Kondisi iklim di Nusa Tenggara Timur berbeda dengan belahan wilayah di republik ini. Meskipun sama-sama memiliki dua musim yang sama. Musim panas dan musim hujan, tingkat curah hujan NTT lebih rendah daripada curah hujan di daerah lain.
Kondisi alam dan cuaca demikian berdampak pada sektor pertanian. Para pertani harus beradaptasi dengan pola bercocok tanam pada lahan yang minim ketersediaan air. Teknik bercocok tanam pun berbeda dengan daerah atau wilayah lain yang 'surplus' curah hujan.
[caption caption="Foto: Giorgio Babo Moggi"][/caption]Pola pertanian lahan kering lahir dari kondisi alam yang memprihatinkan ini. Perhatian pun datang dari Universitas Cendana, Politani, NGOs, pemerintah kabupaten/kota, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Perguruan tinggi memberi perhatian pada penelitian, rekayasa teknologi, rekayasa genetika, dan pemulia-biakan terhadap tanaman varian lokal. NGO bergerak atau melalui aksi nyata pemberdayaan petani bercocok tanam pada kawasan yang minim ketersediaan air dan peningkatan SDM melalui pola pelatihan dan pendidikan kilat. Pemerintah mengambil peran dari sisi kebijakan politik, bantuan finansial dan material (bibit).
Semua pihak sudah bekerja. Tapi, pertanyaan, mengapa stigma gizi buruk, kelaparan, dan kemiskinan masih menerpa Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Sebuah ironi memang! Semua pihak telah sedang dan terus bekerja tapi tidak atau belum memberikan hasil yang maksimal seperti NTT bebas dari gizi buruk, NTT keluar dari lingkaran kemiskinan, dan seterusnya.
Forum Diskusi Ketahanan Pangan Masyarakat di NTT yang dimotori Australia Awards ini memberikan ruang untuk mengurai persoalan, menyamakan persepsi, dan membulatkan tekad terhadap isu ketahanan pangan di NTT.
Dari diskusi sehari ini, peserta diperkaya oleh beberapa pemateri, yang sebagian besar adalah akademisi dan praktisi. Pertama, banyak sekali temuan tanaman varian lokal NTT. Umbi-umbian, pisang, kacang-kacangan memiliki banyal ragam varian. Varian unggulan lokal ini menjadi kekayaan dan keunikan NTT yang harus diselamatkan dari kepunahan. Tidak hanya itu. Tanaman ini menjadi sumber pokok pangan masyarakat NTT.
Kedua, apresiasi patut diberikan kepada para dosen Undana dan Politani yang telah memberikan curahan perhatian dan dedikasi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat. Ternyata banyak penelitian yang terkait dengan tanaman untuk pangan lokal atau tumbuhan lokal untuk pakan ternak.
Ketiga, banyak program dan kegiatan yang digalakan LSM - lokal maupun internasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan, terakhir, pemerintah pun telah dan sedang menggalakan berbagai program pemberdayaan masyarakat. DeMam (Desa Mandiri) Anggur Merah adalah contohnya. Perak di Ngada adalah contoh lain.
Lantas, apa persoalan mendasar sehingga upaya mengentas problem kemiskinan di NTT bagaikan mengurai benang kusut? Dari diskusi ini, penulis berusaha memotret satu hal, yakni tiadanya sinergisitas dan konektivitas antara program-program yang dilakukan oleh berbagai pihak di atas.
Stakeholder-stakeholder terkesan rukun dalam berbagai forum. Pada tindakan aksi, masing-masing pihak jalan masing-masing. Di sini, saya melihat peran pemerintah tidak maksimal dalam membangun komunikasi dengan pihak swasta dan akademisi.
Para dosen melakukan penelitian dan hasil penelitiannya hanya menjadi tugas rutinnya sebagai tuntutan profesinya. Hasil penelitian tidak 'digunakan' sebagai referensi penyusunan program dan kegiatan oleh pemerintah. Padahal konsep perencanaan, penyusunan program dan kegiatan harus berbasis data dan informasi.
Program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah kerap harus berlomba-lomba dengan program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh NGOs. Tidak heran, satu desa bisa 'dikerubutin' program pemberdayaan dari berbagai stakeholder. Jika perencanaan program antar stakeholder disinergikan, maka program yang sama dapat dialihkan ke desa yang lain.
Dari forum ini, terbesit harapan pertama, harus ada sinergisitas, konektivitas, dan integrasi program-program dari berbagai program stakeholder. Kedua, untuk mengatasi rawan pangan atau dalam rangka mewujudkan kedalautan pangan, budidaya varietas unggul lokal harus ditingkatkan. Ini hanya tercipta jika ada kerja sama antar berbagai stakeholder; pemerintah, akademisi, dan NGOs.
Terakhir, masalah gizi buruk dan kelaparan di NTT dapat diatasi jika pemerintah mendorong semua pihak untuk membudidayakan varian komoditas lokal sebagai sumber pangan bagi masyarakat. Karena makanan pokok tidak identik dengan nasi atau jagung, jika umbi-umbian misalnya menjadi sumber pangan kita, mengapa tidak? Bukankah varietas unggul lokal ini sudah mampu bertahan dengan iklim di NTT? Butuh komitmen semua pihak, terutama pemerintah.***(Catatan Kecil dari Forum Diskusi Ketahanan Pangan di NTT, 30 Oktober 2015/bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H