Selama beberapa bulan ke depan, beberapa daerah akan melangsungkan pemilhan kepala daerah yang akan menentukan nasib masing-masing daerah untuk lima tahun ke depan. Jelas ini adalah pekerjaan sangat besar yang menguras tenaga, pikiran dan uang. Tensi politik menjelang pilkada cenderung meninggi. Selain menyedot tenaga, pikiran dan uang, hiruk pikuk pilkada juga mempengaruhi (=mengganggu) kinerja pemerintahan.
Kampanye, umbar janji dan debat sudah mulai dapat kita lihat dan nikmati. Para balon kepala daerah mulai menebar janji seraya diiringi tindakan blusukan, panji-panji pendukung yang nanti akan dipakai menyemarakkan kampanye sudah mulai dipesan, teks-teks materi kampanyepun telah disiapkan, bahkan slogan-slogan narsis mulai disosialisasikan. Layar kaca dan media massa lainnya dipenuhi dengan berita dan tayangan yang menampilkan para balon kepala daerah dengan atribut masing-masing berbicara tentang kesejahteraan rakyat, kemakmuran, dan keadilan. Mereka memeluk anak kecil, mengelus para jelata seraya menebar senyum khas. Semua seolah ingin mengatakan bahwa dirinya adalah pembela kaum minoritas yang tertindas, rakyat yang terjajah oleh kemiskinan.
Isu mereka hanya satu: perubahan. Dengan berbagai sterateginya masing-masing balon kepala daerah menjual dagangannya, supaya kelak pada saat hari pencoblosan laku dibeli oleh rakyat, janji mereka berkisar pada persoalan bagaimana bisa mengentaskan daerahnya dari segala macam keterpurukan. Sementara para pengikut mereka dengan setia mendukung sampai titik darah penghabisan, tidak peduli nantinya mereka terkena imbas perubahan atau tetap saja sengsara, yang penting sekarang waktunya mendukung idolanya..!
Begitulah gambaran masyarakat kita yang terus mendambakan datangnya “Satrio Piningit” yang mereka impikan sejak jaman Majapahit hingga sekarang ini. Hampir di setiap periode masa selalu muncul gambaran Satrio Piningit, sehingga sosok yang dianggap Satrio Piningit akan dibela mati-matian oleh pendukungnya.
Tapi benarkah mereka benar-benar sedang menantikan seseorang yang dianggapsebagai Satrio Piningit? Atau jangan-jangan hanya sebuah ilusi dan utopia semata? Orang menghayalkan sebuah komunitas dengan tatanan hidup yang ideal, yang – meskipun barangkali tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata - dapat menunjukkan bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat ditata agar semua dapat hidup dengan baik dan sejahtera.
Kondisi masyarakat yang utopis ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan untuk memuluskan rencana menjadi penguasa, alih-alih mencari nama dan menumpuk harta. Mereka bersikap baik kalau musim pemilu tiba, dengan berpura-pura menegakkan hukum, pura-pura membela yang tertindas dan lemah, memberi bantuan, mengelus yang sakit, berempati terhadap si miskin biar terkesan lebih dramatis dan sok pro-rakyat. Sebelum pemilu : di tengah masyarakat para balon kepala daerah pandai bersolek bergaya indah, lincah bicara agar kesan yang hadir adalah benar-benar seorang pembaharu, seorang reformis sejati, ratu adil yang sesungguhnya. Namun bagaimana setelah tampuk kekuasaan berada di tangan? Mereka menampakkan wujud aslinya sebagai seorang badut dengan keahliannya memainkan trik-trik sirkus maupun sulap, berkelit terhadap kebenaran, berkelit terhadap keadilan dan hukum dan rakyat kembali menjadi tumbal ketidak jujuran para badut berkedok Satrio Piningit.
Pengharapan Mesianis
Ide mesianis adalah impian manusia yang tertindas, rakyat yang memikul beban penderitaan yang tak kunjung usai. Mesias adalah impian kebebasan, keadilan dan damai. Sepanjang abad ide mesianis terus terngiang di berbagai belahan dunia. Sebut saja misalnya, Koresy, Daud, Bar Kobha, Thomas Munster sampai Martin Luther, bahkan seorang Gustavo Gutierrez disebut sebagai mesias. Dari beberapa tokoh tersebut satu yang menjadi concern mereka, adalah kebebasan. Ambil contoh misalnya gerakan pembebasan yang dilakukan oleh Gustavo Gutierrez. Dia menyerukan, kepada gereja terutama, untuk memiliki komitmen liberasi yang lebih konkrit, yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang paling hakiki, yaitu kebebasan bermartabat untuk kepenuhan diri di bidang sosial, politik dan ekonomi. Dari konsep itu muncul ide-ide pembebasan lainnya seperti pembebasan ala Dalit, yang mempersoalkan kasta di India, pembebasan ras di Amerika, pembebasan gender di Asia dan pembebasan gay di Eropa. Bagaimana dengan Indonesia?
Secara khusus saya ingin menyoroti hiruk pikuk pilkada DKI Jakarta. Mengapa Jakarta? Karena saya melihat pengaruh yang ditimbulkan besar sekali, bukan sekedar di Jakarta, tetapi meluas secara nasional. Semua balon kepala daerah saya kira mempunyai satu kesamaan visi, yaitu bagaimana membebaskan Jakarta dari kemiskinan dan menjadikan masyarakat Jakarta sejahtera. Untuk satu visi itu, mereka menggunakan cara dan strategi masing-masing. Agus – Sylvi bertekad menjadikan Jakarta untuk rakyat; Basuki- Djarot (Badja) memilih melanjutkan perbaikan penataan Jakarta di semua lini dan Anies - Uno menekankan agenda ekonomi kerakyatan.
Dengan semboyannya masing-masing mereka berusaha menampilkan citra bahwa merekalah pejuang kerakyatan. Agus - Sylvi berteriak, “Mari kita berjuang Jakarta untuk rakyat!” Atau Badja bersuara lantang, “Kita akan terus kerja, kerja dan kerja menata Jakarta”. Tidak kalah kerasnya, Anies – Uno berteriak tentang ekonomi kerakyatan. Hebat bukan! Namun sehebat apapun slogan mereka, jika tidak diimbangi dengan pendidikan politik yang memadai, hanya akan sekedar menjadi retorika belaka. Misalnya, mampukah slogan ketiga balon kepala daerah DKI itu mengubah mind-set publik yang sudah terlanjur “cinta” dengan politik uang?
Tidak bermaksud memperdebatkan ketiganya, yang terpenting adalah bagaimana rakyat menikmati hasilnya, karena bidang ekonomi, khususnya yang langsung menyangkut kesejahteraan rakyat, adalah bidang yang sangat krusial di mata rakyat. Rakyat yang selama ini menjadi alasan mendongkrak perolehan suara hanya menjadi jargon, yang dilupakan begitu pemilu usai. Tragisnya, tidak ada sangsi apapun bagi pelanggar janji! Sejak jaman dahulu isu ekonomi kerakyatan masih sekedar alat politik dan bukan tujuan politik. Karena hanya sebagai alat, kalau tujuan sudah tercapai, alat boleh dibuang, atau paling tidak disimpan untuk digunakan lagi lima tahun di depan. Ekonomi kerakyatan, tetapi jika tidak benar-benar untuk rakyat hanya disebut ekonomi kerakyat-rakyatan.
Lantas pengharapan mesianis seperti apakah yang diharapkan? Apakah sekedar dengan terciptanya masyarakat madani seperti yang dirindukan selama ini akan menyelesaikan persoalan? Kalau memang benar bahwa masyarakat merindukan tatanan kehidupan yang lebih baik, akankah kerinduan ini terwujud? Apakah ini hanya sekedar ilusi atau utopia? Daftar pertanyaan ini dapat kita perpanjang sepanjang kompleksitas permasalahan yang dihadapi warga Jakarta.Barangkali menarik untuk melihat kembali apa yang ditegaskan oleh Kovenan Lausanne (1974) tentang masalah ini:
Kami menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Hakim atas semua manusia. Karena itu, kita harus berbagi kepedulian-Nya terhadap keadilan dan rekonsiliasi di seluruh masyarakat manusia dan terhadap pembebasan manusia dari segala jenis penindasan. Karena umat manusia dijadikan menurut gambar Allah, setiap orang – tidak peduli ras, agama, warna kulit, budaya, kelas, jenis kelamin atau usia – memiliki martabat yang tertanam di dalam dirinya, maka dia harus dihormati dan dilayani, bukan dieksploitasi.
Penegasan Kovenan Lausanne ini saya kira menyiratkan sebuah diktum soteriologis (penyelamatan), yaitu kekuasaan Tuhan atas seluruh kosmos, dalam segala wilayah dan kerajaan (negara), baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Bukan dalam rangka membuka polemik tentang istilah demokrasi, tetapi saya kira manusia – dalam konteks tulisan ini adalah rakyat – tidak boleh dipandang sebagai hal yang utama, sehingga Tuhan hanya diseret masuk ke dunia politik semata-mata untuk menolong manusia yang kesusahan. Namun sebaliknya, Tuhan harus menyala di hadapan setiap bangsa karena semua bangsa adalah milik-Nya dan hanya menyembah kepada-Nya.
Oleh karena itu ketika manusia jatuh tercerai-berai karena dosa, ketika dosa memisahkan dan mencabik-cabik umat manusia, dan ketika dosa menyatakan dirinya dalam segala tingkah laku yang menciderai kebaikan Tuhan, keagungan Tuhan menuntut agar hal-hal yang mengerikan tersebut dikendalikan, dikontrol, agar ketertiban dan tatanan ilahi dipulihkan. Dalam kerangka inilah Tuhan menetapkan adanya penguasa (pemerintah). Dengan demikian maka pemerintah adalah alat anugerah umum untuk menghambat segala kebebasan liar dan tindak kekerasan, dan untuk melindungi yang baik dari yang jahat. Tuhan melalui pemerintah berbela rasa terhadap kaum lemah.
Namun tugas pemerintah lebih dari itu. Di samping tugas-tugas seperti tersebut di atas, pemerintah diangkat oleh Tuhan sebagai hamba-Nya, supaya ia dapat memelihara dunia cipataan Tuhan dari kehancuran akibat nafsu jahat manusia. Kejahatan menyerang dan berusaha menggagalkan pekerjaan baik yang tengah dilakukan Tuhan lewat pemerintah. Rencana kebaikan Tuhan, keadilan Tuhan dan kehormatan sebagai Pencipta, Pembentuk dan Pembangun yang tertinggi tengah diobok-obok oleh mereka yang terhasut oleh nafsu jahat.
Oleh karena itu semua yang disebut pemerintah – mulai tingkat terendah sampai tertinggi, tidak terkecuali pemerintah DKI Jakarta – harus memerintah dengan dan oleh anugerah Tuhan semata, tegas membela yang lemah, terbuka, tidak munafik, berani karena benar, siap melawan arus dan segala bentuk konspirasi jahat dan yang paling ekstrim, siap mati demi rakyat yang dipimpinnya. Pemeritah yang demikian inilah yang layak dipilih dan didukung oleh warga Jakarta. Dalam konteks pilkada DKI Jakarta, saya percaya masyarakat Jakarta dapat melihat siapa di antara ketiga balon kepala daerah yang saat ini sedang ‘bertarung’ yang memiliki kriteria tersebut.
Penutup
Saya bukan orang Jakarta dan awam dalam politik maupun ekonomi kerakyatan. Saya rindu Jakarta dipimpin oleh orang yang tepat, tidak terkontaminasi oleh nafsu serakah dan haus sanjungan. Barangkali kata bijak yang patut disampaikan kepada siapapun yang nantinya terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah cintailah rakyat seolah tak pernah dikecewakan; bekerjalah seolah tak memerlukan uang dan gaji atau fasilitas lainnya; berpolitiklah seolah tak lagi punya kepentingan dan memimpinlah seolah tak lagi memerlukan sebuah kekuasaan. Maka engkau akan mencerahkan banyak orang untuk mencapai kebebasan dan menjadi inspirasi bagi hidupnya nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H