Keesokan harinya, Selasa, saya mengikuti kelas seperti biasa dan saya duduk di kursi di barisan paling belakang. Sebelah kanan saya Marloan, kiri saya, Gani Manisa. Hidungnya mulai ingusan. Marloan sempat menanyakan kondisi saya dan menyarankan saya untuk istirahat dan segera periksa ke dokter.
Sesuatu yang tak nyaman di masa pandemi adalah flu dan batuk, lalu kita berada di tengah-tengah orang lain. Perasaan dengan teman-teman sudah pasti. Kekhawatiran akan penularan kepada orang lain juga pasti. Saya kemudian mundur diri dan pamit dengan teman-teman untuk kembali ke kamar. Saya kembali istirahat, konsumsi vitamin dan aqua sebanyak-banyak. Makan siang seperti biasa, tetapi saya mulai menjaga jarak dengan teman-teman. Sorenya kondisi tubuh saya tidak banyak berubah. Sahabat saya, Facun berjanji untuk anjang sana ke asrama. Malam  itu pula saya meminta bantuannya untuk mengantarkan saya pulang ke rumah.
Kami tidak langsung ke rumah. Kami sempat mampir di sebuah rumah makan "favorit" kami. Sebelumnya Facun sudah menghubungi Patris, Â rekan dosen ketika kami masih mengajar di Unwira, untuk bergabung. Selain makan, kami bacarita tentang pekerjaan serta mendengar sharing Facun yang baru saja pulang studi di Amerika Serikat.Â
Satu setengah jam kami berada  di rumah makan tersebut, akhirnya saya meminta Facun untuk antar saya ke rumah. Kami pun bubar, jalan beriringan dan berpisah di cabang RSS setelah jembatan Liliba. Patris terus ke Baumata, saya dan Facun menuju rumah di Ukitau.
Kedatangan saya sudah dinanti oleh istri dan keponakan. Â Facun turun sebentar lalu pamit. Saya masuk kamar makan dan minta keponakan untuk mengoles minyak di kaki dan tangan. Sialnya, pada saat turun mobil saya tanggalkan masker. Di meja makan, istri saya tiba-tiba bersin. Kami dua hanya saling memandang. Saya membathin, "wah gawat istri saya, tertular pilek."
Demam dan pilek belum redah, seluruh tubuh mulai terasa pegal-pegal. Paginya, istri berangkat kerja seperti biasa. Sore harinya, istri mengeluh rasa meriang, demam dan flu. Istri sempat istirahat sejanak, sebelum jam 7 malam kami berangkat ke rumah sakit.
Saya trauma menyebut apalagi melihat rumah sakit. Apalagi ada informasi di media bahwa pasien Covid di RSUD Prof. W.Z. Johannes membludak. Tetapi, inilah kenyataan yang tak bisa kami hindari. Rumah sakit adalah pilihan paling bijak dan rasional.
Dengan sikap berani, kami menghantar istri ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di sana, kami dilayani oleh petugas dengan baik. Istri diperiksa atau diukur tekanan darah, suhu dan saturasi, serta di-swab antigen. Dari hasil swab dinyatakan istri reaktif dan harus dites PCR keesokan harinya. Akhirnya istri saya dipindahkan ke IGD khusus pasien Covid. Selama dua malam di sana, istri ditemani saya dan keponakan, Farini. Kami dalam ruang yang sama, bersama pasien Covid yang lainnya.
Segala kekhawatiran saya pudar seketika tatkala melihat petugas, Azzryel  Giovanny, dkk melayani pasien dengan penuh tanggungjawab tanpa kekhawatiran apapun.Â
Mereka mengenakan APD atau minimal bermasker. Ini menjadi sumber energi positif untuk kami agar tidak perlu khawatir tentang Covid tersebut. Tiada jalan lain, selain hadapi kenyataan dan siap berperang dengan Covid.
Hasil PCR menyatakan istri saya positif dan rekomendasi dokter istri bisa melakukan isolasi mandiri di rumah. Pertimbangan ini diberikan mungkin karena level Covid istri belum terlalu parah -- karena indra penciuman dan rasa istri masih berfungsi dengan baik.