Mohon tunggu...
Babeh Helmi
Babeh Helmi Mohon Tunggu... profesional -

Babehnya Saras n Faiz . Twitter : @Babeh_Helmi . . @KoplakYoBand

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(3) Tambah Ketakutan di Malam 1 Suro

17 Desember 2009   15:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:54 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Pertama (1) Ketakutan di Malam 1 Suro Cerita kedua (2) Ketakutan lagi di Malam 1 Suro

Saya tidak mau terobsesi kalau malam ini adalah malam yang angker. Tidak perduli ini malam jumat ataupun ditambah dengan Malam 1 Suro, yang biasanya malam seperti ini hantu-hantu seperti kuntilanak akan bebas berkeliaran. Pikiran-pikiran seram itu tidak mau mengganggu saya. Saya tidak mau diteror oleh cerita-cerita seperti itu.

Tapi entah kenapa, perasaan saya menjadai tidak enak. Saya sangat merinding. Bulu kuduk saya berdiri. Terasa kalau hawa bertambah dingin, seolah-olah ada angin dingin berputar di sekujur badan saya.

Saya masih sendirian di dalam kamar. Membereskan berkas-berkas. Merapikan meja.  Mematikan komputer. Berusaha setenang mungkin. Padahal dalam pikiran saya berkecamuk kisah seram tersebut.

Setelah mematikan lampu kamar, saya keluar kamar untuk bergegas pulang. Waktu menunjukkan pukul 11.30 malam. Saya melihat ke sekeliling ruang departemen saya yang luas, gelap gulita. Saya berjalan menuju lobby, dan di sana bertemu Security tadi sedang mengisi buku laporannya.

Dia menatap saya. Hampa. Saya pun hanya diam menatapnya kembali. Saya tidak mau terlihat takut, dan berusaha menyembunyikan perasaan itu. Saya hanya tersenyum kecut.

"Duluan, ya, Mas," kataku.

"Oh, silakan, Mas," jawabnya.  Namun, "Hati-hati, Mas" lanjutnya.  Saya segera menengoknya. Sial, kenapa dia harus berkata seperti itu. Wah, kalimat yang membuat saya kembali ke perasaan takut saya.  Padahal saya sudah berusaha menghilangkan ketakutan itu dengan meyakinkan diri saya kalau saya berani.

Saya hanya menjawab dengan senyum. Security itu kembali ke buku laporannya. Saya mulai memencet tombol lift untuk turun.  Pintu lift segera terbuka.  Rupanya, lift tersebut diam tak bergerak di lantai 17, karena tidak ada yang menggunakannya. Saya melihat pintu perlahan bergerak terbuka. Namun saya tidak berani melihat langsung ke dalam lift, karena lampu di dalam lift belum menyala. Saya tidak berani menatap langsung lift yang gelap, takut seandainya di dalam lift tersebut sudah ada sosok mahluk halus berpakaian putih berdiri melayang di dalam lift. Ah... pikiran itu kembali menghantui saya.

Sesaat kemudian lampu neon lift berkedip-kedip.  Saya perlahan menengok ke dalam lift, memastikan kalau lift tersebut memang kosong.  Perasaan mulai berkecamuk. Saya berusaha keras meyakinkan diri saya kalau saya berani turun sendirian dengan menggunakan lift tersebut. Saya berusaha menghilangkan cerita-cerita film di dalam pikiran saya, yang menampilkan adegan teror hantu di lift seperti di film THE EYE dan COMING SOON itu.  Saya tidak mau saya terjebak di lift yang mengurung saya, sementara sang hantu muncul di saat lift sedang bergerak turun dan perlahan menghampiri saya dari arah belakang, membiaskan hawa dinginnya ke tubuh saya, dan ... menampakkan wajah seramnya di samping saya, padahal saya tidak bisa lari kemana-mana karena terkurung di lift. Saya juga tidak mau terjebak di dalam lift seandainya PLN dengan gagahnya memadamkan aliran listrik di daerah perkantoran pada saat ini juga, sehingga saya terjebak di dalam lift yang gelap. Walaupun pasti petugas genset menyalakan listrik kembali dan lift kembali bisa bergerak, namun tetap saja saya tidak mau terjebak ketakutan dalam gelap walau beberapa saat.

Hah... Malam 1 Suro terus meneror saya, membuat saya terpaku di depan lift.

"Mas.." tiba-tiba Security menegur saya. Saya langsung menoleh. "Kenapa, Mas? Kok diam?," lanjutnya.

"Nggak kok." Saya berusaha tersenyum. "Yuk, Mas," sambil saya langkah kaki saya masuk ke lift.

Ya, kini saya sekarang berada di dalam lift yang menuju lantai dasar. Yang akan melewati lantai 12.  Yang akan terkurung dalam lift selama beberapa saat. Yang siap menerima apapun kejadian seandainya listrik tiba-tiba padam, atau tali baja lift putus dan meluncur deras, ataupun hantu itu menampakkan dirinya di saat lampu terang maupun gelap.

Saya menarik nafas panjang. Memberanikan diri. Saya meyakinkan jari saya untuk memencet tombol lantai dasar.  Saya memberanikan diri saya sendirian di dalam lift.

Pintu lift perlahan menutup. Huh, mulailah kini saya berpetualangan dalam lift seorang diri.

Dalam ketakutan, saya hanya bisa menatap tombol lift. Tombol-tombol angka yang tidak terdapat angka 1 hingga 11, karena lift ini akan tidak membuka di lantai-lantai tersebut, dan langsung membuka di lantai dasar. Yang ada hanya tombol angka 17, 16, 15, 14, 12, dan D.  Ini memang sistem lift terpisah yang bisa mempercepat pergerakan lift tanpa membuka tutup di semua lantai.  Tapi, karena tidak adanya tombol 1 hingga 11, itu berarti, lift ini tidak akan terbuka di lantai-lantai tersebut, dan tidak ada pintu-pintu yang tersedia untuk lift ini. Yang ada hanyalah tembok panjang luruh ke bawah. Artinya juga, seandainya lift itu macet setelah melewati lantai 12, maka saya akan terjebak dalam tembok-tembok yang tidak berpintu.  Haaahhh ... Mengerikan.

Jari saya masih terus menekan tombol D, tombol lantai Dasar, dan berharap lift bisa secepat kilat turun ke lantai tersebut, tanpa perlu terbuka di lantai 12. Ya, lantai 12, lantai tempat wanita yang ditemukan security itu menghilang.  Aduuuuh, pikiran itu kembali menerpa saya. Padahal saya sudah berusaha menghilangkan pikiran hantu lantai 12 itu.  Waahhhh ... Bulu kudukku kembali merinding. Badanku kembali terasa dingin.

Saya melihat ke atas, ke lampu angka-angka lift, yang bergerak perlahan. Sial, kenapa harus bergerak pelan. Ayo dong, cepat bergerak turun.

16.

3 lantai lagi saya akan melewati lantai 12.

15.

Dua lantai lagi, dan saya tidak mau lift tiba-tiba berhenti di lantai 12, karena saya tidak mengaktifkan tombol lantai 12. Karena itu saya terus menekan terus tombol lantai Dasar.

14.

Satu lantai lagi. Dan itu artinya saya harus siap seandainya lift berhenti dan menggerakkan pintunya dan memperlihatkan ke pada saya ruangan yang gelap.  Saya harus siap seandainya di ruang gelap itu sudah berdiri melayang sesosok putih wanita halus. Menatap saya dengan dingin, dengan pandangan yang tajam, dan ... menyeringai ... tertawa meringkik dengan suara khasnya.   Huaaahh... Saya terkungkung ketakutan!

Dan ...

12.

Saya menahan nafas. Diam.  Hanya suara tali baja lift yang bergerak yang terdengar. Hanya suara kipas exhaust dalam lift yang terdengar. Hanya suara detak jantung saya yang terdengar.   Jari saya tetap menekan tombol lantai Dasar. Makin keras saya tekan. Saya sangat berharap lift tidak berhenti. Saya sangat berharap lift terus melaju ke lantai dasar.  Saya terus berharap semoga hantu lantai 12 itu tidak mengganggu saya. Badan saya mengkerut. Dingin. Entah kenapa hawa dingin makin menusuk.

Dan, lampu lantai 12 mati.  Tidak ada pergerakan, selain lift yang terus melaju turun. Huh, saya bernafas lega.  Huh, ujian nyali dalam perjalanan dari lantai 17 ke lantai 12 sudah terlewati. Dan kini, saya harus melewati ujian terberat saya. Meluncur dalam lift seorang diri, tanpa ada pemberhentian di antara lantai 11 hingga lantai 1.  Terkurung. Dan siap dengan godaan yang lebih membuat saya gelisah.

Saya menahan nafas kembali. Saya sudah pasrah jika terjadi apapun di dalam perjalan lift menuju lantai dasar ini.  Saya hanya diam dan terus tidak melepaskan jari saya dari tombol lantai dasar itu.

[caption id="attachment_39314" align="alignleft" width="300" caption="dari google"][/caption]

Tiba-tiba... Saya merasa ada guncangan di dalam lift. Entah kenapa, mungkin karena saya terlalu fokus, sehingga gerakan lift turun pun saya bisa rasakan. Gesekan tali lift di putaran roda gear pun seolah saya rasakan.  Saya tidak mau menengok kiri dan kanan. Saya tidak mau melihat sekeliling lift. Saya tidak mau menggerakan badan saya ataupun tangan saya. Saya hanya mampu diam kaku. Yang saya andalkan hanyalah telinga saya. Saya berusaha kuat mendengarkan apa yang terjadi di sekeliling saya saat itu.

Dan saya mendengar desahan nafas kecil .... di belakang saya.

Ampuuuuun. Kenapa ini harus terjadi saat saya merasakan ketakutan di Malam 1 Suro ini? Hah, siapa yang mendesah. Haaah, saya sudah tidak bisa menjelaskan lagi dengan kata-kata, apakah saya ketakutan dengan sangat, bulu kuduk yang tambah merinding, hawa yang tambah dingin. Dan seolah-olah ada angin yang bergerak ke depan. Angin dingin. Bergerak perlahan. Huaaaah. Apa ini yang seperti di film "THE EYE" itu?

Apakah hantu itu yang kini berada di belakang saya?  Yang perlahan mendekati saya, yang mencoba mendengus di pundak saya? Huaaaa.... Apakah hantu wanita yang di lantai 12 itu? Dan kini ada di belakang saya, yang ternyata sedari tadi menunggu saya di dalam lift, karena dia tau mau tidak mau saya pasti akan menggunakan lift ini.

Lift semakin saya rasakan gerakannya, tapi angin yang bergerak perlahan ke depanpun makin saya rasakan. Saya tidak berani menoleh ke kiri dan ke kanan. Pandangan mata terus menerus melihat tombol lantai Dasar, dan saya tetap tidak mau menutup mata saya, karena saya tau jiika saya tutup mata saya, maka bayangan ketakutan akan semakin hebat.

Saya seolah ditekan batu besar, karena saya tidak bisa bergerak sedikitpun. Mungkin bukan batu, tapi gunungan es, karena hawa menjadi dingin sekali di dalam lift itu. Dalam berkecamuknya perasaan ketakutan itu, entah kenapa saya berusaha merasakan ada apa yang terjadi di belakang saya, tanpa saya harus melihat kebelakang.

Ya, saya merasakan sesuatu yang bergerak perlahan mendekati saya. Sesuatu itu makin mendekat. Makin mendekat. Saya merasakan kalau sesuatu itu sudah hampir mencapai pundak saya.  Saya makin terkungkung, mengkerut, terpaku.  Dan... saya menutup mata saya rapat-rapat. Menahan nafas.

Tiba-tiba, di saat kritis itu, ada kekuatan dalam diri saya. Pikiran saya harus logis. Dan saya membuka mata, dan langsung menoleh ke belakang.

Kosong.

Saya lihat sekeliling saya. Kosong. Ke atas. Kosong. Yang ada hanya metal dinding lift, dan lampu lift.  Tapi saya tetap merinding. Hawa dingin tetap ada.

Dan pintu lift terbuka. Hawa segar dari lobby dasar menyeruak ke dalam lift. Huh. Saya membuang nafas. Berusaha mengatur nafas kembali.  Berusaha menggerakkan kembali badan saya. Dan melepaskan jari saya yang terus menekan tombol lift.

Saya berjalan keluar lift. Bergegas mendapatkan hawa malam sesungguhnya. Bergegas mendapatkan pemandangan kota yang sesungguhnya. Berusaha mengeluarkan sepenuhnya ketakutan yang meneror saya.

Huh. Saya lihat jam tangan saya.  Jam 12.00 malam tepat. Terdengar di kejauhan lolongan anjing. Malam makin pekat. Angin bertiup. Dingin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun