Stakeholder-stakeholder terkesan rukun dalam berbagai forum. Pada tindakan aksi, masing-masing pihak jalan masing-masing. Di sini, saya melihat peran pemerintah tidak maksimal dalam membangun komunikasi dengan pihak swasta dan akademisi.
Para dosen melakukan penelitian dan hasil penelitiannya hanya menjadi tugas rutinnya sebagai tuntutan profesinya. Hasil penelitian tidak 'digunakan' sebagai referensi penyusunan program dan kegiatan oleh pemerintah. Padahal konsep perencanaan, penyusunan program dan kegiatan harus berbasis data dan informasi.
Program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah kerap harus berlomba-lomba dengan program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh NGOs. Tidak heran, satu desa bisa 'dikerubutin' program pemberdayaan dari berbagai stakeholder. Jika perencanaan program antar stakeholder disinergikan, maka program yang sama dapat dialihkan ke desa yang lain.
Dari forum ini, terbesit harapan pertama, harus ada sinergisitas, konektivitas, dan integrasi program-program dari berbagai program stakeholder. Kedua, untuk mengatasi rawan pangan atau dalam rangka mewujudkan kedalautan pangan, budidaya varietas unggul lokal harus ditingkatkan. Ini hanya tercipta jika ada kerja sama antar berbagai stakeholder; pemerintah, akademisi, dan NGOs.
Terakhir, masalah gizi buruk dan kelaparan di NTT dapat diatasi jika pemerintah mendorong semua pihak untuk membudidayakan varian komoditas lokal sebagai sumber pangan bagi masyarakat. Karena makanan pokok tidak identik dengan nasi atau jagung, jika umbi-umbian misalnya menjadi sumber pangan kita, mengapa tidak? Bukankah varietas unggul lokal ini sudah mampu bertahan dengan iklim di NTT? Butuh komitmen semua pihak, terutama pemerintah.***(Catatan Kecil dari Forum Diskusi Ketahanan Pangan di NTT, 30 Oktober 2015/bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H