Mohon tunggu...
Babeh Helmi
Babeh Helmi Mohon Tunggu... profesional -

Babehnya Saras n Faiz . Twitter : @Babeh_Helmi . . @KoplakYoBand

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Seni Rupa di Kompasiana

25 Desember 2010   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:24 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasiana bukan hanya menyediakan tulisan, tetapi juga ilustrasi seni rupa. Ada yang diciptakan dari olah gambar komputer, melalui software Photoshop atau Corel, atau lainnya, ada juga yang murni lukisan di media non-komputer (walau yang ditampilkan di sini hanya berupa image yang direkam menggunakan kamera ataupun scanner).

Silakan tengok.

[caption id="attachment_147810" align="alignleft" width="244" caption="Empat tokoh"][/caption]

Empat ilustrasi ini ditemukan di puisi berjudul "Sahabat Saya Bunuh Diri". Guratan ilustrasi yang menarik, tentang (arah jarum jam) Vincent Willem van Gogh, Ernest Miller Hemmingway, Adeline Virginia Woolf, dan Alfonsina Storni. Ekspresif, menurut saya. Keren.

Penulis tidak hanya mengekspresikan lewat kata-kata, tetapi juga lewat ilustrasi sederhana namun mengena. Keempat tokoh yang dikagumi oleh penyair itu, yang digambar ulang, adalah tokoh-tokoh dunia yang tragis akhir hidupnya, bunuh diri.

Di artikel lain, ada curahan puisi tentang cinta yang romantis, yang ditujukan untuk pasangannya. Duh, bacalah puisi itu. Begitu indah sapaan cinta pada istrinya, yang setiap pagi (mungkin) menyajikan secangkir kopi, yang diseduh dengan rasa cinta. Lihat ilustrasi di puisi dua bahasa, yang berjudul 'Pemabuk Kopi'.

[caption id="attachment_147811" align="aligncenter" width="288" caption="Pemabuk kopi"][/caption]

Di artikel selanjutnya, Kompasianer tersebut, yang ternyata seorang pelukis berkelas, membuat puisi 3 baris, dengan judul "Martir dan Teroris".  Di sini ditampilkan ilustrasi dari foto lukisannya di tahun 2005, yang menggambarkan 2 arit berhadapan dalam bingkai-bingkai hitam putih. Begitu simbolik penggambarannya.

[caption id="attachment_147832" align="aligncenter" width="483" caption="Terrorism and Martyrdom, oil & acrylic on canvas, 145 x 200 cm, 2005, by O.T.E"][/caption]

Lukisan tersebut adalah salah satu dari banyak karyanya di tahun 2005, yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta dalam acara "Alienated Life". Sepertinya menurut pengamatan saya, pelukis sedang ada dalam wacana "hidup itu adalah berupa rangkaian kotak-kotak". Hahaha, maaf kalau salah tafsir.

[caption id="attachment_147833" align="alignleft" width="258" caption="Driyakarya SJ"][/caption] Kompasianer tersebut adalah seorang guru, dan dia sangat mendalami ilmu pendidikan dan sejarahnya. Lihatlah pemikirannya dalam artikel "Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia", yang mengemukakan tidak tersentuhnya sistem pendidikan khas Indonesia, seperti Muhammadiyah, Kanisius ataupun sistem pendidikan Pesantren. Lihat apa yang diungkapkannya dalam lukisannya yang bergambar tokoh Driyakarya SJ, salah satu pemikir pendidikan yang lahir di Kaligesing, Purworejo.

Perhatikan, apa saja yang ada di dalam lukisan tersebut. Simbol-simbol pendidikan ada di sana. Pelajar SD yang melukis tokoh Driyakarya, ada 4 punakawan yang salah satunya bertopi petani.

Di artikel lain juga, Kompasianer ini menuliskan tentang pahitnya pendidikan di sini, cerita tentang kado  pelajar SMP yang ternyata hanya berisi batu, bukan donat seperti teman-teman lainnya. Beliau mencoba mengilustrasikan kegetiran pahit manisnya saat sekolah di artikel berjudul "Pahit Pesta Pendidikan".

[caption id="attachment_147837" align="aligncenter" width="423" caption="Kado Silang"][/caption]

Ada banyak ilustrasi di hampir semua artikelnya, yang menurut saya bagus dan keren. Ilustrasi-ilustrasi berikutnya sudah mulai dengan banyak guratan pinsil warna dan crayon.

Di bawah ini ilustrasi 2 burung hantu, yang menjadi ilustrasi di fiksinya yang berjudul "Kutukan Burung Hantu Bulan Madu", yang masih membicarakan tentang petualangannya membaca dunia Hemmingway.

