Berita Romo. Venus Dewantara Pr, seorang rohaniwan katolik menyapa Raja Salman dalam bahasa Arab menarik perhatian penulis. Mendengar rohaniwan, imam atau biarawan berbicara bahasa Arab bukan baru kali ini. Saya justru mendengarkan secara langsung saat saya duduk di bangku kelas 6 SD di Magepanda (1989).
Saat itu, bagi penulis adalah bahasa ‘planet’. Bahasa asing yang tidak saya pahami. Tetapi, kok bisa, di antara mayoritas umat katolik yang hadir di gedung serba guna mendengar sambutan atau pidato imam dalam bahasa Arab.
Asing memang! Magepanda adalah sebuah paroki, wilayah Keuskupan Agung Ende, waktu itu. Kini, paroki ini berada di wilayah Keuskupan Maumere. Umat paroki ini hidup bertetangga dengan umat muslim yang tinggal di kampung Bugis. Mayoritas penduduk berasal dari Bugis dan Selayar. Mereka telah hidup puluhan tahun – bahkan mungkin seratus tahun lebih.
Pada waktu itu, paroki St. Yohanes Vianey Magepanda dikunjungi para frater dari seminari Ledalero. Seingat saya ada beberapa frater yang telah menjadi imam sekarang. Dalam rombongan para frater hadir pula P. Philipus Tule SVD, dosen Islamologi di SFTK Ledalero.
Sebagaimana pada setiap kunjungan ke paroki-paroki, para frater selalu mementas drama dan menyelenggarakan pertandingan sepak bola atau bola volley persahabatan dengan umat setempat. Pada waktu itu, mereka mementas drama di gedung serba guna yang rangkap sebagai gereja darurat. Karena pada waktu itu, paroki ini belum memiliki gereja permanen.
Penulis lupa dengan tajuk drama itu. Memori saya tidak mampu untuk meningat-ingat detil peristiwa waktu itu. Yang saya ingat, sebelum pementasan drama, P. Philipus Tule SVD berkesempatan memberikan sambutan dalam dua bahasa; Indonesia dan Arab.
Tentu mencengankan bagi umat yang mendengarkan sambutan tersebut. Pater Philipus berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih. Tidak hanya umat katolik yang tercengang, umat muslim yang hadir pun ikut terheran-heran.
Sehingga tidak mengejutkan bagi saya ketika seorang imam dari Keuskupan Denpasar berbicara dalam bahasa Arab dengan Raja Salman. Bukan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang biasa dan lumrah di dunia civitas akademik seminari. Hal itulah yang mereka pelajari dan menjadikan Islamologi sebagai salah satu matakuliah wajib yang harus diikuti oleh para frater.
Belajar Islamologi bukan untuk mencari kelemahan ajaran atau doktrin islam lalu menyerangnya. Belajar Islamologi bukan sebagai senjata menyampaikan kabar gembira dengan menelanjangi ajaran orang lain. Belajar Islamologi sebagai bagian untuk memahami untuk membangun dialog-humanis.
Penulis mengutip, status facebook Valens Daki-Soo (06/03/2017), perihal pemberitaan viral tentang dialog imam katolik dengan Raja Salman di Bandara Ngurah Rai Denpasar.
“Para calon pastor Katolik memang diajarkan Islamologi agar lebih memahami ajaran Islam dan mampu membangun dialog karya atau dialog kehidupan dengan para saudara kaum Muslim.”
“Jadi, kita belajar ajaran agama ataupun teologi agama lain bukanlah dalam "kerangka taktis-apologetis" yakni mencari-cari dan menyerang 'kelemahan'nya, melainkan dalam "kerangka dialogis-humanis": berbagi semangat, harapan dan ikhtiar untuk membangun peradaban dan merawat kemanusiaan.”
Pernyataan Valens Daki-Soo adalah fakta dan pengalaman di lingkungan pendidikan katolik - terutama lembaga pendidikan seminari tinggi. Mereka menyadari bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Penting bagi para calon imam untuk memahami islam tidak hanya dari kulit luar saja. Tetapi perlu pemahaman yang lebih dalam. Bukan dalam kerangka mencari ‘kelemahan’ lalu menyerang, melainkan dalam kerangka tujuan dialog dalam kehidupan nyata.
Islamologi, dalam konteks Flores, sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh para calon imam. Flores adalah keberagaman. Dalam segala hal, suku, agama, budaya, bahasa dan sebagainya.
Saya sulit membayangkan apa jadinya seandainya Raja Salman punya cukup waktu, ia berkunjung ke Flores. Ia tidak saja mendengar seorang imam berbicara bahasa Arab, tetapi bagaimana ia dapat menyaksikan suasana kuliah Islamologi di kelas. Ia tidak cukup mendengar kuliah di kelas, bila perlu Raja beri kuliah umum di hadapan para frater. Ia tidak cukup memberi kuliah umum, Sang Raja bisa menyaksikan langsung bagaimana seorang frater atau calon imam menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di sebuah pesantren terbesar. Ia tidak cukup menyaksikan frater yang menjalani TOP di pesantren, ia dapat menjadi tahu bahwa orang Flores berakar dari budaya yang sama tetapi berbeda keyakinan tapi hidup rukun dan damai.
Di sanalah, Flores, ia akan menjadi paham, mengapa sahabat karibnya, Ir. Soekarno, menemukan Pancasila. Ya, di sanalah cermin keberagaman dan kerukunan antar umat beragama. Oh, seandainya Raja Salman ke sana. Apa reaksinya? Entahlah….! Kita hanya mengandai-andai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H