Idul Fithri 1444 H telah berlalu, namun tetapmenyisakan cerita dan polemik  klasik.
Salah satu polemik  mencolok  yang sering terjadi  dalam konteks beragama di Indonesia adalah soal penentuan penanggalan hijriah yang berhubungan dengan awal penentuan puasa dan 1 syawal.
Sistem penanggalan hijriah memang berbeda dengan penanggalan masehi yang mengacu pada sistem perputaran matahari, karena itu disebut taun syamsiah. Sedangkan sistem penanggalan tahun hijriah mengacu kepada sistem perputaran atau siklus bulan ,maka sering disebut tahun qomariah.Â
Rotasi bulan mengelilingi bumi memerlukan waktu sekitar 27 hari pada orbitnya. Sedangkan untuk pergantian bulan baru memerlukan waktu 29,5 hari. Maka dalam penanggalan hijriah jumlah satu bulan berada pada kisaran 29 hingga 30 hari.
Begitu krusialnya eksistensi bulan baru, hal inilah yang menjadi subyek  perbedaan metodologi dalam menentukan awal bulan baruyang sering disebut dengan istilah hilal
Ada dua ormas besar di Indonesia yang memang memiliki perbedaan metode penentuan hilal. Ada yang mengacu kepada metode ru'yat  dan ada yang berdasarkan hisab.
1. Ru'yat.
Secara etimologi kata ru'yat berasal dari akar kata  ra'a-yaro-ru'yatan yang jika diartikan adalah melihat,memandang dengan  mata. Apa yang dilihat? Tidak lai adalah wujudul hilal atau keberadaan bulan kecil diatas ufuk yang menandai bulan baru.  Para pakar astronomi mengatakan jika posisi hilal yang aman  dan memenuhi kriteria harus lah berada pada posisi 3  derajat di atas ufuk.  Kenapa harus 3 derajat? Karena menurut para ahli  kekuatan cahaya bulan  yang masih di bawah 3 derajat akan kalah oleh cahaya mega (syafaq) sehingga kemungkinan sulit di amati.
Kelompok yang berpegang teguh dengan metode pengamatan hilal  (ru'yatul hilal) dalam menentukan awal puasa dan akhir puasa meurujuk kepada Alquran Surat Albaqarah :185 ,"  Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya)  di bulan itu, maka hendaklah ia  berpuasa di bulan itu.
Kemudian diperkuat dengan hadist rasulullah SAW yang berbunyi" Apabila bulan telah masuk ke dua puluh sembilan malam (dari bulan Syaban),maka jangan lah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung,sempurnakanlah bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. (HR Bukhari No 1907 dan Muslim no 1080 dari Abdullah bin Umar)
Orang-orang yang diyakini beritanya tentang  melihat hilal adalah orang yang dapat dipercaya .Menurut para ulama,jika seorang yang adl atau shalih melihat hilal,majka beritanya diterima.
Maka dalam konteks kekinian, setiap orang atau kelompok bertindak ditunjuk sebagai pemantau hilal maka melewati proses sumpah. Hal ini  karena informasi tentang kemunculan hilal berhubungan dengan pengambilan keputusan bagi umat dalam melaksanakan ibadah.
 Lalu timbul pertanyaan, apabila seseorang atau kelompok organisasi melihat hilal,  namun persaksiannya tersebut ditolak olah amirul mu'minin (penguasa setempat) apa yang melihat itu wajib berpuasa atau berbuka?
Terdapat dua argumentasi dalam hal ini, pendapat yang pertama, ia yang melihat hilal puasa wajib berpuasa dan jika melihat hilal  syawal ia wajib berbuka dan ber hari raya, dengan catatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak  sebarkan ke khalayak ramai di negeri tersebut agar tidak menyelisihi dan timbul polemik.  Pendapat ini yang diambil oleh Imam Syafi'i ,satu dari dua pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Hazm. Dalilnya sebagaiamna tercantum dalam Alquran Surat Albaqarah ayat 185 yang tadi disebutkan.
Pendapat yang kedua adalah,orang tersebut yang melihat hilal tidak boleh berpuasa atau berbuka beradasrakn ru'yat yang dilihatnya. Dia harus berpuasa atau berpuka atau berpuasa bersama orang-orang di negeri dia tinggalnya. Pendapat terakhir ini merujuk kepada  HR. AtTirmidizi no 697 yang berbunyi, "Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri,dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha ." Tirmidzi menyebut hadist ini hasan ghorib, sedangkan Syaikh Al Albani meyebut hadist ini shahih.
Para ulama menafsirkan pendapat kedua bahwa puasa dan hari raya hendaklah dilakukan bersama jamaah yaitu yang dipimpin oleh pemerintah  muslim dan pemerintah.
Din Indonesia mengenai kategori tingginya hilal sudah terdapat konsesus yang dipakai oleh empat negara sahabat yaitu MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia, dan Singapura) di mana batas tinggi hilal adalah 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
2. Hisab
Secara etimologi berasal dari hasaba-yuhasibu-hisaban,  yang artinya menghitung atau perhitungan.  Secara istilah adalah  suatu mketode yang digunakan dalam ilmu falak atau astronomi untuk megukur posisi matahari atau bulan terhadap bumi. Posisi matahari dugunakan umat Islam dalah hal perhitungan waktu shalat, ssedangkan posisi bulan untuk mengetahui  posisi terjadinya hilal atau periode bulan baru.
Salah satu ormas besar yang menggunakan metode hisab beranggapan bahwa pentuan awal puasa dan hari raya dengan hisab dinilai akurat dan cepat. Dihitung berdasarkan hitungan-hitungan pergerakan bulan. Maka metode hisab ini secara esensi tidak perlu benar-benar melihat hilal secara langsung, cukup dihitung berdasarkan perhitungan matematis dan atronomis.
Maka, dalam pemahaman pengguna metode hisab pengamatan hilal langsung menjadi tidak terlalu penting tampak atau tidak. Bahkan ketika hilal di atas ufuk no koma sekian derajat saja dianggap sudah memasuki kriteria.
Dua kelompok masyarakat bertahun-tahun terjebak dalam dikotomi ini,sehingga terkadang menghilangkan subtansi dari maksud pengambilan keputusan itu.
Beberapa pendapat ulama mengatakan bahwa jika terdapat perselisihan pendapat mengenai hal tersebut maka dikembalikan kepada  ulil amri di negeri tempat tinggalnya tersebut.  Jika pemerintah telah menetapkan suatu keputusan maka  hilanglah perselisihan dan umat wajib mengikuti pendapatnya.
Maka di sini tidak ada dikotomi mana yang utama, ru'yat atu hisab. Keduanya adalah saling melengkapi, seperti dua sisi mata uang. Perbedaan-perbedaan hanyalah dari sisi kriteria penetapan saja. Semoga kita memahami substansi dari persamaan keduanya bukan membenturkan perbedaanya. Dan ke depan umat akan semakin cerdas memahami hal ini.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI