.
Hening. Jangkrik meringkik. Warga desa mendengkur. Angin menderu pelan. Bulanpun sembunyi.
Tiba-tiba kegelapan pecah oleh raungan mobil yang melesat seakan dikejar ratusan anjing. Decit ban oleng, sesekali merobek tanaman pinggir jalan. Setia panik di belakang kemudi. Jantungnya berpacu. Matanya sibuk, membagi banyak pandangan, antara jalanan sempit berliku, pepohonan yang seakan tiba-tiba muncul, dan kucuran darah yang mengalir dari sela paha Ranum, serta wajah pucat Ranum yang tak henti-hentinya mengerang.
“Bang, aku tak tahan, Bang!”
“Sabar, Num. Bertahanlah!”
“Baaannggg!”
Setia makin tak sanggup mendengarnya. Kekacauan itu menjalangkan matanya untuk bertempur dengan pikiran yang berkecamuk.
“Silakan. Pergilah ke wanitamu itu. Besarkan bayimu, tapi jangan lagi mencari kami” ucap Ayu, istrinya, tadi pagi. Dari balik jendela kamar, Cinta, anak gadis semata wayangnya, hanya memandang.
Petir menggelegar. Hujan tumpah deras. Kunang-kunang terbang kacau di sela pepohonan, berkejaran, memendarkan cahaya laksana ratusan mata liar, bergentayangan, menyalak riuh, serta menyihir Setia yang makin labil.
“Baaaang, aku tak tahan lagi, Baaang!”