Di sela-sela derunya tumpahan hujan di jendela, dan erangan Ranum, handphonenya berdering. Setia menyempatkan menengok smartphonenya. Ada pesan masuk. “Abang. Seragam putih-putihmu sudah kusiapkan. ID card-mu sudah kutemukan. Sepatumu juga sudah kusemir. Jangan terlambat di acara kenaikan pangkatmu nanti pagi, ya.” Dari istrinya.
Setia termenung membacanya. Matanya menjadi sayu. Batinnya bergemuruh. Tak didengarnya Ranum yang berteriak kencang karena kaget dengan munculnya pohon besar di tikungan tajam. Cengkraman tangan Ranum menyadarkannya. Hujan deras mengaburkan pandangan kaca depan mobil. Setia membanting setir ke kanan. Mobil pun melintir, menghantam pohon, meremukkan bagian kiri mobil, memecahkan kaca mobil, memecahkan kepala Ranum.
Mobil terpantul ke depan, terperosok ke bukit yang menurun dan licin. Berguling kencang, menabrak bebatuan, membuat mobil memantul laksana bola karet.
Setia melayang.
Terbayang senyum Ayu.
Terbayang tawa Cinta.
Terbayang tatapan ayahnya, yang berpesan, “Buahilah. Kau harus teruskan darah kita, dengan anak laki-laki.”
.
*) Pernah ditayangkan setahun lalu di Flash Fiction Challange - Ubud Writers and Readers Festival. Namun karena ketidakjelasan dan ketidakprofesionalan panitia, saya tayangkan kembali di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H