Cerita sebelumnya ("Ampun Mbok! Ada Bom!")
.
Kelima pandawa, Gugun, Hendra, Ngashim, Sigit dan Jenni, berlari cepat meninggalkan musholla SD Canting. Mereka masih tertawa cekikikan karena melihat 2 ibu guru galaknya yang masih cemberut, kesal karena tidak sepenuhnya berhasil mengerjai 5 anak muridnya yang nakal itu. “Biar, hari ini gagal, tapi belum tentu di hari lain”, gumam Ibu Gendis sambil menggembungkan pipinya tanda cemberut. Begitu juga Ibu , sambil mengelus-elus dagunya yang tidak berjenggot itu, ia pun turut bergumam, “Sore ini adalah kesuksesan yang tertunda. Huh!”.
Babeh Helmi sudah menunggu di kelas. Di sana sudah ada yang menunggu terlebih dahulu, yaitu Unyil dan Ika Maria. Melihat para pandawa masuk ke dalam, Unyil pun menyinyirkan mulutnya tanda kesal, karena dia tahu kalau pandawa datang, maka kesempatannya untuk belajar kesenian, jurusan seni bela diri, program studi memanah, pasti akan berkurang.
Sambil berjalan ke bangku kelas, 5 Pandawa itu melihat mulut nyinyiran Unyil. Karena itu, mulailah mereka serentak merubah gaya berjalannya menuju bangku dengan sikap petantang petenteng, seperti jalannya jagoan pasar. Di belakangnya, ibu guru Gendis dan ibu guru , yang mengikuti mereka dari musholla, bertambah sebal dengan tingkah polah badungnya kelima anak didiknya itu, yang berjalan dengan melenggok-lenggokan pantat mereka.
Sambil meletakkan pantat mereka di bangku, kelima pandawa langsung membuka baju mereka, dan memamerkan otot-otot mereka sambil cengar-cengir. Sekali-kali mereka saling berpandangan, tapi lebih seringnya mereka memamerkan bentuk badan mereka yang lucu-lucu itu ke arah Ika Maria dan Unyil, dengan maksud menakuti mereka, serta dalam rangka menambah perbekalan sebalnya si Unyil. Hahaha, kebayang kan adegan petantang-petentengnya kelima cowo ini yang bertelanjang dada di kelas. Hahaha. Silakan dibayangkan, bagaimana Gugun yang gondrong itu memamerkan badannya. Begitu juga Hendra dengan campuran kepalanya yang plontos. Apalagi Ngashim yang memamerkan badannya karena terpacu motivasi mengejek Unyil dan Ika Maria. Begitu juga si kembar Jenni dan Sigit, yang memutar-mutar badannya untuk memamerkan keindahan tubuhnya. Sementara itu Ika Maria, Unyil, ibu Guru Gendis dan Ibu Guru Meisha Shasha makin dongkol melihatnya.
BRAKK!!
Tiba-tiba meja dipukul oleh Babeh Helmi. Semua orang di dalam kelas kaget. Keterkejutan itu menyambar reaksi. Ika Maria dan Unyil terdiam menunduk. Begitu juga Ibu Guru Gendis dan Meisha Shasha.
Namun, lain halnya dengan kelima pandawa. Mereka mengeluarkan reaksi yang berlawanan, yaitu langsung serentak mengeluarkan jurus-jurus andalannya, jurus bertahan dari serangan musuh. Mungkin ini juga sebagian dari reaksi latah dan sisa latah mereka di musholla. Sekarang mereka mengeluarkan suara-suara seperti saat Bruce Lee berkelahi “Hiat.. hiaaat .. Ciat .. ciaaaat .. Huwaaaaaaaa … Yuhuuu … ” Sampai akhirnya di pose jurus terakhir dalam gaya menahan serangan, Gugun berteriak, “Yang mana musuhnya, Guru?”. Hendra ikut menimpali, “Biar saya pites tuh orang. Mana dia?”
Dalam posisi ke dua tangan di depan muka seperti halnya petinju, Ngashim pun bertanya ke Babeh Helmi, “Saya sudah siap, Guru! Siapa lawannya, Guru?”
Babeh Helmi : Siapa yang nyuruh kalian beginiiiiii?
Mendengar itu, para pandawa dan semua orang di kelas itu saling pandang keheranan.
Sigit : (heran) Lho, tadi Guru menggebrak meja, bukannya itu artinya siap dengan latihan seni bela diri?
Jenni : Iya, Guru, tenang aja, Guru, kami sudah siap tempur nih.
Gugun : Walaupun kami sedang puasa, kami sanggup latihan kok. Nih kan kami sudah buka baju, Guru.
Mereka berlima kembali memamerkan otot-otot di badannya yang lucu-lucu itu.
Babeh Helmi : Memangnya yang suruh kalian buka baju itu, siapaaaaa?
Jiaaaaaaaaaaaaaaahh … Para pandawa langsung melongo mendengar ucapan Babeh. Mereka saling pandang.
Hendra : Lha, bukannya kami disuruh ke sini untuk berlatih seni bela diri, Guru?
Babeh Helmi : Yang bilang kalau berlatih seni bela diri itu harus buka baju itu, siapaaaaaaaa?
Jiaaaaaaaaaahhhhh. Salah lagi. Kelima pandawa pun langsung tertunduk malu. Sementara di samping mereka terdengar suara tertawa yang keras dari Unyil dan Ika Maria. “Hahahahahahahaha, emang enaaaaaaaaaakkk!!!!!! … Cuci’aaaaaaaaaaaaaaaann dueeehhhhhhhh!!!! .. Hahahahahaha” Unyil dan Ika Maria pun saling menepukkan tangan mereka, tanda toss. Hahahahahahaha. Sambil bersungut-sungut, para pandawa pun memakai bajunya kembali. Suara cekikikan bertambah, karena ternyata Ibu Guru Gendis dan Ibu Guru Meisha Shasha tidak bisa menahan tawa mereka, namun karena menghormati Babeh Helmi, mereka hanya bisa cekikikan. Mendengar itu, para pandawa makin malu, makin membuat mereka menundukkan kepala mereka ke kolong meja. Hahahaha.
Tiba-tiba Sigit nyeletuk, “Oh, Guru mau mengajarkan kami seni jathilan, ya?”
Semua orang langsung tersentak dengan kalimat itu. Mereka memandang Babeh Helmi, dan menunggu jawaban darinya. Babeh Helmi pun mengerenyitkan dahinya dan berkata, “Kok kamu bisa menyimpulkan itu, Git?”
Sigit : “Ya iya lah, kan Sigit anak pintar, Guru. (Berubah sikap menjadi seperti anak balita) Aku kan anak baik, tidak sombong dan rajin menabung. Iya kan, Guru?” (Sigit tersipu-sipu malu sambil mengedip-ngedipkan matanya.)
Babeh : Iya, iya. Tapi mana buktinya kalau kamu langsung bilang kita akan mulai dengan seni jathilan?
Para pandawa yang lain langsung senggol-senggolan sikut. Mereka juga tidak mengerti maksud Sigit. Mereka hanya kagum, ternyata Sigit yang lugu itu mampu menyimpulkan sesuatu yang tidak diduga di saat-saat mereka sedang dalam posisi lemah karena malu dan dipermalukan dengan telak. Hahahaha.
Jenni pun was-was, dia tidak mau kalau teman kembar tak warasnya ini melakukan kesalahan lagi. Seandainya Sigit salah lagi, pasti orang tuanya akan memindahkan posisi status kembarannya ke Hendra. Artinya, Jenni akan dianggap sebagai kembarannya Hendra, dan Sigit otomatis akan ter-eliminasi karena berada di posisi terbawah, yang juga dikarenakan kurangnya dukungan pengiriman sms untuk Pandawa Idol. (Lhoooo .. iki opo toh???? … wakakakakakakkk, kok nyasar ke sini????)
Jenni : Git, kamu tuh jangan sembarangan ngucap, Git. Eling, Git. Nyebut, Git!
Sigit: Lhaa, kok kamu ngga percaya, Jen?
Jenni: Ya iyalah. Buktinya apaaaaaa?
Sigit: Lha ituuuuuu (menjawab dengan polos sambil menunjuk sesosok mahluk di pojok depan kelas)
Serentak semua mata di kelas mengikuti arah petunjuk yang disebutkan Sigit. Dan di pojok gelap itu, tersembullah sesosok mahluk bersabut bulu, seperti rambut kuda, namun posisi bulu berjejernya berdiri.
Setelah diamati dengan seksama, spontan muncullah reaksi yang berlainan. Babeh Helmi cuma menggelengkan kepalanya. Unyil dan Ika Maria tertawa cekikikan. Ibu Gendis dan Ibu Meisha Shasha masih mangap melongo. Namun apa yang terjadi pada keempat pandawa? Ternyata keempat pandawa lain terhenyak dari kursi, dan terkejut melihat sosok yang dilihatnya. Mereka saling berpandangan, dan Hendra langsung menjitak kepala Sigit, “Woi, semprul. Kamu kira itu siapaaaaaa?” Ngashim langsung menimpali, “Lha itu kan Pak Kepsek, Pak Yula, ndullllllll??!!!”
Sigit: Lhoooo, Pak Yula toh? … Walaaaaaaaaahh, aku kira itu kuda lumping buat seni jathilan?!
Hahahahahahaha. Ternyata itu Pak Yula yang berdiri di pojok kelas. Dia sudah merubah penampilannya menjadi nyentrik, berambut Mohawk, berambut berdiri segaris kebelakang, dan Sigit mengira kalau itu adalah Kuda Lumping.
.
(Bersambung lagiiiii)
————————————
*)baca kisah lainnya disini ” balada chentingsari”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H