Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pembelajaran dari Messi untuk yang Belum "Move On" dari Pilpres 2019

2 Mei 2019   12:06 Diperbarui: 2 Mei 2019   14:51 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel Messi (Sumber: Sport-English.com)

Sepakbola dan politik memang dua hal yang berbeda. Tapi tak ada salahnya kita belajar dari sana. Sebuah tim tak menuai kemenangan jika kepemimpinan di lapangan hijau tak tepat. Kalah atau menang itu adalah hasil akhir. Jiwa yang ksatria memenangkan bathin kita bahwa kekalahan bukan akhir dari segala-galanya dan menyisihkan harapan akan adanya hari esok. 

Laga Barcelona tanpa Messi ibarat pepatah "makan bagaikan sayur tanpa garam". Hambar. Makanan tak terasa lezat.

Kelezatan sepakbola Barcelona adalah menu tiki-takanya. Sajian utama Barcelona dimana mereka berlaga dan dengan siapapun lawannya.

Tiki-taka tak hanya mengangkat Barcelona sebagai raja sepakbola beberapa dekade ini, sekaligus menaikan kasta sepakbola sebagai cabang seni.

Semula orang berpendapat bahwa sepakbola adalah olahraga semata. Mengutamakan fisik, kecepatan dan goal. Barcelona sebaliknya, mewujudkan sepakbola adalah seni. Seni mengolah si kulit bundar. Seni meracik strategi berperang ala lapangan hijau. Dan, seni menciptakan kemenangan yang menjadi tujuannya.

Bila sepakbola sebagai sebuah seni, maka sepakbola itu harus mempertontonkan keindahan. Barcelona melakukan itu. Menonton Barcelona berlaga seperti kita sedang menonton Play Station di layar PC atau TV. Bola berpindah dari kaki ke kaki dengan cepat. Tendangan para pemain terukur. Bola melengket di kaki pemain serasa di punggung kaki tertanam magnit.

Penonton tak hanya disuguhkan dengan sebuah kemenangan melainkan proses atau seluruh rangkaian permainan itu. Pertandingan semalam, Barcelona versus Liverpool (Rabu, 02/05/2019), mempertontonkan kedigdayaan Barcelona. Memang tak seluruh proses itu mengalir indah, tapi tiga gol yang dilesakkan ke gawang Liverpool melalui proses yang sangat indah.

Sepakbola memang penuh rivalitas. Ejek-ejekan. Di sisi lain, sepakbola adalah kegembiraan. Kegembiraan bila sepakbola itu memberikan pesona keindahan dan memiliki daya  entertain.

Sebuah hiburan berakhir tanpa chaos. Para penonton terpuaskan. Apapun hasil pertandingan yang diraih timnya. Asalkan keseluruhan jalannya pertandingan itu benar-benar fair dan menghibur.

Messi sepanjang kariernya di dunia sepak bola telah mempertontonkan diri sebagai seniman sepakbola. Lebih dari sekedar pesepakbola. Lihatlah cara ia men-dribble bola. Pandanglah saat dia menendang si kulit bundar. Perhatikan gerak tubuhnya saat menggiring bola. Kaki, tangan, tubuhnya dan bola bergerak seirama. Kepiawaiannya membangkitkan rasa takjub pada orang-orang yang menyaksikannya -- kecuali musuh-musuhnya.

Kemenangan Barcelona semalam meninggalkan dua pesan. Pertama, pesan itu datang dari seorang Messi. Pesan itu tentang kepemiminan. Kita memang tak mengabaikan Ter Stegen yang berjibaku di bawah gawang. Tiga atau lebih upayanya yang menyelamatkan gawang Barcelona dari gempuran Salah dan kawan-kawan.

Messi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin. The captain. Di sepakbola, menjadi sang kapten tak segampang yang dibayangkan. Bukan karena nama besar, kekayaan atau kehebatan. Menjadi seorang kapten bukan sekedar asal comot seorang pemain untuk melilitkan ban kapten di lengannya. Seorang kapten adalah seorang pemimpin tetapi ia harus memiliki jiwa kepemipinan.

Di luar sepakbola, banyak orang yang terpilih menjadi pemimpin. Tetapi tidak semua orang yang terpilih itu memiliki jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan itu memiliki roh. Roh atau aura kepemimpinan itu tampak pada seorang pemimpin. Meminjam istilah orang Ngada dan Nagekeo, Flores, pemimpin itu harus punya waka (kewibawaan). Waka itu tampak di wajahnya, tutur kata dan tindakan dalam keseharian.

