Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pacaran Yes, Nikah Dini No

7 Agustus 2016   14:29 Diperbarui: 7 Agustus 2016   15:21 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salam Genre (Sumber: Materi Nangkring Bareng Kompasiana dan BKKBN di Kupang, 27 Juli 2016)

"Berkeluarga tidak selalu identik dengan seks semata. Berkeluarga memiliki dimensi yang luas, berkaitan dengan relasi antar personal, relasi sosial, pemenuhan kebutuhan material, psikologis dan biologis."

Seks masih dianggap sesuatu yang tabu. Karena itu pembicaraan seks tidak bisa dilakukan di ruang publik agar tidak didengar oleh anak-anak. Katanya, hal ini akan berdampak pada perliku anak-anak sendiri. Namun demikian, kita tidak dapat membendung informasi yang mengalir deras dan masif melalui teknologi internet. Pertanyaan bagi kita, apakah kita terus mengganggap seks sebagai sesuatu yang masih tabu?

Kisah Ibu dan Anak

Entah, pada usia berapa seorang anak mulai mengenal organ vital? Tetapi seorang ibu mempunyai kisah unik yang dibagikan kepada penulis. Kisah itu dialaminya dengan  sang putra bungsu. Suatu waktu, sang ibu mandi bersama sang anak yang masih berusia 4 tahun. Sang anak tiba-tiba menunjuk dan bertanya organ vital ibunya.

Kita mungkin akan langsung memarahi anak itu.  Persepsi kita langsung mengarah kepada sesuatu yang porno. Tidak sopan dan tidak layak dipertanyaakan oleh seorang anak seusianya.

Sang ibu justeru haru dan bangga pada putranya. Penantiannya terjawab.  Selama ini ia mengharapkan pertanyaan itu datang  dari mulut anaknya sendiri. Tentu ini akan  menjadi pintu masuk baginya untuk menjelaskan sesuatu  kepada putranya sesuai dengan tingkat usianya. 

Akhirnya, ibu ini mendapatkan momentum yang tepat untuk menyampaikan  pengantar pendidikan seks (sex education). Dimulai dengan mengenal orang seks (genital organ). Hal ini mungkin dipandang sederhana, tetapi bermakna bagi anak tersebut dan sang ibunya.

Pengalaman Pribadi

Dari kisah ibu ini, saya diingatkan kembali  masa-masa awal masuk SLTP pada sebuah lembaga pendidikan   yang dikelola oleh seorang misionaris asal Swiss di Kuwu, Ruteng, Manggarai, NTT. Di awal tahun ajaran, ada waktu khusus, biasanya malam minggu, setiap siswa-siswi yang baru masuk sekolah (asrama) diwajibkan menonton pemutaran slide. Pada waktu itu belum ada teknologi multimedia seperti infokus dan laptop. Konten slide  tentang pengenalan organ tubuh manusia berserta penjelasan sebagai  bentuk pendidikan seks. Ini menjadi matapelajaran ekstra di asrama - di luar matapelajaran pokok di sekolah.

Bayangkan kami adalah mayoritas anak-anak dari kampung dan tidak memiliki tradisi atau budaya sex education, tiba-tiba dihadapkan dengan situasi ini. Tidak ada pilihan lain, kecuali kami mengikuti moment tersebut.  Karena hal ini merupakan bagian dari pendidikan di lembaga tersebut.

Pengalaman lain, ketika saya melanjutkan studi di James Cook University Townsville, Australia, 2013 yang lalu. Setelah saya bertemu Alex Salvador, Liaison Officer dari Australian Awards Scholarship (AAS),  saya diserahkan sebuah tas biru berisikan prospektus, kalender, notes, pena, dan sebuah kondom. Saya tidak terlalu terkejut dengan pemberian kondom ini. Sebelum berangkat studi di Austrlaia, saya sering diceritakan tentang kondom yang dibagikan kepada mahasiswa baru. 

Melihat kondom barangkali pikiran kita langsung berasosiasi dengan aktivitas seksual. Atau, kita berpikir sepihak, adanya legalitas seks bebas. Banyak macam pikiran yang muncul saat itu. Namun, di balik semuanya itu, sangat bergantung pada persepsi atau respon kita terhadap pemberian kondom tersebut. Setidak-tidaknya kita diingatkan akan segala kemungkinan bahaya penyakit seksual. Kondom tersebut sebagai sinyal atau alarm akan ancaman penyakit seksual seperti HIV AIDs.

Menarik Benang Merah

Dari pengalaman ibu dan anak di awal tulisan ini, dan pengamalan pribadi penulis baik di bangku SLTP maupun di Townsville dapat ditarik benang merah dalam kaitan dengan Lomba Nikah Usia Ideal, Raih Masa Depan Cemerlang yang diselenggarakan dalam rangka memeriah HUT Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2016.

