Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Florence Sihombing: Kekerasan Fisik Lebih Kejam dari Kekerasan Verbal

6 September 2014   14:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

(Mengais Makna Balik Tweet Florence Sihombing)

Bangsa kita bangsa yang sensitif. Dibilang dalam daftar negara terkorup, malah marah. Dibilang tidak berbudaya, marah protes tak karuan. Meski perilaku kita kadang tidak memperlihatkan berbudaya. Tragedi kemanusian di belahan dunia lain, kita menyatakan solidaritas dalam kata dan perbuatan. Bakar bendera dan ban mobil sebagai bentuk protes. Sementara bangsa sendiri dalam keadaan carut marut. Konflik horisontal dan vertikal merebak di berbagai sudut pelosok nusantara. Kita tidak ambil pusing (peduli).

Kasus terkini yang memicu sensitivitas masyarakat Indonesia adalah kicauan Florence Sihombing (FS). Orang ramai-ramai merajam FS dengan kata-kata pedas dan tak berprikemanusiaan. Sekejam itu pulakah perilaku atau tutur kata FS terhadap mereka?

Ungkapan seperti "kata-kata lebih tajam dari pisau belati", "kata-kata lebih tajam daripada silet", "fitnah lebih kejam dari pembunuhan", dan seterusnya memicu reaksi secara meluas terhadap pernyataan FS. Kicauan FS telah dianggap mengobok-obok hati masyarakat Yogyakarta.

Bagi penulis, ucapan FS baru berupa  kekerasan verbal. Bukan kekerasan fisik yang dapat melukai atau membunuh seseorang. Kekerasan verbal tidak lebih bahaya dari kekerasan fisik. Tetapi, kenyataan kasus yang menimpa FS seolah-olah FS telah membunuh masyarakat Yogyakarta secara massal sehingga ia harus menerima pengadilan massa pula.

Ironisnya, reaksi masyarakat Yogyakarta tidak seimbang dengan peristiwa Lapas Cebongan yang menewaskan tahanan yang terlibat pembunuhan anggota TNI di Hugo Cafe. Mayoritas mendukung tindakan pelaku sebagai upaya untuk membersihkan kota Yogyakarta dari preman. Para korban dianggap sebagai biang kerok ketidaknyamanan kota Yogyakarta. Untuk itu, mereka 'dimusnahkan'. Dimanakah letak jiwa kemanusiaan kita?

Darah lebih berharga dari kata-kata berbudaya. Nyawa lebih mulia dari segala-galanya. Australia sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat keselamatan kerja tertinggi tahu betul betapa berharganya nyawa manusia.

Karenanya standard pakaian kerja pun diatur. Hukum yang mengatur tenaga kerja dan perusahaan pun dibuat dan dilaksanakan secara konsisten. Tangan pekerja tergores mendapat perhatian serius dari pemilik perusahaan.

Keluarga saya, Maria Falerina pernah berbagi kisahnya ketika bekerja di Adelaide beberapa tahun silam.
Betapa berartinya nyawa manusia, maka hukum Australia lebih tegas terhadap kekerasan fisik daripada kekerasan verbal. Masyarakat Australia lebih memilih bertengkar daripada berkelahi. Kata-kata  sumpah serampah mereka lebih tidak beradab dari ucapan FS. Umpatan seperti 'f.ck', 'mother f..ker' menjadi hal biasa dalam pertengkaran.

Saya memiliki kesaksian tentang hal ini. Suatu malam, hujan gerimis, terdengar suara gaduh di rumah tetangga. Kamar saya berbatasan langsung dengan sumber keributan. Saya bergegas menuju teras di lantai dua. Teman-teman lain ikutan keluar rumah. Suasana teras remang-remang sehingga dengan mudah menonton percekcokan di rumah tetangga. Mereka hanya bertengkar. Maki-makian. Dorong mendorong, tetapi tidak saling pukul. Keributan berlangsung lama. Terhenti setelah polisi datang.

Seorang teman rumah yang menempati kamar atas, Rene, asal Filipina, berkisah percekcokannya dengan seorang India kepada Ardi. Peristiwa itu terjadi jauh sebelum kami masuk ke rumah tersebut. Karena fisiknya kecil, Rene hanya mampu bertengkar. Ia malah menantang rekannya dari India tersebut memukulnya. Rene berusaha untuk 'menjeratnya' dengan kekerasan fisik. Tetapi orang India tersebut tidak melakukannya.

Di penghujung semester pertama kuliah, terjadi pertengkaran hebat di rumah. Masalahnya sepele. Soal kebersihan rumah. Ada seorang penghuni, warga Australia keturunan Libanon. Umurnya terpaut jauh, seumuran dengan orang tua kami. Tingkahnya suka mengatur. Harus beginilah, begitulah, dan seterusnya. Sementara kami memiliki jadwal bersih setiap minggu. Dia hampir tidak pernah melibatkan diri.

Hal yang membuat saya kesal karena ia meminta saya untuk menyampaikan soal cara dan hal yang berkaitan dengan kebersihan kepada teman-teman, Eka dan Arif. Alasan dia, saya bisa menyampaikan dalam bahasa Indonesia. Maksudnya saya sebagai sesama Indonesia. Saya membantahnya. Saya hanya bilang bahwa kita semua posisi sama. Tidak ada orang Indonesia, Australia, Bangladesh, dan sebagainya. Kita sama. Sama sebagai penghuni di rumah tersebut. Dia pun bisa menyampaikan langsung kepada dua teman yang lain.
Arif yang sedang duduk di teras depan, rupanya 'nguping' pembicaraan kami.

"What's up?" Teriak Arif.

Eka pun keluar dari kamar. Pecahlah pertengkaran. Suasana menjadi tegang, Ahmad pun merasa terkepung. Salutnya, Ahmad tidak melakukan kekerasan apapun. Fisiknya sebanding Tyson bisa saja merobohkan kami saat itu. Dia hanya berbicara dengan kata-kata yang menghina Arif. Ia mengancam Arif dengan melemparkan stick yang ada dalam genggaman tangannya, tapi ia tidak melakukannya.

Adilkah sikap kita kepada pihak yang melakukan kekerasan verbal dengan akibatnya tidak mencabut nyawa seseorang? Melihat dan mengamati situasi kita, kita perlu merevolusi mental (baca: paradigma) untuk menghargai nyawa manusia akibat kekerasan fisik daripada kekerasaan verbal yang hanya melukai perasaan seseorang. Mungkin juga, kekerasan verbal bisa membunuh tetapi tidak langsung mencabut nyawa dari raga. Tindakan kuratif masih dapat dilakukan.

Dari kasus FS kita belajar banyak hal. Tidak hanya soal sopan santun. Kita dapat selami aspek kemanusiaan dan berbagai upaya memanusiakan manusia. Kita  patut mencontohi sikap Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berjiwa humanis. Sultan yang memiliki sikap mengampuni. Tindakannya lebih berbudaya daripada orang-orang yang mengaku dan menakar diri sebagai manusia yang lebih beradab dari orang lain lewat berbagai komentarnya. ***(gbm)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun