"Menjadi orang Katolik tanpa harus beragama Katolik, menjadi Muslim tanpa harus beragama Islam, menjadi umat Protestan tanpa harus beragama Protestan, menjadi Hindu tanpa harus beragama Hindu, menjadi Budha tanpa harus beragama Budha dan menjadi Konghucu tanpa harus beragama Konghucu. Jadilah diri kita yang Muslim, yang Katolik, yang Protestan, yang Hindu, yang Budha dan yang Konghucu  dalam tindakan, tutur kata dan amalan hidup  harian kita. Itulah Indonesia."
Judul di atas saya ambil dari cerita Professor Ferry, salah satu juri Lomba Paduan Suara Kategori Dewasa Pesta Paduan Suara Gereja Katolik (Pesparani) NTT 2018. Putra Manado ini adalah salah satu juri senior di pentas nasional. Di akhir perlombaan, ia didaulat panitia untuk mengomentari pelaksanaan lomba yang baru saja dinilainya.Â
Guru besar ini berbicara lugas. Tanpa tendeng aling-aling. Mengkritisi pelaksanaan lomba. Kritikan ditujukan baik itu kepada penyelenggara, anggota paduan suara, dirigen hingga pelatih. Tak ada hal tabu yang diucapkan berkaitan dengan dunia tarik suara. Ia membocorkan "kekeliruan" pihak yang terlibat dalam kegiatan ini -- pelatih, dirigen dan anggota paduan suara.Â
Karena memang tujuan kehadirannya di sini tidak sebagai juri semata. Karena semua orang bisa menjadi juri, katanya. Keberadaan benar-benar memberikan kesempatan semua pihak menyimak dari "technical coaching clinic" singkat ini. Meskipun durasi yang diberikan kepadanya singkat, materi yang dipaparkannya padat -- mengena pada sasaran. Materi sangat teknis. Dipaparkannya dengan serius tapi diselingi dengan humor sehingga mampu meredam atau mengobat pihak yang tersayati oleh kata-katanya.
Profesor membuka kisah pengalamannya di Bogor. Ia berhadapan dengan seorang peserta lomba paduan suara dari Indonesia Bagian Timur.Â
"Kita memuji Tuhan, kok manusia yang menilai?"Â
Lebih kurang itu pertanyaan peserta tersebut. Entah itu pertanyaan jebakan atau memang benar-benar bertanya karena ingin mencari jawaban. Professor sempat dibuat bingung olehnya. Dan, professor harus berpikir sebelum menjawab pertanyaan spontannya. Kata professor, Roh Kudus selalu hadir pada saat yang tepat sehingga memampukan ia menjawab pertanyaan tersebut.
"Perlombaan yang dinilai manusia berkaitan dengan hal-hal yang diajarkan atau dipelajari manusia (tentang bernyanyi). Bisa jadi yang juara di mata juri, belum tentu juara menurut penilaian Tuhan. Begitu pula yang juara menurut Tuhan belum tentu juara menurut penilaian juri."
Sebenarnya, satu hal yang professor mau sampaikan malam itu. Manusia berusaha sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Untuk memberikan yang terbaik maka kita harus memberikan segala potensi, teknik dan penjiwaan lagu itu. Karena syair buka susunan kata yang mati. Melainkan kata-kata yang hidup melalui penjiwaan.Â
Coaching clinic ini pula bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa apa saja yang dinilai dalam perlombaan tersebut. Sehingga peserta ataupun penonton tidak mereka-reka. Keterbukaan menjadi penting pada malam itu. Dengan maksud, tidak ada lagi yang omong di belakang layar dengan versinya masing-masing.