Memang sih ada pemimpin yang aura wajahnya menyiratkan waka tapi tutur kata dan tindakan tidak mencerminkan itu. Bisa waka itu tampak pada wajah dan tutur katanya -- pandai berorasi -- tetapi sikap dan tindakannya jauh dari manifestasi kewibawaan itu sendiri.

Pemimpin yang berwibawa adalah pemimpin yang pembicaraannya terukur. Pemimpin yang berwibawa adalah pemimpin yang pandai memilih diksi atau kata pada setiap rangkaian kalimat orasinya. Tengoklah Soekarno, sang orator ulung. Ia pandai memilih kata dan membakar spirit pendengarnya.

Messi adalah pemimpin. Ia memang bukan seorang orator ulung seperti Soekarno. Toh, tak bisa disamakan karena bidang kepemimpinan yang berbeda.  Sepakbola tak butuh banyak bicara. Tetapi Messi pandai memilih momentum untuk mnjebol gawang lawan. Sama pandainya ia memilih pemain yang akan menerima umpannya serta mengatur keakuratan tendangannya.

Seorang pemimpin harus mampu membuktikan kepemimpinannya dalam bentuk hasil-hasil yang dicapai dalam kepemimpinannya. Ia tak sesumbar menyatakan menang sementara pertandingan belum usai. Untuk sebuah optimisime sih ya, tetapi optimisme itu harus diikuti dengan perjuangan nyata atau kerja keras bukan bualan atau khayalan. Dan, tak kalah pentingnya, seorang pemimpin harus mengakui kekalahan dan mengapresiasi kemenangan seperti yang dilakukan oleh sang pelatih Liverpool semalam. Di hatinya mungkin ia kecewa setidak-tidaknya ia keluar Camp Nou dengan langkah tegak dan mencaci maki tuan rumah serta menebar hoax kecurangan. Karena kepemimpinan itu sendiri membutuhkan pemimpin yang berjiwa besar atau ksatria dalam situasi kalah atau menang.

GBM's Qoute
GBM's Qoute
Kedua, pelajaran lain adalah sepakbola itu sendiri. Rivalitas dua kubu pasti. Permusuhan pasti. Permusuhan itu akan berakhir dengan berakhirnya pertandingan kedua kubu yang berseteru. Atau, permusuhan itu mungkin saja abadi, tetapi ruang dan waktunya terbatas. Ya, itu hanya di lapangan (dalam stadion) dan waktu pertandingan saja. Di luar dari itu, semua warga.

Seharusnya, dalam bidang politik, Indonesia harus belajar dari sepakbola. Sepakbola Eropa khususnya. Kalau sepakbola Indonesia, tak satu tim pun yang dapat dijadikan contohnya. Buktinya, antar suporter terus berantem di luar lapangan. Bahwa rivalitas dan permusuhan ada batasnya -- ruang dan waktu. Bila Pilpres sudah usai, ya kita tak perlu lagi mendikotomikan lagi rakyat berdasarkan dua kekuatan besar dalam Pilpres yang lalu. Berani menerima kekalahan dan mengakui kemenangan. Jika sepakbola tak dapat menjadi pembanding, maka Indonesia belajarlah pada Amerika Serikat. Dengan berakhirnya Pilpres, secara otomatis atau tak ada rekonsiliasi, tak ada dikotomi lagi antar para pedukung. Baik yang kalah atau yang menang adalah warga Amerika. Maka baik Jokowi maupun Prabowo harus belajar dari demokrasi negeri Adi Daya ini. Jangan hanya bangga-banggain si Trump saja. Demokrasi adalah sistim, Trump ada pribadi.

Sepakbola dan politik memang dua hal yang berbeda. Tapi tak ada salahnya kita belajar dari sana. Sebuah tim tak menuai kemenangan jika kepemimpinan di lapangan hijau tak tepat. Kalah atau menang itu adalah hasil akhir. Jiwa yang ksatria memenangkan bathin kita bahwa kekalahan bukan akhir dari segala-galanya dan menyisihkan harapan akan adanya hari esok. 

Dalam situasi ini, kita membutuhkan pemimpin yang berjiwa kepemimpinan meskipun kenyataan tak semua pemimpin memiliknya. Karena politik itu samahalnya dengan sepakbola, dalam rivalitas ada ekspresi kegembiraan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun