Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Sebut Dapodik sebagai Instrumen, Tantang Jokowi-Ma'ruf Beri Insentif bagi Operator Sekolah

18 Maret 2019   18:09 Diperbarui: 18 Maret 2019   18:19 4643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi-Maruf (Foto: Klikbabel.com)

Salah satu hal menarik Debat III, DAPODIK masuk dalam pertanyaan Cawapres Ma'ruf Amin. Disebutkan DAPODIK menjadi salah satu instrument untuk mengendalikan, memonitor dan mengevaluasi Dana Transfer Daerah sektor pendidikan.

Saya sepakat, DAPODIK harus menjadi instrument penting bidang pendidikan. Mengikuti perkembangan atau tuntutan dunia pendidikan, DAPODIK terus dikembangkan fitur-fiturnya. Aplikasi ini terbilang bertahan dan adaptable.

Sebagai orang yang pernah menjadi Administrator Dapodik, menilai pernyataan Cawapres Ma'ruf Amin sangat serius. Tidak sekadar untuk "menguji" rival soal penguasaan materi di bidang pendidikan melainkan kenyataan yang sedang terjadi dan akan dilanjutkan. Pernyataan ini pasti akan diamini Jokowi.

Dua tahun mengabdi sebagai Admin DAPODIK. Waktu yang relatif singkat tetapi memberikan banyak hal yang bernilai tentang pengelolaan data pendidikan. 

DAPODIK adalah langkah besar sektor pengembangan infrastruktur digital yang sangat powerfull. Sebelum ada DAPODIK, ada aplikasi lain seperti Pedati dan entah yang lainnya. Penulis yang ingat Pedati itu.

Dalam suatu kegiatan Rakor Pendidikan di Jakarta 2017 lalu, saya mendengar pernyataan staf kepresiden yang menjadi pemateri waktu itu, DAPODIK menjadi model dan rujukan bagi kementerian/lembaga lain menuju ide besar INDONESIA SATU DATA. Meskipun gagasan ini sedikit terhambat oleh adanya ego sektoral, misalnya Kementerian Agama, salah satu kewenangannya mengelola pendidikan namun data pendidikan dari kedua lembaga ini belum bisa terintegrasi dengan DAPODIK. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki DAPODIK, sementara Kementerian Agama memiliki Simpatika.  Sulit untuk menyatukan dua platform sistem yang berbeda yang dikelola oleh dua lembaga yang berbeda pula. Butuh kesepahaman dan komitmen yang sama.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyingung soal pengembangannya. Saya kira hal-hal teknis pengembangan sudah dipikirkan, direncanakan, dikembangkan dan diterapkan oleh developer atas analisis kebutuhan user. Saya akan fokus menyoroti pada pengalaman interaksi saya dengan kepala sekolah, guru dan operator Dapodik Sekolah.

Dalam tanda petik, DAPODIK itu dapat menjadi hantu yang menakutkan. Maksud penulis begini. Sederhananya, nasib orang guru ditentukan oleh DAPODIK. Sebagai contoh, seorang guru mengajar sia-sia jika datanya belum masuk di DAPODIK. Seorang kehilangan uang sertifikasi bila kewajibannya tidak dipenuhi di DAPODIK, misalnya jumlah jam mengajar. Saya cenderung mengatakan DAPODIK menjadi alat kontrol yang bekerja secara sistem. Belum lagi, DAPODIK mulai terintergasi dengan absen online sehingga guru-guru tidak bisa main-main lagi.

Bila DAPODIK tumbuh menjadi aplikasi yang besar, powerfull dan futuristik tak lepas peran dari para Operator DAPODIK Sekolah, selanjutnya saya singkat Operator Sekolah. Kami, Admin atau Operator Dinas Pendidikan tak berarti apa-apa tanpa kerja keras para Operator Sekolah. Mereka bekerja pagi, siang dan malam. Kadang pula mereka bekerja dengan deadline waktu di tengah keterbatasan infrastruktur jaringan dan SDM.

Jadi, sesungguhnya, kehebatan DAPODIK itu, ya, kehebatan para Operatornya. Saya sulit membayangkan seandainya, DAPODIK itu dikendalikan di level dinas, apakah data akan real time dan cepat masuk dalam sistem. Maka dari itu, apresiasi itu pantas diberikan kepada para Operator Sekolah.

Tapi saya harus jujur. Kadang pula saya kesal dengan para operator. Mereka kadang berlagak seperti raja kecil. Kepala sekolah dan para guru pun takut padanya. Ya, memang, nyawa DAPODIK ada pada operator. Memang tidak semua Operator DAPODIK berlagak seperti itu. Ini bersifat kasusistis pada pribadi dan sekolah tertentu saja. Ini fakta. Hasil interaksi, sharing dan konsultasi kepala sekolah dan para guru dengan saya.

Saya tak membenarkan seratus persen stigma ini. Toh, ada banyak Operator Sekolah yang bekerja tanpa pamrih. Bekerja siang dan malam. Dapat honor dari sekolah pun syukur, tidak pun tidak apa-apa asalkan statusnya honorernya terus diperpanjang. Inilah dilema hidup Operator Sekolah.

Tuntutan DAPODIK begitu tinggi, sementara ada sekolah-sekolah yang jauh dari jangkauan internet. Memang secara teknis, DAPODIK dikembangkan secara semi-offline, tapi untuk meng-update data di server pusat harus dilakukan dengan tahapan sinkronisasi dan butuh koneksi internet. Itu butuh biaya, waktu dan tenaga. Tak menjadi soal bagi sekolah-sekolah yang ada di kota. Saya tak bisa membayangkan sekolah-sekolah di pedalaman Papua, Kalimantan, NTT dan lain sebagainya. Mereka memerlukan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan titik atau spot yang ada sinyal.

Kenangan Penulis menjadi Administrator DAPODIK Tingkat Provinsi (Foto: Dokpri)
Kenangan Penulis menjadi Administrator DAPODIK Tingkat Provinsi (Foto: Dokpri)
 Memang kerja Operator Sekolah itu berat. Kita mesti bersyukur mereka mau melakukannya tanpa honorarium yang pasti. Honor mereka bersumber dari sekolah itu. Itu sangat bergantung pada kebijakan dan kebaikan kepala sekolah. Ada tetapinya, itu bagi sekolah yang mapan. Sekolah yang siswanya banyak. Kemampuan finansialnya cukup memadai sehingga bisa membiayai Operator Sekolah. Nah, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang kecil. Jumlah siswa terbatas. Bagaimana mau mengharapkan honorarium yang bersumber dari dana Komite Sekolah?

Dapatkah Anda bayangkan, dari satu aplikasi DAPODIK Sekolah yang dikendalikan Operator Sekolah, Satuan Pendidikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota/Provinsi serta bahkan Kementerian Pendidikan dapat memperoleh data dengan cepat. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya, DAPODIK menjadi pangkalan data tunggal untuk aplikasi-aplikasi lain yang ada di berbagai Setjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Anda bisa bayangkan, betapa berartinya hasil kerja para Operator Sekolah dan dampaknya dalam pengambilan keputusan oleh berbagai stakeholder bidang pendidikan seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi/Kabupaten/Kota.

Saya percaya DAPODIK akan terus dikembangkan dari waktu ke waktu untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan dunia pendidikan. Nah, jika DAPODIK menjadi salah satu instrumen untuk pemantauan Dana Transfer Daerah, maka satu hal yang saya usulkan kepada Jokowi-Ma'ruf, berikanlah tunjangan (khusus) bagi Operator Sekolah. Mereka sungguh-sungguh bekerja. Tenaga yang professional, militan dan loyal terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia.

Operator Sekolah adalah tulang punggung (backbound) DAPODIK. Mereka sosok di balik layar sehingga data itu tersaji cepat di hadapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan jajaran serta semua pihak yang berkepentingan dengan data pendidikan. Karena tak ada gunanya bila DAPODIK dijadikan instrumen sementara kualitas data sangat rendah. Karena fakta di lapangan, saya tidak menampik kualitas data di DAPODIK perlu dicek kebenaranya. Hal ini bisa saja terjadi karena keteledoran Operator Sekolah. Bagaimana mereka bekerja dengan sungguh, sementara mereka bekerja keras dan bekerja cerdas tapi tidak diimbangi dengan imbalan yang sepantasnya.

Semoga dalam kepimpinan Jokowi-Maruf, bila mereka terpilih, harus mengambil langkah konkrit. Mereka tak hanya menjadikan DAPODIK sebagai instrumen pula   berani memberi tunjangan atau intensif bagi para Operator Sekolah. 

Pengabdian Operator Sekolah tak kepada sekolah belaka, juga mendukung kinerja dan target Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Entah bagaimana caranya. Apakah nanti sharing cost dengan Pemda atau tanggung jawab full Pemerintah Pusat, asalkan mereka menjadi prioritas kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf nanti jika mereka benar-benar menginginkan DAPODIK sebagai instrumen yang dimaksud. Kualitas aplikasi harus ditunjang pula dengan kompetensi dan kualifikasi serta kinerja Operator Sekolah. Mereka sudah membuktikan itu. Tulisan ini hanya mengetuk hati Jokowi-Ma'ruf agar memberikan insentif bagi para pahlawan data pendidikan ini. Data itu mahal. Bukankah demikian?  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun