Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Hoaks Menjamur di Indonesia?

5 Februari 2019   08:55 Diperbarui: 5 Februari 2019   09:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bagaimana budaya membaca di Indonesia? Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dalam Kompas.com (26/03/2018) mengemukan rata-rata orang Indonesia  membaca buku per minggu sebanyak 3-4 kali. Durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.

Najwa Shihab (Tirto.id, 11/07/2018) mengatakan menurut studi Most Littered Nation In the World pada tahun 2016 minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Mendekati juru kunci, khan?

Bahayanya, negara yang minat baca masyarakatnya rendah rentan terhadap hoaks atau kabar bohong.  Hal yang itulah yang terjadi di Indonesia. Masyarakat lebih cepat percaya berita-berita di dunia maya dan berbagai status di media sosial tanpa upaya mengkonfirmasi atau menelusuri informasi lebih dalam. Ya, itu tadi. Masyarakat lebih suka membaca berita-berita instan yang dibuat oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Karena masyarakat tidak memiliki budaya membaca yang benar.

2# Masyarakat malas berpikir yang ribet sehingga telan informasi  bulat-bulat

Rendahnya budaya membaca berpengaruh langsung pada pada kapasitas pengetahuan seseorang. Orang akan berpikir sempit dengan satu sudut pandang sendiri dan cenderung berprasangka negatif serta mudah terbawa arus. Padahal dengan membaca, seseorang dapat memperoleh beragam pengetahuan dan melihat sesuatu obyek atau peristiwa dengan banyak sudut pandang. Tak semata-mata karena unsur fanatisme tertentu. Membaca dapat membuka wawasan kita.

Kebiasaan buruk ini menyebakan masyarakat mudah menerima informasi secara bulat. Mereka tak mencari informasi serupa dari sumber yang berbeda sebagai pembandingnya. Karena kebenaran sebuah informasi itu tak mutlak. Kita harus mencari pembanding dari sumber yang lain. Masyarakat mencari informasi pembanding saja malas, apalagi berpikir secara logis akan kebenaran informasi yang diterimanya.

3# Membaca itu berfilsafat

Taruhlah masyarakat Indonesia memiliki minat baca, seberapapun minat baca itu. Membaca itu sama artinya berfilsafat.  

Membaca tak hanya melafakan  kata per kata. Melumat kalimat per kalimat. Membaca itu menyangkut keseluruhan kata, kalimat dan paragraf serta konteks dari bacaan tersebut -- bahkan di luar konteks. Membaca harus mempertajamkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Jadilah 'filsuf' yang menggugat eksistensi atau keberadaan hakekat atau ide dalam tulisan.

Seorang pembaca harus menjadi opisi dalam tulisan (penulis). Tak begitu saja mengiyakan atau sependapat dengan  penulis. Pembaca harus menjadi pemberontak terhadap isi tulisan dan mengadilinya dengan pisau bedah nalar atau logika berpikir yang benar. Nalar pembaca harus aktif menggugat setiap tulisan selum dicerna dan diendapkan di dasar pikiran apalagi diambil menjadi sebuah sikap tindakan. 

Nah, itu tak ada dalam diri pembaca di Indonesia pada umumnya saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun