Saya sendiri mekipun sudah kuliah S-2 (Alhamdulillah dapat beasiswa), tetap harus kuliah S-1 bidang teknik untuk keperluan pekerjaan di kantor. Karena biaya sendiri, saya memilih uang kuliah yang bisa dicicil perbulan. Dapatlah sebuah universitas di Jakarta Pusat dengan akreditasi B dengan uang kuliah bisa dicicil Rp. 500 ribu/bulan. Sama dengan jumlah SPP perbulan anak bungsu saya yang masih duduk di bangu Taman Kanak Kanak. Uang sekolah bulanan kakaknya di sebuah sekolah swasta bahkan mencapai Rp. 750 ribu/bulan. Kalah lho anak kuliah.
Terbayang oleh saya bagaimana jika keluarga besar ayah saya hidup pada masa sekarang. Bagaimana menjamin biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup? Banyak anak bukan lagi banyak rejeki. Banyak anak jadi banyak stress, hi..hi...
Dahulu memang Presiden Soekarno pro natalis yang mendorong setiap keluarga untuk punya banyak anak. “Kita butuh 250 juta orang untuk membangun negeri ini!” seru Soekarno. Karena saat itu penduduk negeri ini masih sedikit, sekitar 40 juta jiwa.
Ibu dan ayah adalah guru pertama pada anak. Rumah adalah sekolah pertamanya dimana diajarkan prinsip norma-norma dan akhlak.
“If is quality rather than quantity that count,” ujar Lucius Annaeus Seneca.
Keluarga Inti atau nuclear family berperan penting bagi pertumbuhan seorang anak. Pernah dengar kata-kata Hillary Clinton, it takes a village to raise a child. Saya pribadi merasa bahwa orangtualah yang paling bertanggung jawab terhadap anak.
Pada zaman Soeharto mulai terasa dampak dari pertumbuhan penduduk yang pesat. Pemerintah kelabakan menyediakan lapangan pekerjaan, pangan, sandang, dan papan. Sebab itulah program Keluarga Berencana kembali digiatkan. Dari paparan Bapak Abidin, berkat program KB pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia bisa dikurangi 80 juta jiwa menjadi ‘hanya’ 205 juta jiwa (tanpa KB bisa melonjak menjadi 285 juta jiwa). Atau pada tahyn 2010, bila tanpa program KB jumlah penduduk mencapai 330 juta berhasil dipangkas menjadi 237 juta jiwa.
Ibu Airin menambahkan bahwa sangat disayangkan begitu rezim Orde Baru tumbang program KB ini ikut tenggelam. Ganti rezim ganti kebijakan. Padahal sebuah kebijakan yang baik meski berasal dari rezim yang berbeda semestinya tetap dipertahankan. Ambil yang baik dan buang yang buruk. Amar maruf nahi mungkar. Salut buat Bapak Jokowi yang mulai menghidupkan kembali program KB ini guna mendukung revolusi mental.
Pak Abidin begitu bersemangat menjelaskan empat masalah besar dalan kependudukan di Indonesia.
Pertama, adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Berdasarkan prediksi terbaru yang dirilis oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PPB (Juli 2015) diperkitakan total penduduk dunia pada 2050 akan mencapai 9,7 miliar. Dalam laporan Prospek Penduduk Dunia Terkini PBB, pertumbuhan penduduk di dunia saat ini berkembang di kisaran 74 juta jiwa per tahun. Dimana prediksi ini diukur melalui asumsi rata-rata tingkat kelahiran dua anak. Pada tahun 2050 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan menungkat dari 249 juta pada 2013 menjadi 366 juta.
Kedua, kualitas SDM yang rendah. Human Development Index (HDI) pada 2014 Indonesia berada pada posisi 108 dari 187 negara yang disurvei. Untuk di kawasan ASEAN. HDI Indonesia berada di posisi 6 dibawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura.