(Mengais Makna Balik Tweet Florence Sihombing)
Bangsa kita bangsa yang sensitif. Dibilang dalam daftar negara terkorup, malah marah. Dibilang tidak berbudaya, marah protes tak karuan. Meski perilaku kita kadang tidak memperlihatkan berbudaya. Tragedi kemanusian di belahan dunia lain, kita menyatakan solidaritas dalam kata dan perbuatan. Bakar bendera dan ban mobil sebagai bentuk protes. Sementara bangsa sendiri dalam keadaan carut marut. Konflik horisontal dan vertikal merebak di berbagai sudut pelosok nusantara. Kita tidak ambil pusing (peduli).
Kasus terkini yang memicu sensitivitas masyarakat Indonesia adalah kicauan Florence Sihombing (FS). Orang ramai-ramai merajam FS dengan kata-kata pedas dan tak berprikemanusiaan. Sekejam itu pulakah perilaku atau tutur kata FS terhadap mereka?
Ungkapan seperti "kata-kata lebih tajam dari pisau belati", "kata-kata lebih tajam daripada silet", "fitnah lebih kejam dari pembunuhan", dan seterusnya memicu reaksi secara meluas terhadap pernyataan FS. Kicauan FS telah dianggap mengobok-obok hati masyarakat Yogyakarta.
Bagi penulis, ucapan FS baru berupa  kekerasan verbal. Bukan kekerasan fisik yang dapat melukai atau membunuh seseorang. Kekerasan verbal tidak lebih bahaya dari kekerasan fisik. Tetapi, kenyataan kasus yang menimpa FS seolah-olah FS telah membunuh masyarakat Yogyakarta secara massal sehingga ia harus menerima pengadilan massa pula.
Ironisnya, reaksi masyarakat Yogyakarta tidak seimbang dengan peristiwa Lapas Cebongan yang menewaskan tahanan yang terlibat pembunuhan anggota TNI di Hugo Cafe. Mayoritas mendukung tindakan pelaku sebagai upaya untuk membersihkan kota Yogyakarta dari preman. Para korban dianggap sebagai biang kerok ketidaknyamanan kota Yogyakarta. Untuk itu, mereka 'dimusnahkan'. Dimanakah letak jiwa kemanusiaan kita?
Darah lebih berharga dari kata-kata berbudaya. Nyawa lebih mulia dari segala-galanya. Australia sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat keselamatan kerja tertinggi tahu betul betapa berharganya nyawa manusia.
Karenanya standard pakaian kerja pun diatur. Hukum yang mengatur tenaga kerja dan perusahaan pun dibuat dan dilaksanakan secara konsisten. Tangan pekerja tergores mendapat perhatian serius dari pemilik perusahaan.
Keluarga saya, Maria Falerina pernah berbagi kisahnya ketika bekerja di Adelaide beberapa tahun silam.
Betapa berartinya nyawa manusia, maka hukum Australia lebih tegas terhadap kekerasan fisik daripada kekerasan verbal. Masyarakat Australia lebih memilih bertengkar daripada berkelahi. Kata-kata  sumpah serampah mereka lebih tidak beradab dari ucapan FS. Umpatan seperti 'f.ck', 'mother f..ker' menjadi hal biasa dalam pertengkaran.
Saya memiliki kesaksian tentang hal ini. Suatu malam, hujan gerimis, terdengar suara gaduh di rumah tetangga. Kamar saya berbatasan langsung dengan sumber keributan. Saya bergegas menuju teras di lantai dua. Teman-teman lain ikutan keluar rumah. Suasana teras remang-remang sehingga dengan mudah menonton percekcokan di rumah tetangga. Mereka hanya bertengkar. Maki-makian. Dorong mendorong, tetapi tidak saling pukul. Keributan berlangsung lama. Terhenti setelah polisi datang.
Seorang teman rumah yang menempati kamar atas, Rene, asal Filipina, berkisah percekcokannya dengan seorang India kepada Ardi. Peristiwa itu terjadi jauh sebelum kami masuk ke rumah tersebut. Karena fisiknya kecil, Rene hanya mampu bertengkar. Ia malah menantang rekannya dari India tersebut memukulnya. Rene berusaha untuk 'menjeratnya' dengan kekerasan fisik. Tetapi orang India tersebut tidak melakukannya.