Keempat, esports merupakan olahraga yang inklusif. Esports jauh lebih inklusif daripada jenis olahraga lain. Disebut esports inklusif? Karena olahraga ini dapat diikuti oleh siapa saja sekalipun orang tersebut memiliki keterbatasan fisik.Â
Secara teknologi, pengembang esports telah menyediakan fitur atau fasilitas yang memungkinkan orang dapat mengikuti permainan tersebut. Sebagai contoh, Microsoft telah membuat alternatif pengendali Xbox untuk orang yang tidak memiliki tangan. Penyandang cacat yang duduk di kursi roda pun dapat memainkan esports.
Kelima, keberhasilan dalam olahraga elektronik ini tidak tergantung pada seberapa atletisnya tubuh pemain esports itu sendiri.
Memperhatikan beberapa keunggulan esport diatas, maka dapat disimpulkan bahwa e-Sports layak dipertimbangkan masuk sekolah.
Sekelompok orang berpendapat bahwa esports dapat masuk sekolah. Adapun pertimbangan pendapat ini karena sekolah merupakan ruang pembelajaran dan pendidikan. Apa kontribusi esports di sekolah? Paling tidak anak-anak diberikan ruang dan kemampuan untuk berpikir "out of the box" daripada hal-hal rutinitas yang normatif. Esports dapat melatih fokus, akal sehat, dan pikiran anak-anak untuk memproses informasi yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Namun, pihak lain menolak dengan alasan sekolah untuk pendidikan yang bertujuan mengajar dan mendidik anak-anak. Sekolah bukan tempat untuk bermain video game. Sekolah harus lebih fokus memberi siswa materi yang mereka butuhkan untuk belajar. Bukan sebaliknya, memberi peluang mereka menjadi gamer professional seperti yang mereka inginkan.
Mempertimbangkan kelebihan esports dan pendapat dua kelompok yang saling bertentangan di atas, maka wacana esports layak dieksekusi sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler daripada sebagai pengetahuan formal yang dimasukan dalam kurikulum  sekolah. Alasannya, memasukan esports dalam kurikulum memerlukan investasi yang besar. Sekolah-sekolah harus menyediakan perangkat seperti komputer yang mendukung esport, jaringan internet dan lain sebagainya. Saat ini kebutuhan perangkat UNBK di sekolah-sekolah saja masih terbatas, apalagi harus menyediakan fasilitas laboratorium untuk esports. Lagipula, esports tidak hanya teori belaka, memerlukan praktik. Untuk praktik, tentu saja membutuhkan perangkat komputer dan lain-lain.  Meskipun bagi sekolah-sekolah yang berada di kota yang SDM dan kemampuan finansial mumpuni bukan menjadi menjadi masalah lagi untuk menerapkan esports.
Selain itu, mempertimbangkan gagasan ini baru permulaan, sebaiknya esports cukup dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler saja. Jadi tak ada pemaksaan atau kewajiban bagi sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan ini. Bagi sekolah yang memiliki daya dukung yang bagus, ya silahkan masukan esport dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler. Bagi sekolah yang belum siap, ya tidak bisa dipaksakan.
Oleh karena itu, jika ditanya apakah esports dapat masuk sekolah atau tidak? Jawabannya, ya, esport dapat masuk ke sekolah. Kehadirannya tak perlu dicemaskan. Langkah yang dinilai tepat memang memasukkan esports dalam kegiatan ekstrakurikuler, mengingat berbagai keterbatasan yang telah disebutkan di atas.Â
Langkah ini pun tak mengurangi nilai esports sendiri, justru akan menarik semakin banyak minat anak-anak didik sebelum esports benar-benar diterapkan di sekolah kelak. Bagaimanapun juga esports menjanjikan profesi yang menantang bagi generasi milenial. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H