Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesparani NTT 2018, Memuji Tuhan, Kok Manusia yang Menilai?

27 Mei 2018   13:02 Diperbarui: 27 Mei 2018   13:27 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paduan Suara Kabupaten Alor

"Menjadi orang Katolik tanpa harus beragama Katolik, menjadi Muslim tanpa harus beragama Islam, menjadi umat Protestan tanpa harus beragama Protestan, menjadi Hindu tanpa harus beragama Hindu, menjadi Budha tanpa harus beragama Budha dan menjadi Konghucu tanpa harus beragama Konghucu. Jadilah diri kita yang Muslim, yang Katolik, yang Protestan, yang Hindu, yang Budha dan yang Konghucu  dalam tindakan, tutur kata dan amalan hidup  harian kita. Itulah Indonesia."

Judul di atas saya ambil dari cerita Professor Ferry, salah satu juri Lomba Paduan Suara Kategori Dewasa Pesta Paduan Suara Gereja Katolik (Pesparani) NTT 2018. Putra Manado ini adalah salah satu juri senior di pentas nasional. Di akhir perlombaan, ia didaulat panitia untuk mengomentari pelaksanaan lomba yang baru saja dinilainya. 

Guru besar ini berbicara lugas. Tanpa tendeng aling-aling. Mengkritisi pelaksanaan lomba. Kritikan ditujukan baik itu kepada penyelenggara, anggota paduan suara, dirigen hingga pelatih. Tak ada hal tabu yang diucapkan berkaitan dengan dunia tarik suara. Ia membocorkan "kekeliruan" pihak yang terlibat dalam kegiatan ini -- pelatih, dirigen dan anggota paduan suara. 

Karena memang tujuan kehadirannya di sini tidak sebagai juri semata. Karena semua orang bisa menjadi juri, katanya. Keberadaan benar-benar memberikan kesempatan semua pihak menyimak dari "technical coaching clinic" singkat ini. Meskipun durasi yang diberikan kepadanya singkat, materi yang dipaparkannya padat -- mengena pada sasaran. Materi sangat teknis. Dipaparkannya dengan serius tapi diselingi dengan humor sehingga mampu meredam atau mengobat pihak yang tersayati oleh kata-katanya.

Profesor membuka kisah pengalamannya di Bogor. Ia berhadapan dengan seorang peserta lomba paduan suara dari Indonesia Bagian Timur. 

"Kita memuji Tuhan, kok manusia yang menilai?" 

Lebih kurang itu pertanyaan peserta tersebut. Entah itu pertanyaan jebakan atau memang benar-benar bertanya karena ingin mencari jawaban. Professor sempat dibuat bingung olehnya. Dan, professor harus berpikir sebelum menjawab pertanyaan spontannya. Kata professor, Roh Kudus selalu hadir pada saat yang tepat sehingga memampukan ia menjawab pertanyaan tersebut.

"Perlombaan yang dinilai manusia berkaitan dengan hal-hal yang diajarkan atau dipelajari manusia (tentang bernyanyi). Bisa jadi yang juara di mata juri, belum tentu juara menurut penilaian Tuhan. Begitu pula yang juara menurut Tuhan belum tentu juara menurut penilaian juri."

Paduan Suara Fox Anjeli Nagekeo (Foto: dok. pribadi)
Paduan Suara Fox Anjeli Nagekeo (Foto: dok. pribadi)
Jawaban professor 'memenangkan' bathin sang penanya. Bathin professor lebih tenang lagi. Karena Roh Kudus yang berkarya padanya.  Pertanyaan yang menghuni bathin peserta selama lebih kurang dua dekade pun terjawab. Professor menyingkirkan keraguan-raguan penanya.  

Sebenarnya, satu hal yang professor mau sampaikan malam itu. Manusia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Untuk memberikan yang terbaik maka kita harus memberikan segala potensi, teknik dan penjiwaan lagu itu. Karena syair buka susunan kata yang mati. Melainkan kata-kata yang hidup melalui penjiwaan. 

Coaching clinic ini pula bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa apa saja yang dinilai dalam perlombaan tersebut. Sehingga peserta ataupun penonton tidak mereka-reka. Keterbukaan menjadi penting pada malam itu. Dengan maksud, tidak ada lagi yang omong di belakang layar dengan versinya masing-masing.

Hal lain, ia hendak menegaskan bahwa Pesparani adalah salah satu event evangelisasi atau perwartaan. Pewartaaan tentang kebaikan Tuhan kepada seluruh makhluk di bumi ini -- tanpa mengenal sekat perbedaan (menurut saya!). Karena eksistensi Tuhan melampui perbedaan dan bahasa kebaikan Tuhan itu universal.

Lebih lanjut, musik gereja adalah musik liturgi. Musik spiritual. Maka pada penjiwaanya berbeda dengan musik gospel yang lebih mengutamakan 'performance' -- seni pertunjukkan. Tak heran bila musik liturgi terkesan 'monoton' - membosankan. Tapi itulah fakta. Musik liturgi berbeda dengan jenis musik lain. Berkaitan dengan itu, menurut professor, kelompok paduan suara kali ini tanpa disadari terprovokasi dengan musik entertain/performance. Itu tergambar dari penjiwaan (vokal, ekspresi dan gesture).

