Pulau Semau tak masuk dalam daftar 'tapaleuk' (jalan-jalan) mengisi waktu liburan lebaran. Kok bisa kami nyasar ke sana? Tentang ini saya mengabadikanya dalam dalam catatan 'tapaleuk' terdahulu (Baca: Kala Aku Jatuh Cinta dengan Sang Bidadari dari Pulau Semau).
Sayangnya, kami hanya melewatkan waktu terlalu singkat di Pulau Semau sehingga tak semua spot wisata dikunjungi. Padahal menurut cerita sahabat perjalanan saya, Bruno, sekitar 4-5 pantai eksotik yang dapat menyihir wisatawan. Toh, kami harus balik ke Kupang meskipun melewati lorong malam nan pekat serta ruas jalan yang tak bersahabat. (Baca: Terobos Lorong Malam, Sisir Selatan dan Barat Pulau Semau hingga Terjang Gelombang Teluk Kupang).
Baun bukan nama yang asing. Baun memiliki sejarah masa tempo doeloe. Di sinilah, istana raja Amarasi berdiri. Singgasana raja dibangun. Istiana tersebut masih terpelihara. Kita dapat menjumpainya di tengah 'kota' Baun.
Selain istana raja Amarasi, Baun dikenal sebagai salah satu wisata kuliner yang sangat terkenal. Di sini cikal-bakal kuliner yang sangat terkenal seantero Nusantara. Ya, Se'i Baun! Daging babi yang diasapkan. Sang pemilik adalah om Ba'i, orang-orang mengenalnya. Selain pemilik, ia adalah satu-satunya yang mengantongi resep rahasia Se'i Baun yang sangat terkenal itu.
Meskipun ada sisi yang menyeramkan, Ikan Foti -- demikian orang menamai tempat ini, memiliki sisi keindahan. Terutama hutan pinus dan padang sabananya. Pohon-pohon pinus berjejer rapih di sisi jalan. Memicu hasrat saya dan kawan-kawan - Bruno, Ocha dan Yonas. berhenti untuk mengabadikannya. Kami memarkir motor di tikungan. Lalu kami satu per satu foto dengan latar pohon pinus.
Sepintas hasil jepretan tampak seperti di sebuah negara Eropa pada musim salju. Tentu dengan syarat mengabaikan tanah yang kita pijak. He he he he. Akan tampak seperti salju menutup dedaunan pinus. Namun itu bukan salju melainkan debu yang menempel. Jadikan pinus-pinus itu memiliki pesona tersendiri.
"Di tikungan depan ada pemandangan yang lebih bagus. Banyak orang yang sering foto di situ." Katanya.
Kami tak menyia-nyiakan informasi buruh ini. Kami bergerak ke tempat yang direkomendasikan. Â Sebuah bukit atau gundukan tanah besar. Ditumbuhi rerumputan khas Timor. Di sela-sela padang sabana, Â beberapa pohon kasuari berdiri dengan jarak tak teratur. Namun demikian, komposisi rumput dan pohon kasuari memberikan pesona istimewa. Rerumputan di bukit tersebut sudah kering karena karena musim kemarau, tapi tempat ini tetap memendam pesona bagi wisatawan. Paling tidak, tempat ini menjadi salah satu spot fotografi.
Dari Ikan Foti, Baun tak jauh lagi. Membutuhkan waktu 15 menit. Perjalanan pun dilanjutkan. Setiba di jantung Baun -- perempatan dekat Puskesmas Baun dan Pasar Baun, Bruno menerobos ke arah hutan tropis yang lebat. Segala jenis tumbuhan Anda bisa jumpai di sini. Saya sempat bertanya.
"Santai, sa."
"Tak jadi ke Rumah Makan Se'i nih?"
Ia belum sempat menjawab, mata saya tertuju pada sebuah papan nama yang bertuliskan "Air Baun".
"Kita ke Air Baun."
Jalan ke tempat ini cukup terjalan. Ruas jalan tak beraspal. Butuh kehati-hatian. Kami memarkir kendaraan 50 meter dari sumber mata air. Kami berjalan kaki. Menuruni jalan setapak  menuju kolam Baun.
Tak kalah menariknya, ada sesuatu yang unik di tempat ini, yakni sebuah pohon kelapa yang tumbuh membentuk huruf L. Tumbuh secara horisontal sepanjang 4-5 meter, lalu tumbuh secara vertikal. Di batang kelapa tersebut tertempel pesan peringatan bagi penjunjung, "HANYA MONYET YANG BUANG SAMPAH DI SINI -- BETA NTT."
Air Baun adalah mata air kehidupan. Kehidupan orang Baun. Tak hanya mata air. Di tempat yang sama pula adalah jantung kehidupan orang Baun. Di sinilah, paru-paru Baun. Hutan tropis tumbuh lebat, bebas dan liar tanpa terusik tangan jahil manusia. ***
Baun, 14 Juni 2018