Kita mungkin masih  terjebak dalam dikotomi tabu dan tidak tabu. Beretika dan tidak beretika. Hampir-hampir kita takut oleh bayangan sendiri. Pertanyaan saya, apakah pendidikan seks masih dianggap sebagai upaya yang tabu?
Seks bebas atau pernikahan dini sering terjadi karena ketidaktahuan. Mereka tidak dimodali dengan pengetahuan yang cukup tentang seks dan kehidupan keluarga. Mereka lebih  didorong oleh rasa keingintahuan yang tinggi. Karena itu mereka mencobanya dan kemudian kebablasan. Maka melalui pendidikan seks, keinginan negatif remaja dapat diminimalisir dan disalurkan melalui kegiatan positif dalam rangka  membangun pemahamannya.
Remaja tidak saja dibekali pengetahuan tentang seks dan segala konsekuensinya, juga bagaimana membangunan hubungan (baca: pacaran) yang sehat. Pacaran yang sehat adalah pacaran tanpa seks bebas. Kebutuhan seks dipenuhi setelah pasangan itu mencapai usia produktif menikah atau usia nikah ideal.
Konseling atau Pendampingan
Selain pendidikan seks, remaja dibekali dengan konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah seksual dan dampak negatif, pendampingan masa pacaran serta menanamkan  perubahan paradigma bahwa berkeluarga tidak selalu identik dengan seks semata. Berkeluarga memiliki dimensi yang luas, berkaitan dengan relasi antar personal, relasi sosial, pemenuhan kebutuhan material, psikologis dan biologis.
Cara ini akan lebih berdampak efektif, jika dibandingkan dengan cara mentabukan pembicaraan seks pada usia yang seharusnya mereka harus tahu. Orang tua harus membangun komunikasi yang rutin dengan anaknya sehingga mereka terus mengikuti perkembangan anak-anaknya.
Remaja terjebak nikah dini salah satu sebabnya adalah  rendahnya pengetahuan tentang seks dan hidup membangun rumah tangga. Mereka beranggapan membangun rumah tangga identik memiliki keluarga, istri dan anak. Dimensi keluarga lebih dari itu. Termasuk mempersiapkan masa depan keluarga dan anak-anak yang camerlang.
Pendidikan seks dan konseling wajib hukumnya dijalankan untuk membendung kemudahan akses informasi melalui internet ini. Hal yang paling penting adalah menanamkan pemahaman. Karena remaja kerap terjebak oleh tawaran semu di luar kontrol keluarga yang pada akhirnya mereka jatuh dan terjebak dalam tawaran tersebut karena  secara psikologis mereka belum dewasa dalam menentukan sikap atau keputusan.
Bagi penulis, pacaran yes,nikah dini no.Tapi, pacaran yang ada syaratnya. Melakoni pacaran yang sehat. Pacaran tanpa seks bebas. Karena tujuan dari pacaran bukan untuk memenuhi seks semata, tetapi masih ada seribu langkah didepan yang harus dilakoni remaja hingga tiba waktunya memuhi syarat usia nikah yang ideal. Bukankah tujuan dari penikahan adalah untuk menciptakan masa depan keluarga yang cemerlang? ***(gbm)
Facebook : Giorgio Babo Moggi
Twitter   : Giorgio Babo Moggi@MoggiBabo