[caption id="attachment_147838" align="aligncenter" width="461" caption="Burung Hantu Hemmingway"][/caption]

Di bawah ini adalah ilustrasi untuk cerpennya yang berjudul "Hantu Rumah Hemmingway". Apakah itu adalah gambar dari Mrs. Hemmingway? Atau hantu yang ada di rumah Hemmingway? Silakan kunjungi cerpennya.

[caption id="attachment_147839" align="aligncenter" width="395" caption="Mrs Hemmingway"][/caption]

Seniman ini juga mengungkapkan soal kopi dari biji luwak, yang saat itu jadi perbincangan soal haram tidaknya, yang dituangkan dalam fiksi berjudul "Aku Tak Ingin Tubuh Ranumnya".

[caption id="attachment_147840" align="aligncenter" width="420" caption="Luwak"][/caption]

Walau dalam pengakuannya Kompasianer ini mencoba menghibur diri dengan artikel yang diletakkan di rubrik Hiburan, namun tetap saja beliau membuatkan ilustrasi yang tidak sembarang. Lihatlah ilustrasi berikut dari artikel yang berjudul "Blogger Gemblung", yang menurut saya artikel itu penuh dengan simbol. Silakan dicermati.

[caption id="attachment_147841" align="aligncenter" width="454" caption="Blogger Gemblung"][/caption]

Ilustrasi berikutnya adalah sketsa kesendirian dalam fiksi yang berjudul "Solo Phobia : Jangan Tinggalkan Aku Sendiri". Amati goretan sketsanya, kesendirian yang tampak dalam simbol seseorang yang berusaha menghibur diri dalam kesendirian di hutan.

[caption id="attachment_147842" align="aligncenter" width="460" caption="Takut Sendiri"][/caption]

Di sisi lain, Kompasianer ini juga mencoba membuat sketsa teman kompasianer lainnya. Ada 2 sketsa keren, yang pertama ada di ilustrasi artikel (yang dimasukkan dalam rubrik Hiburan) berjudul "Humor : Dosen dan Mahasiswa Rebutan Kompasianer".

Yang kedua ada di artikel berjudul "Lelaki Penggenggam Bara aka Firman Seponada"

Kompasianer serba bisa ini juga menyorot tentang Sastra Digital di Kompasiana, padahal ia adalah salah satu tokoh penting di jajaran Sastrawan Digital Kompasiana yang menggaungkan jenis fiksi kilat (Flash Fiction). Bacalah artikelnya tentang "Sastra Digital dan Kompasiana". Ada ilustrasi dari sketsa kerennya di situ.

[caption id="" align="aligncenter" width="309" caption="."][/caption]

Banyak karya-karya beliau lainnya. Bahkan kalau tidak salah, ada beberapa lukisannya yang sudah melanglang buana karena dibeli oleh orang asing. Jika sering mengikuti tulisan-tulisan beliau, maka kita akan mudah mengetahui siapa dia. Foto profilnya yang sekarang adalah sketsa Gunung Merapi dan bunga. Kalau tidak salah, beliau membuat  sketsa ini saat Merapi erupsi, dan beliau bersama kawan-kawan di sana, termasuk salah satu Kompasianer Markus Budiraharjo mengadakan kegiatan "Ngamen Lukisan di Universitas Loyola Chicago untuk membantu korban letusan merapi, 15, 22, 23, November 2010."

[caption id="" align="aligncenter" width="439" caption="."]

[/caption]

Dan ini penampakan seniman, sastrawan Kompasiana kita. Saya biasanya memanggilnya dengan sebutan Om Prof, sementara Tante Duren memanggilnya Mister. Hahaha.  Kami haturkan salam salut untuk Om Prof.

[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="."]

[/caption]

Oh, ya. Selain Om Prof, ada juga lho Kompasianer yang bergelut di seni rupa. Perhatikan hasil karya cat air di bawah ini. Karya dari Kompasianer bernama Sheyka kemarin ditayangkan di artikel berbahasa Inggrisnya yang berjudul "Hello, Rhino!", yang bercerita tentang proses kreatif dalam melukis Badak, untuk kampanye penyelamatan Badak. Sayang artikel bagus tersebut tidak Headline. Hehehe.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="."]

[/caption]

Begitulah di Kompasiana. Banyak karya dari kompasianer yang bukan hanya tulisan, tapi juga seni rupa. Memang tidak mudah melukis atau membuat ilustrasi orisinil untuk artikelnya sendiri. Selama ini kita banyak mendapat bantuan dari tersebarnya gambar-gambar di dunia maya. Namun patut diperhatikan soal hak cipta, mulailah kita menghormati karya mereka, paling tidak mencantumkan alamat lengkap asal gambar tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun