Messi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin. The captain. Di sepakbola, menjadi sang kapten tak segampang yang dibayangkan. Bukan karena nama besar, kekayaan atau kehebatan. Menjadi seorang kapten bukan sekedar asal comot seorang pemain untuk melilitkan ban kapten di lengannya. Seorang kapten adalah seorang pemimpin tetapi ia harus memiliki jiwa kepemipinan.
Di luar sepakbola, banyak orang yang terpilih menjadi pemimpin. Tetapi tidak semua orang yang terpilih itu memiliki jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan itu memiliki roh. Roh atau aura kepemimpinan itu tampak pada seorang pemimpin. Meminjam istilah orang Ngada dan Nagekeo, Flores, pemimpin itu harus punya waka (kewibawaan). Waka itu tampak di wajahnya, tutur kata dan tindakan dalam keseharian.
Memang sih ada pemimpin yang aura wajahnya menyiratkan waka tapi tutur kata dan tindakan tidak mencerminkan itu. Bisa waka itu tampak pada wajah dan tutur katanya -- pandai berorasi -- tetapi sikap dan tindakannya jauh dari manifestasi kewibawaan itu sendiri.
Pemimpin yang berwibawa adalah pemimpin yang pembicaraannya terukur. Pemimpin yang berwibawa adalah pemimpin yang pandai memilih diksi atau kata pada setiap rangkaian kalimat orasinya. Tengoklah Soekarno, sang orator ulung. Ia pandai memilih kata dan membakar spirit pendengarnya.
Messi adalah pemimpin. Ia memang bukan seorang orator ulung seperti Soekarno. Toh, tak bisa disamakan karena bidang kepemimpinan yang berbeda. Â Sepakbola tak butuh banyak bicara. Tetapi Messi pandai memilih momentum untuk mnjebol gawang lawan. Sama pandainya ia memilih pemain yang akan menerima umpannya serta mengatur keakuratan tendangannya.
Seorang pemimpin harus mampu membuktikan kepemimpinannya dalam bentuk hasil-hasil yang dicapai dalam kepemimpinannya. Ia tak sesumbar menyatakan menang sementara pertandingan belum usai. Untuk sebuah optimisime sih ya, tetapi optimisme itu harus diikuti dengan perjuangan nyata atau kerja keras bukan bualan atau khayalan. Dan, tak kalah pentingnya, seorang pemimpin harus mengakui kekalahan dan mengapresiasi kemenangan seperti yang dilakukan oleh sang pelatih Liverpool semalam. Di hatinya mungkin ia kecewa setidak-tidaknya ia keluar Camp Nou dengan langkah tegak dan mencaci maki tuan rumah serta menebar hoax kecurangan. Karena kepemimpinan itu sendiri membutuhkan pemimpin yang berjiwa besar atau ksatria dalam situasi kalah atau menang.
Kedua, pelajaran lain adalah sepakbola itu sendiri. Rivalitas dua kubu pasti. Permusuhan pasti. Permusuhan itu akan berakhir dengan berakhirnya pertandingan kedua kubu yang berseteru. Atau, permusuhan itu mungkin saja abadi, tetapi ruang dan waktunya terbatas. Ya, itu hanya di lapangan (dalam stadion) dan waktu pertandingan saja. Di luar dari itu, semua warga.
Seharusnya, dalam bidang politik, Indonesia harus belajar dari sepakbola. Sepakbola Eropa khususnya. Kalau sepakbola Indonesia, tak satu tim pun yang dapat dijadikan contohnya. Buktinya, antar suporter terus berantem di luar lapangan. Bahwa rivalitas dan permusuhan ada batasnya -- ruang dan waktu. Bila Pilpres sudah usai, ya kita tak perlu lagi mendikotomikan lagi rakyat berdasarkan dua kekuatan besar dalam Pilpres yang lalu. Berani menerima kekalahan dan mengakui kemenangan. Jika sepakbola tak dapat menjadi pembanding, maka Indonesia belajarlah pada Amerika Serikat. Dengan berakhirnya Pilpres, secara otomatis atau tak ada rekonsiliasi, tak ada dikotomi lagi antar para pedukung. Baik yang kalah atau yang menang adalah warga Amerika. Maka baik Jokowi maupun Prabowo harus belajar dari demokrasi negeri Adi Daya ini. Jangan hanya bangga-banggain si Trump saja. Demokrasi adalah sistim, Trump ada pribadi.
Sepakbola dan politik memang dua hal yang berbeda. Tapi tak ada salahnya kita belajar dari sana. Sebuah tim tak menuai kemenangan jika kepemimpinan di lapangan hijau tak tepat. Kalah atau menang itu adalah hasil akhir. Jiwa yang ksatria memenangkan bathin kita bahwa kekalahan bukan akhir dari segala-galanya dan menyisihkan harapan akan adanya hari esok.Â
Dalam situasi ini, kita membutuhkan pemimpin yang berjiwa kepemimpinan meskipun kenyataan tak semua pemimpin memiliknya. Karena politik itu samahalnya dengan sepakbola, dalam rivalitas ada ekspresi kegembiraan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H