Mohon tunggu...
Baban Sarbana
Baban Sarbana Mohon Tunggu... Freelancer - Social Entrepreneur

Penulis Buku "Tapak Tilas Jejak Obama", Serial Cerita Bernilai, dan Penggagas www.YatimOnline.com. www.kampungzimba.com. Personal Website: www.babansarbana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mellihat Kampung "Zaman Now"

9 November 2017   22:11 Diperbarui: 10 November 2017   08:00 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa pekan ini cukup melelahkan untuk saya. Sambil menjalani profesi sebagai trainer social entrepreneur berkeliling ke beberapa kampus di Yogja, Palembang, Bandung, Lampung hingga Semarang; saya bersama warga di kampung, terlibat dalam sebuah proses demokrasi yang tak pernah saya duga sebelumnya; utamanya terkait dengan pemanfaatan social media.

Ternyata, kondisi desa yang makin parah dengan beberapa penyelewengan dana, baik anggaran dana desa, maupun anggaran dari sumber lain, yang sudah makin parah; puncaknya penjualan tanah aset desa senilai lebih dari 1 Milyar yang disertai dengan pemalsuan tanda tangan; ditambah dengan kasus korupsi dana rumah tidak layak huni, serta program betonisasi jalan kampung.

Luar biasa, seorang pengangguran, yang awalnya banyak menghabiskan waktu dengan memancing atau hilir mudik kesana kemari; tetiba mendapat durian runtuh setelah dititipi 'dana untuk beli suara' dari seorang politisi yang akan maju ke pemilihan legislatif. Dana ratusan juta itu, bertepatan waktunya dengan pemilihan kepala desa. Awalnya tak ada yang menduga, Gundul Songong 'nyalip' sebagai calon kepala desa; karena telah banyak calon yang sebelumnya cukup punya track record di masyarakat, maju untuk merebut kursi kepala desa.

Dengan dana titipan untuk 'beli suara' itulah, akhirnya, warga diserbu dengan sembako, padahal cuma beras 1 liter dan mie instan. Semuanya luput dari jeratan. Dan Gundul Songong pun melenggang jadi kepala desa. 

Apa yang terjadi setelah itu? Sang Caleg pun melenggang maju jadi anggota legislatif, dengan kontribusi suara lebih dari 50% dari Gundul Songong; bonusnya adalah Gundul Songong jadi kelapa desa.

Ternyata, slogan 'yang muda yang berkarya' tak jadi ditunjukan oleh Gundul Songong; malah merajalela korupsi yang dilakukannya. Mulai dari jual tanah garapan senilai 1M, bikin sertifikat palsu, berhutang sana-sini, hingga mengambil hak kaum dhuafa melalui program rumah tidak layak huni, yang dipotong nyaris 50%.

Rupanya, uang setan dimakan iblis. Gundul Songong yang pernah digunduli setelah masuk bui 18 hari, bisa keluar, dengan syarat (menurut kabar kabur) harus setor sekian juta rupiah kepada oknum hellboy. Entah benar atau tidak; akan tetapi yang terjadi kemudian, makin lihai bermain, makin banyak hak warga yang tak terpenuhi.

Proyek betonisasi jalan, senilai Rp 521jt, mangkrak. Usut punya usut, ternyata berhutang 300jt kepada salah satu pemborong dan tak dibayar; kemudian di november 2017 ini kelar dengan kondisi jauh dari yang seharusnya. Belum lagi pembangunan jalan kampung, yang harusnya bisa bikin nyaman, ternyata seperti jalan untuk refleksi, karena batu kerikilnya berlompatan dan bikin sakit telapak kaki kalau melewati jalan dengan bersandal jepit. Di wilayah lain, jalan-jalan yang didrop bahan bangunan berupa semen dan pasir, tetiba di laporannya, berupa ember, paku dan bahan bangunan lainnya. Kabar-kabur menyebutkan, isteri Gundul Songong membuka matrial dan menyuplai bahan bangunan dengan bon seenaknya. Itu perlu ditelusuri.

Belum lagi, beberapa anggaran yang fiktif, seperti adanya kegiatan Karang Taruna desa, yang sebenernya tidak ada. Dialokasikan senilai puluhan juta, tahunya tidak ada. Guru ngaji pun tak luput dari sunatan Gundul Songong.

Semua ini sedang diproses di kejaksanaan (jampidsus).....

Yang menarik adalah....

Warga kemudian berhimpun, membentuk grup whatsapp, berkoordinasi, walaupun berkubu-kubu. Akan tetapi WA Grup ini ternyata efektif untuk menghimpun potensi warga; berdiskusi, berdialog untuk solusi yang terbaik dengan cara-cara yang sesuai koridor hukum. 

Walaupun hasutan-hasutan muncul di grup untuk mengadakan aksi; bisa diredam dengan diskusi di WA Grup; dan hampir semua bersedia mengikuti hasil musyawarah di grup tersebut yang difollow up dengan pengajian malam jum'at atau ngopi-ngopi malam minggu di rumah salah satu warga.

Ini Kampung Jaman Now, dimana, menyelesaikan masalah, tak harus dengan tatap muka; tapi menggunakan social media, saling tabayyun dan terjadilan proses seleksi alam, siapa berada di pihak mana. Tak hanya satu WA Grup; bisa banyak WA Grup, dan satu sama lain bisa bertentangan. Akan tetapi, uniknya, ada saja satu orang yang ikut di dua kubu grup; ada juga yang jadi mata-mata grup sebelahnya, sehingga grupnya 'masuk angin', istilahnya.

Ini Kampung Jaman Now, ketika proses musyawarah bisa dilakukan di dunia maya, tapi tetap ketok palu dilakukan tatap muka. Pesertanya tak harus muda, para sepuh pun turut serta dalam dinamika grup WA. 

Yang unik, baik kepala desa maupun BPD (Badan Permusyawaratan Desa), malah memilih sembunyi-sembunyi dan terkesan menghindar bertemu dan berkomunikasi dengan warga. Terbukti dari sebuah peristiwa, ketika ada isu unjuk rasa akan dilakukan warga di hari Minggu, maka Kepala Desa serta merta mengirimkan 'orang-orang' untuk berkumpul di desa, seolah menjaga desa; padahal di hari biasa, tak ada pelayanan untuk warga. Jam 11.00 sudah sepi, desa. 

Kalaupun ada pelayanan warga oleh perangkat desa, maka warga menyumbang seadanya, karena, kabarnya aparat desa pun sudah tak lagi mendapat insentif seharusnya. Sehingga warga jatuh kasihan; memberikan tips untuk beberapa aparat desa yang membantu proses kependudukan, padahal sudah ada anggarannya dari desa.

Inilah sisi lain Kampung Jaman Now, ketika politik praktis tanpa nurani meraja lela, uang setan bisa menghasilkan iblis. Orang yang tak punya iman, mendapat uang melimpah, sehingga syahwat politiknya membuncah dan menghalalkan segala cara untuk rakus mengambil apa saja yang ada di hadapannya untuk kepentingan pribadi. 

Kampung harus dijaga dari nilai-nilai warisan jaman dahulu yang membuatnya indah di mata, indah di hati. Kampung harus dihuni oleh orang-orang yang memiliki imunitas terhadap serangan politik praktis yang tahunya hanya membeli suara, tak punya strategi untuk membeli hati melalui program-program empatik yang mengutamakan kepentingan warga.

Kampung Jaman Now masih punya harapan, selama orang-orang baik masih mau kembali mengabdi bagi kampung halamannya, dan menarik sebanyak mungkin orang untuk mengelola human capital dan social capital di kampung, menjadi bagian dari upaya mewujudkan kampung yang mandiri, adil dan sejahtera.

Baban Sarbana

Orang Kampung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun