Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Florence Sihombing: Kekerasan Fisik Lebih Kejam dari Kekerasan Verbal

6 September 2014   14:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di penghujung semester pertama kuliah, terjadi pertengkaran hebat di rumah. Masalahnya sepele. Soal kebersihan rumah. Ada seorang penghuni, warga Australia keturunan Libanon. Umurnya terpaut jauh, seumuran dengan orang tua kami. Tingkahnya suka mengatur. Harus beginilah, begitulah, dan seterusnya. Sementara kami memiliki jadwal bersih setiap minggu. Dia hampir tidak pernah melibatkan diri.

Hal yang membuat saya kesal karena ia meminta saya untuk menyampaikan soal cara dan hal yang berkaitan dengan kebersihan kepada teman-teman, Eka dan Arif. Alasan dia, saya bisa menyampaikan dalam bahasa Indonesia. Maksudnya saya sebagai sesama Indonesia. Saya membantahnya. Saya hanya bilang bahwa kita semua posisi sama. Tidak ada orang Indonesia, Australia, Bangladesh, dan sebagainya. Kita sama. Sama sebagai penghuni di rumah tersebut. Dia pun bisa menyampaikan langsung kepada dua teman yang lain.
Arif yang sedang duduk di teras depan, rupanya 'nguping' pembicaraan kami.

"What's up?" Teriak Arif.

Eka pun keluar dari kamar. Pecahlah pertengkaran. Suasana menjadi tegang, Ahmad pun merasa terkepung. Salutnya, Ahmad tidak melakukan kekerasan apapun. Fisiknya sebanding Tyson bisa saja merobohkan kami saat itu. Dia hanya berbicara dengan kata-kata yang menghina Arif. Ia mengancam Arif dengan melemparkan stick yang ada dalam genggaman tangannya, tapi ia tidak melakukannya.

Adilkah sikap kita kepada pihak yang melakukan kekerasan verbal dengan akibatnya tidak mencabut nyawa seseorang? Melihat dan mengamati situasi kita, kita perlu merevolusi mental (baca: paradigma) untuk menghargai nyawa manusia akibat kekerasan fisik daripada kekerasaan verbal yang hanya melukai perasaan seseorang. Mungkin juga, kekerasan verbal bisa membunuh tetapi tidak langsung mencabut nyawa dari raga. Tindakan kuratif masih dapat dilakukan.

Dari kasus FS kita belajar banyak hal. Tidak hanya soal sopan santun. Kita dapat selami aspek kemanusiaan dan berbagai upaya memanusiakan manusia. Kita  patut mencontohi sikap Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berjiwa humanis. Sultan yang memiliki sikap mengampuni. Tindakannya lebih berbudaya daripada orang-orang yang mengaku dan menakar diri sebagai manusia yang lebih beradab dari orang lain lewat berbagai komentarnya. ***(gbm)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun