Saya tak membenarkan seratus persen stigma ini. Toh, ada banyak Operator Sekolah yang bekerja tanpa pamrih. Bekerja siang dan malam. Dapat honor dari sekolah pun syukur, tidak pun tidak apa-apa asalkan statusnya honorernya terus diperpanjang. Inilah dilema hidup Operator Sekolah.
Tuntutan DAPODIK begitu tinggi, sementara ada sekolah-sekolah yang jauh dari jangkauan internet. Memang secara teknis, DAPODIK dikembangkan secara semi-offline, tapi untuk meng-update data di server pusat harus dilakukan dengan tahapan sinkronisasi dan butuh koneksi internet. Itu butuh biaya, waktu dan tenaga. Tak menjadi soal bagi sekolah-sekolah yang ada di kota. Saya tak bisa membayangkan sekolah-sekolah di pedalaman Papua, Kalimantan, NTT dan lain sebagainya. Mereka memerlukan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan titik atau spot yang ada sinyal.
Dapatkah Anda bayangkan, dari satu aplikasi DAPODIK Sekolah yang dikendalikan Operator Sekolah, Satuan Pendidikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota/Provinsi serta bahkan Kementerian Pendidikan dapat memperoleh data dengan cepat.Â
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya, DAPODIK menjadi pangkalan data tunggal untuk aplikasi-aplikasi lain yang ada di berbagai Setjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Â
Anda bisa bayangkan, betapa berartinya hasil kerja para Operator Sekolah dan dampaknya dalam pengambilan keputusan oleh berbagai stakeholder bidang pendidikan seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi/Kabupaten/Kota.
Saya percaya DAPODIK akan terus dikembangkan dari waktu ke waktu untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan dunia pendidikan. Nah, jika DAPODIK menjadi salah satu instrumen untuk pemantauan Dana Transfer Daerah, maka satu hal yang saya usulkan kepada Jokowi-Ma'ruf, berikanlah tunjangan (khusus) bagi Operator Sekolah. Mereka sungguh-sungguh bekerja. Tenaga yang professional, militan dan loyal terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia.
Operator Sekolah adalah tulang punggung (backbound)Â DAPODIK. Mereka sosok di balik layar sehingga data itu tersaji cepat di hadapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan jajaran serta semua pihak yang berkepentingan dengan data pendidikan. Karena tak ada gunanya bila DAPODIK dijadikan instrumen sementara kualitas data sangat rendah. Karena fakta di lapangan, saya tidak menampik kualitas data di DAPODIK perlu dicek kebenaranya. Hal ini bisa saja terjadi karena keteledoran Operator Sekolah. Bagaimana mereka bekerja dengan sungguh, sementara mereka bekerja keras dan bekerja cerdas tapi tidak diimbangi dengan imbalan yang sepantasnya.
Semoga dalam kepimpinan Jokowi-Maruf, bila mereka terpilih, harus mengambil langkah konkrit. Mereka tak hanya menjadikan DAPODIK sebagai instrumen pula  berani memberi tunjangan atau intensif bagi para Operator Sekolah.Â
Pengabdian Operator Sekolah tak kepada sekolah belaka, juga mendukung kinerja dan target Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Entah bagaimana caranya. Apakah nanti sharing cost dengan Pemda atau tanggung jawab full Pemerintah Pusat, asalkan mereka menjadi prioritas kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf nanti jika mereka benar-benar menginginkan DAPODIK sebagai instrumen yang dimaksud. Kualitas aplikasi harus ditunjang pula dengan kompetensi dan kualifikasi serta kinerja Operator Sekolah. Mereka sudah membuktikan itu. Tulisan ini hanya mengetuk hati Jokowi-Ma'ruf agar memberikan insentif bagi para pahlawan data pendidikan ini. Data itu mahal. Bukankah demikian?  ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H