(Kita yang Belum Memiliki Budaya Antri)
Florence Sihombing (FS) boleh saja salah. Kita juga bisa salah. Jangankan orang Batak, orang Sulawesi, Papua, bahkan orang Jogja pun bisa salah. Siapapun orang bisa salah- darimana pun asal usulnya. Tidak berarti suku lain tidak berbudaya. Â Semua suku memiliki budaya. Tentu budaya- budaya tidak selalu sama di semua suku.
Tingkah FS adalah produksi budaya darimana dia berasal. Tutur kata-katanya yang 'blak-blakan' adalah stereotipe orang Medan. Mereka lugas. Bicara apa adanya terhadap apa yang dialaminya. Meskipun ucapannya, mungkin, salah, atau melukai perasaan orang lain.
Berbicara berteriak-teriak adalah ciri orang Batak, Timor, Flores, dan lain-lain. Mereka akan mudah mengumpat atau memaki terang-terangan. Mendengar kata cacian menjadi terbiasa seperti kata "puki mai", bangsat, dan lain-lain. Kadang kata-kata tersebut dirangkaikan dengan nama suku seperti Flores 'puki mai', Timor bodoh, padahal, amarah atau umpatan itu ditujukan kepada seseorang. Bagi orang yang tidak terbiasa mendengar, telinganya merah padam. Bisa baku bunuh. Hal ini salah. Tidak patut dicobtohi. Tapi, kita jangan 'munafik' terhadap realitas pelabelan kepada suku-suku di nusantara ini benar adanya.
Namun, ada ungkapan seperti "lain ladang, lain belalang ", "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" adalah peringatan bagi kita dalam bertutur dan bertindak. Karena kebebasan kita 'dibatasi' oleh budaya suku atau orang lain dimana kita berpijak. Untuk itu, kita harus bersikap mawas diri, tahu diri, dan mengenal lingkungan. Saya tidak heran jika banyak kasus mahasiswa Flores ditolak di rumah kos tertentu di Yogyakarta. Tentu tuan atau masyarakat di sekitarnya memiliki alasan-alasan tertentu. Misalnya karena mahasiswa Flores suka ribut (ribut tidak selamanya berkelahi). Dua orang Flores yang sedang berbicara didengar seperti orang se-RT yang berbicara dan satu sama lain duduk berjauhan (volume suara besar). Sikap penolakan tampaknya seperti rasis, tetapi sebenarnya tidak (lihat dulu kasus per kasus).
Apa yang dialami oleh FS merupakan benturan karakter yang dibentuk oleh budaya yang berbeda. FS mengungkapkan kekesalannya secara umum terhadap apa yang dialami. Teriakan semacam ini di tanah kelahirannya bisa saja biasa-biasa saja, tetapi hal lain responnya di wilayah yang memiliki budaya yang 'halus' seperti Yogyakarta. Orang Batak akan mengeluarkan isi hatinya, sebaliknya orang Jawa (Yogya) memendamkannya di hatinya dan punya cara untuk menyampaikannya. Kedua sikap ini sama-sama benar, juga sama-sama salah. Karena kebenaran atau kesalahan relatif. Tidak bisa diseragamkan. Tergantung sudut pandang mana  (cara pandang budaya) yang dipakai. Sikap yang penting bagi kita perantau adalah mengntrol diri dan patuh pada peribahasa 'dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Bukan 'anjing menggonggong, kafilah berlalu'!
Sikap 'nyelonong' dan menerobos dalam antrian bukan hal baru. Bukan pula baru terjadi di SPBU Lampuyengan dimana pelakunya adalah mahasiswi S2 UGM ini. Pemandangan ini lumrah terjadi di Indonesia. Antrian pengisian bahan bakar yang begitu rapih, kadang kecolongan juga dengan sikap pengendara yang 'malas tahu' alias semau gue. Pemandangan serupa sering terjadi di halte bus, antrian makan di pesta, di pelabuhan, pesawat, rapat dewan (rebutan bicara), dan lain-lain.
Ketika masyarakat meghubungkan kicauan FS dan periakunya yang tidak berbudaya serta mengadilinya, saya merasa ketidakadilan di sana. Ketidakadilannya, semua komentar cenderung melecehkan FS dan mereka kehilangan kesadarannya bahwa mereka juga adalah FS. Sewaktu-waktu kita bisa bertindak seperti FS atau pernah berperilaku seperti FS.
Penulis sering kali mengamati dan mengalami soal antrian di Indonesia. Penulis juga kadang melanggarnya. Jika tidak kapan sampai tujuan karena semua orang berprinsip siapa cepat, dia duluan.
Tapi, pengalaman di Australia membentangkan fakta bahwa teori antrian tidak hanya dipelajari dalam matakuliah Algoritma dan Pemrograman melainkan diterapkan dalam kehidupan nyata. Awal tahun 2014, saya 'mempraktekkannya di halte bus Trans Jakarta. Saya baru mengantri, penumpang lain di belakang saya langsung menerobos masuk. Saya mencoba tiga kali kesempatan di halte yang berbeda. Hasilnya sama. Selanjutnya saya tidak pakai antrian lagi. Nyelinap di antara penumpang lainnya. Ternyata antrian belum membudaya di Indonesia.
Karenanya melihat kasus FS, saya memandangnya pada sisi yang berbeda. Bukan kata-kata fitnahnya (mungkin akan dibahas di kesempatan lain). Karena saling cap antar suku marak terjadi. Sikapnya yang menerobos dalam antrian menunjukkan realitas bahwa budaya antri belum berurat akar di tanah air. Jika ada yang mengecam FS tidak tahu bersyukur karena ia sudah hidup, makan, dan minum di Jogja adalah pernyataan yang keliru. Keberadaannya tidak bisa dianggap sepeleh. Ia juga 'menghidupi' masyarakat di sana; tuan kos, SPBU, tuan warung, pemerintah, dan lain-lain. Antara FS dan Yogyakarta memiliki hubungan yang mutualistis. Sekalipun kecil kontribusi tapi punya nilai.
Mengusirnya dari Yogyakarta bukanlah langkah bijak. Pengusiran hanya terjadi dalam sejarah pergerakan kemerdekaan. Itu pun para pejuang mengusir penjajah. Masa, setelah era kemerdekaan kita mengusir sesama anak bangsa dari tanahnya sendiri. FS itu siapa? Batak itu dimana? Warga Yogya itu siapa? Yogya itu dimana? Semuanya adalah kita (Indonesia). FS adalah kita. Kita yang kerap nyalip di antrian. Kita yang belum menjadikan antrian sebagai budaya. Bersatulah!***(gbm)
Any Netta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H