Benang merahnya adalah rendah atau minimnya pendidikan seks kepada anak dan remaja menjadi salah satu faktor remaja terjerumus dalam hidup seks bebas dan kawin di usia dini. Kawin usia dini sering karena pasangan tersebut terjadi tidak melalui proses yang terencana,  melainkan karena  bencana (by accident).  

Data dan Fakta

Menurut data UNICEF (2011), Indonesia adalah salah satu negara dengan persentase pernikahan dini tinggi di dunia, menempati peringkat ke-37 dari 158 negara. Sedangkan di level Asean, Indonesia berada di peringkat kedua, setelah Kamboja.  

Persentase perempuan muda  (usia 10-14 tahun) yang menikah sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita. Perempuan muda berusia berusia 15-19 yang menikah lebih tinggi dari laki-laki muda. Wanita muda mencapai  11,7 %, sedangkan laki-laki muda hanya  1,6 %. Sedangkan diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun – lebih, sebanyak 56,2 % yang telah menikah. 

Menurut data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nikah dini menjadi trend yang terus meningkat dari tahun dan ke tahun.  Secara persentase, jumlah wanita usia muda yang menikah lebih tinggi atau banyak daripada laki-laki muda.

Maka  pernikahan dini merupakan bahaya laten yang segara di tangani dan diatur untuk melahirkan generasi Indonesia emas sebagaimana yang dicita-citakan. Generasi muda segera disadarkan dan diarahkan karena pernikahan dini dapat menimbulkan multi kompleksitas persoalan rumah tangga dan sosial. Lalu, apa yang kita  bisa dilakukan?

Pendidikan Seks

Kita mungkin masih  terjebak dalam dikotomi tabu dan tidak tabu. Beretika dan tidak beretika. Hampir-hampir kita takut oleh bayangan sendiri. Pertanyaan saya, apakah pendidikan seks masih dianggap sebagai upaya yang tabu?

Seks bebas atau pernikahan dini sering terjadi karena ketidaktahuan. Mereka tidak dimodali dengan pengetahuan yang cukup tentang seks dan kehidupan keluarga. Mereka lebih  didorong oleh rasa keingintahuan yang tinggi. Karena itu mereka mencobanya dan kemudian kebablasan. Maka melalui pendidikan seks, keinginan negatif remaja dapat diminimalisir dan disalurkan melalui kegiatan positif dalam rangka  membangun pemahamannya.

Remaja tidak saja dibekali pengetahuan tentang seks dan segala konsekuensinya, juga bagaimana membangunan hubungan (baca: pacaran) yang sehat. Pacaran yang sehat adalah pacaran tanpa seks bebas. Kebutuhan seks dipenuhi setelah pasangan itu mencapai usia produktif menikah atau usia nikah ideal.

Konseling atau Pendampingan

Selain pendidikan seks, remaja dibekali dengan konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah seksual dan dampak negatif, pendampingan masa pacaran serta menanamkan  perubahan paradigma bahwa berkeluarga tidak selalu identik dengan seks semata. Berkeluarga memiliki dimensi yang luas, berkaitan dengan relasi antar personal, relasi sosial, pemenuhan kebutuhan material, psikologis dan biologis.

Cara ini akan lebih berdampak efektif, jika dibandingkan dengan cara mentabukan pembicaraan seks pada usia yang seharusnya mereka harus tahu. Orang tua harus membangun komunikasi yang rutin dengan anaknya sehingga mereka terus mengikuti perkembangan anak-anaknya.

Remaja terjebak nikah dini salah satu sebabnya adalah  rendahnya pengetahuan tentang seks dan hidup membangun rumah tangga. Mereka beranggapan membangun rumah tangga identik memiliki keluarga, istri dan anak. Dimensi keluarga lebih dari itu. Termasuk mempersiapkan masa depan keluarga dan anak-anak yang camerlang.

Pendidikan seks dan konseling wajib hukumnya dijalankan untuk membendung kemudahan akses informasi melalui internet ini. Hal yang paling penting adalah menanamkan pemahaman. Karena remaja kerap terjebak oleh tawaran semu di luar kontrol keluarga yang pada akhirnya mereka jatuh dan terjebak dalam tawaran tersebut karena  secara psikologis mereka belum dewasa dalam menentukan sikap atau keputusan.

Bagi penulis, pacaran yes,nikah dini no.Tapi, pacaran yang ada syaratnya. Melakoni pacaran yang sehat. Pacaran tanpa seks bebas. Karena tujuan dari pacaran bukan untuk memenuhi seks semata, tetapi masih ada seribu langkah didepan yang harus dilakoni remaja hingga tiba waktunya memuhi syarat usia nikah yang ideal. Bukankah tujuan dari penikahan adalah untuk menciptakan masa depan keluarga yang cemerlang? ***(gbm)

Facebook : Giorgio Babo Moggi

Twitter     : Giorgio Babo Moggi@MoggiBabo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun