekonomi ini berpendapat bahwa bertambahnya populasi penduduk justru akan menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi masayarkat yang lebih dulu ada. Thomas Hobbes juga pernah berkata: “Human society is short and brutish……the condition of man is a condition of war of everyone against everyone”.
Mulai benahi dari sekarang, bonus demografi masih berjalan dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Jika pemuda tidak diarahkan sejak dini maka kita tidak mendapat bonus tersebut. Bonus itu didapat oleh remaja-remaja sehat dan berpendidikan saat ini.
Perlu segera ada antisipasi yang konkret untuk mengendalikan bonus demografi tersebut. Perlu strategi untuk mengatasi kendala-kendala yang ada dengan meningkatkan kualitas sdm yang ada. Perlu langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan, meciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ingat, Amat Victoria Curam, bahwa kemenangan butuh perencanaan. Tanpa perencanaan maka momentum bonus demografi akan menjadi sia-sia. Maunya untung malah buntung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H