Banyak hal yang berkaitan teknik vokal yang diulas -- yang penulis sendiri tidak terlalu paham. Ia menyoroti pula soal penjiwaan lagu karya Petrus Riki Tukan. Peserta kurang mengeksplorasi unsur kelokalan. Peserta justeru terjebak dengan pengartikulasian yang kebarat-baratan. Menurutnya itulah yang salah. Justeru inkulturasi musik ada dalam rangka itu. Tuhan itu ada di Timor, Eropa, Afrika dan sebagainya. Penyanyi harus menghadirkan keunikan dari asal lagu itu diciptakan. Malam itu, menurutnya, ia tidak temukan dari anggota paduan suara yang menyanyikan karya 'maestro' Petrus Riki Tukan.

Penjelasan professor Ferry mengingatkan saya pada adagium lama, "Qui bene cantat bis orat -- Beryanyi dengan baik sama artinya berdoa dua kali." Sebuah adagium Latin lama nan aktual hingga kini.

Ya, bernyanyi sama dengan berdoa dua kali. Sepertinya halnya berdoa memiliki sikap dan tata cara yang layak di hadapan Tuhan, bernyanyi pun demikian. Memiliki teknik olah vokal (artikulasi), penjiwaan dan sentuhan musikal yang memicu emosi spritualitas manusia. Di sini, uniknya musik gereja (dalam tradisi gereja katolik) atau musik liturgi.  

Menjiwai setiap penggalan syair menjadi satu kesatuan yang utuh, menyatu, selaras dengan nada, untuk keagungan Tuhan semata. Sedapat mungkin setiap lagu yang dikumandangkan tak hanya menggugurkan air mata para penyanyi, tetapi lebih utama air mata dan hati pendengar. 

Lagi, menurut professor, sebuah lagu yang dinyanyikan dengan baik dan benar dapat mentobatkan orang lain daripada sebuah kotbah yang berapi-api.  Lagu dapat menyelam dasar jiwa seseorang. Dan, orang selalu ingin kembali ke jalan yang sesungguhnya (bertobat) setelah mendengarnya. Yang semula jarang ke gereja bertobat dan menjadi sering ke gereja. Begitu ilustrasi professor Ferry.

Mengakhiri tulisan ini, apresiasi pantas diberikan kepada penyelenggara; Kanwil Agama Provinsi NTT, Pemerintah Provinsi NTT, pemerintah kabupaten/kota, panitia, singkatnya semua yang terlibat. Tak sia-sia mengusung tagline; "Nusa Terindah Toleransi". Toleransi itu nyata adanya. Disaksikan ribuan pasang mata-mata. 

Berjalannya acara ini tak hanya karena kekuatan atau kehebatan komunitas umat Katolik melainkan semua pihak -- terutama sama saudara kita, Muslim dan Protestan. Mereka telah mengambil bagian baik berpartisipasi sebagai anggota paduan suara maupun mendukung pelaksanaan kegiatan ini. 

Tanpa mengecilkan daerah lain, kita mesti belajar dari Nusa Kenari, Alor. Dimana anggota paduan suara merupakan gabungan dari saudara-saudari kita beragama Protestan, sedangkan yang mendampingi peserta berasal dari tokoh-tokoh Muslim. This is East Nusa Tenggara. Pemandangan yang unik dan luar biasa. Menggetarkan jiwa kita. Kebersamaan mampu mewujudkan perdamaian dan kerukunan di Nusa Tenggara Timur. 

Paduan Suara Kabupaten Alor
Paduan Suara Kabupaten Alor
Ketika kita berbicara tentang TUHAN, kita merujuk pada TUHAN yang BAIK (God is God). Meskipun kita memiliki perbedaan dalam penyebutan, mengimani TUHAN yang memiliki SIFAT yang SAMA. Agama adalah sarana. Agama adalah cara kita berkomunikasi. Tapi subyek iman kita adalah TUHAN yang kita uraikan sebagai BAPA yang BAIK, ALLAH yang Baik, TUHAN yang MAHA ESA dan PENCIPTA langit dan bumi.

Kita harus terus suarakan PERDAMAIAN. Terus hidup di pertiwi ini. Ingat, menjadi orang Katolik tanpa harus beragama Katolik, menjadi Muslim tanpa harus beragama Islam, menjadi umat Protestan tanpa harus beragama Protestan, menjadi Hindu tanpa harus beragama Hindu, menjadi Budha tanpa harus beragama Budha dan menjadi Konghucu tanpa harus beragama Konghucu. Jadilah diri kita yang Muslim, yang Katolik, yang Protestan, yang Hindu, yang Budha dan yang Konghucu  dalam tindakan, tutur kata dan amalan hidup  harian kita. Karena SEMUA AGAMA mengajarkan YANG BAIK dan KITA SEMUA adalah MAKHLUK TUHAN. Ya, TUHAN yang BAIK itu!

Marilah kita terus melakukan PEWARTAAN tentang KEBAIKAN TUHAN demi mewujudkan bumi yang damai melalui tarian dan nyanyian. Karena sesungguhnya TUHAN adalah SENIMAN yang AGUNG. Sang Maestro sejati. 

Jadilah NTT menjadi CERMIN TOLERANSI di Bumi Pertiwi ini. (gbm)

Kupang, 27 Mei 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun