Hal lain, ia hendak menegaskan bahwa Pesparani adalah salah satu event evangelisasi atau perwartaan. Pewartaaan tentang kebaikan Tuhan kepada seluruh makhluk di bumi ini -- tanpa mengenal sekat perbedaan (menurut saya!). Karena eksistensi Tuhan melampui perbedaan dan bahasa kebaikan Tuhan itu universal.
Lebih lanjut, musik gereja adalah musik liturgi. Musik spiritual. Maka pada penjiwaanya berbeda dengan musik gospel yang lebih mengutamakan 'performance' -- seni pertunjukkan. Tak heran bila musik liturgi terkesan 'monoton' - membosankan. Tapi itulah fakta. Musik liturgi berbeda dengan jenis musik lain. Berkaitan dengan itu, menurut professor, kelompok paduan suara kali ini tanpa disadari terprovokasi dengan musik entertain/performance. Itu tergambar dari penjiwaan (vokal, ekspresi dan gesture).
Banyak hal yang berkaitan teknik vokal yang diulas -- yang penulis sendiri tidak terlalu paham. Ia menyoroti pula soal penjiwaan lagu karya Petrus Riki Tukan. Peserta kurang mengeksplorasi unsur kelokalan. Peserta justeru terjebak dengan pengartikulasian yang kebarat-baratan. Menurutnya itulah yang salah. Justeru inkulturasi musik ada dalam rangka itu. Tuhan itu ada di Timor, Eropa, Afrika dan sebagainya. Penyanyi harus menghadirkan keunikan dari asal lagu itu diciptakan. Malam itu, menurutnya, ia tidak temukan dari anggota paduan suara yang menyanyikan karya 'maestro' Petrus Riki Tukan.
Penjelasan professor Ferry mengingatkan saya pada adagium lama, "Qui bene cantat bis orat -- Beryanyi dengan baik sama artinya berdoa dua kali." Sebuah adagium Latin lama nan aktual hingga kini.
Ya, bernyanyi sama dengan berdoa dua kali. Sepertinya halnya berdoa memiliki sikap dan tata cara yang layak di hadapan Tuhan, bernyanyi pun demikian. Memiliki teknik olah vokal (artikulasi), penjiwaan dan sentuhan musikal yang memicu emosi spritualitas manusia. Di sini, uniknya musik gereja (dalam tradisi gereja katolik) atau musik liturgi. Â
Menjiwai setiap penggalan syair menjadi satu kesatuan yang utuh, menyatu, selaras dengan nada, untuk keagungan Tuhan semata. Sedapat mungkin setiap lagu yang dikumandangkan tak hanya menggugurkan air mata para penyanyi, tetapi lebih utama air mata dan hati pendengar.Â
Lagi, menurut professor, sebuah lagu yang dinyanyikan dengan baik dan benar dapat mentobatkan orang lain daripada sebuah kotbah yang berapi-api. Â Lagu dapat menyelam dasar jiwa seseorang. Dan, orang selalu ingin kembali ke jalan yang sesungguhnya (bertobat) setelah mendengarnya. Yang semula jarang ke gereja bertobat dan menjadi sering ke gereja. Begitu ilustrasi professor Ferry.
Mengakhiri tulisan ini, apresiasi pantas diberikan kepada penyelenggara; Kanwil Agama Provinsi NTT, Pemerintah Provinsi NTT, pemerintah kabupaten/kota, panitia, singkatnya semua yang terlibat. Tak sia-sia mengusung tagline; "Nusa Terindah Toleransi". Toleransi itu nyata adanya. Disaksikan ribuan pasang mata-mata.Â
Berjalannya acara ini tak hanya karena kekuatan atau kehebatan komunitas umat Katolik melainkan semua pihak -- terutama sama saudara kita, Muslim dan Protestan. Mereka telah mengambil bagian baik berpartisipasi sebagai anggota paduan suara maupun mendukung pelaksanaan kegiatan ini.Â
Tanpa mengecilkan daerah lain, kita mesti belajar dari Nusa Kenari, Alor. Dimana anggota paduan suara merupakan gabungan dari saudara-saudari kita beragama Protestan, sedangkan yang mendampingi peserta berasal dari tokoh-tokoh Muslim. This is East Nusa Tenggara. Pemandangan yang unik dan luar biasa. Menggetarkan jiwa kita. Kebersamaan mampu mewujudkan perdamaian dan kerukunan di Nusa Tenggara Timur.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!