Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nilai-nilai Dasar yang Terabaikan (yang Tersisa dari KDI 2015)

7 Juni 2015   09:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:18 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemui status facebook orang NTT  - dimana pun berada - bernada kecewa atas hasil polling SMS KDI 2015. Secara mengejutkan, Azizah tergusur dari posisi puncak yang didominasinya selama ini.

Melihat aliran dukungan kepada Azizah meyakinkan publik ialah yang bakal menjadi ratu dangdut. Aliran dukungan datang dari orang dengan berbagai latar belakang agama, suku, golongan, profesi, dan strata sosial. Azizah adalah kita. Kita adalah Azizah. Azizah benar-benar sebuah fenomena.

Kemarahan atau kekecewaan pendukung Azizah sangatlah wajar. Mereka mendukung tidak semata-mata karena Azizah orang Flores atau NTT. Lebih dari itu mereka menemukan  'kebintangan' dalam diri dara ini. Ia memiliki segalanya. Bakat, kualitas suara, dan  'performance skill' yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mega bintang.

Lautan dukungan kepada Azizah bukan fanatisme kedaerahan. Karena potensi tarik suara di dalam dirinya. Soal dunia tarik suara orang NTT sangat paham. Teori dan praktek. Hanya orang NTT mudah demam panggung. Mereka jarang mau tampil tapi sebenarnya memiliki suara berkualitas.

Bukannya sombong. Sejak kecil orang NTT diajarkan baca not angka bahkan not balok. Ditanam sejak dini tentang dunia tarik suara.  Membaca not yang benar. Pengetahuan dan ketrampilan membaca not adalah hal yang pertama sebelum mengenal syair. Bukan dibalik. Membaca syair, baru membaca not - apalagi tanpa membaca not. Hafal syair, modal lipsync  'doang' kalau menyanyi secara 'live'. Maka tidak heran jika mereka mampu menilai kontestan KDI dari segi kualitas suaranya (bukan tampang dan penampilan!). Jika para juri masih 'jaga perasaan', penilaian orang NTT jujur, tulus, dan tidak basa-basi. Apa adanya.

Kekecewaan orang NTT bukan tanpa alasan. Selain karena secara mengejutkan Maheza membalik keadaan dalam hitungan menit, faktor teknis sms selalu gagal terkirim - terutama regio Nusa Tenggara (sebagaimana keluhan suporter Azizah di wall facebook). Sebelumnya tidak ada masalah. Ini menjadi tanda tanya besar terhadap penyelenggara. Salah siapa? Penyelenggara KDI 2015  (MNC TV) atau provider telekomunikasi mobile?

Tanpa bermaksud menuding pihak-pihak terkait, kemungkinan adanya perselingkuhan kepentingan, penulis mencoba untuk mengupas beberapa hal yang terabaikan dalam kontes ini. Yang seharusnya menjadi nilai-nilai dasar pelaksanaan KDI.

Pertama, TRANSPARANSI. Sejatinya penyelenggara harus transparan terkait mode teknologi polling, layanan, kelemahannya, dan 'display' hasil secara 'real time'. Selama ini, tidak hanya KDI, pemirsa hanya diajarkan cara mengirim dukungan kepada kontestan idola. Sedangkan hal lain seperti metode perhitungan tidak dipublikasikan. Hasil polling pun ditampilkan dalam jangka waktu tertentu, seharusnya ditampilkan secara 'live'.

Kedua, AKUNTABILITAS.  Kekecewaan hasil polling sms dalam berbagai kontes tidak baru saja terjadi kali ini. Hasil polling tidak selalu sesuai harapan publik. Untuk menghindari protes atau kecurigaan, segala hasil harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Penyelenggara dapat membuktikan kebenaran jika ada tuntutan dari pihak yang dirugikan. Pertanggungjawaban juga terkait dengan faktor teknis sms  'failed'. Seberapan kecil kegagalan mengirimkan SMS merugikan pihak lain. Untuk itu penyelenggara dan provider telekomunikasi menjamin sistem dan perangkatnya berfungsi dengan. Mampu mendeteksi kegagalan teknis sistem dan perangkat teknologinya.

Ketiga, INTERGRITAS. Integritas penyelenggara penting. Hal berkaitan dengan 'trust' publik kepada penyelenggara. Kalau penyelenggara 'tipu-tipu', hasilnya berdampak pada kualitas acara maupun kontestan.

Integritas harus dimiliki juga oleh para juri. Bagus katakan bagus. Tidak atau kurang bagus katakan kurang atau tidak bagus. Bicaralah sesuai kemampuan atau pengetahuan bernyanyi. Kenyataan, para juri bertutur membingungkan ketika memberikan penilaian. Bahkan pendapat juri yang satu bertabrakan dengan pendapat juri yang lain. Padahal pendapat juri dapat mempengaruhi penilaian publik.

Integritas tertanam juga dalam diri permirsa. Jujur dengan pilihannya. Bukan karena alasan suku, agama, atau latar belakang kehidupan ekonominya. Pilih kontestan yang sungguh-sungguh berbakat. Kontes KDI merupakan ajang pencarian bintang, bukan belas kasih untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomi.

Transparansi, akuntabilitas, dan integritas adalah nilai-nilai dasar untuk mewujudkan kontes yang lebih berbobot. Ketiga nilai ini dapat menghindari juara 'by grand design'. Apapun hasil KDI 2015, pada akhirnya kita harus ikhlaskan kepada Mahesa. Tetapi, saya tetap percaya dengan ucapan Tobby Ndiwa, musisi dan lawyer,  "soal bakat alam tidak bisa menipu". Waktu akan membuktikan. 'The real champion'; Mahesa atau Azizah? Pun serentak kita sadar; siapakah yang 'tipu-tipu' dibalik semua ini. ***(gbm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun