Mohon tunggu...
Bagus Hermanto
Bagus Hermanto Mohon Tunggu... Penulis - Assistant Lecturer and Researcher on Constitutional Law

He actively serves as Legal Researcher and conducting researches in Constitutional Law, Legislation, Comparative Constitutional Law, Human Rights Law, Administrative Procedural Law, and Constitutional Procedural Law. He also active as the speaker for several national or international scientific events. He is also acting as the writer on several National Accredited Journal and International Journal (also International Reputable Journal) concerning Constitutional Law, Legislation, Comparative Constitutional Law, Human Rights Law, Administrative Procedural Law, and Constitutional Procedural Law. Based on Google Scholar as the end of July 2022, he has 74 publications including National Accredited Journals, and International Reputable Journals (indexed by Scopus Elsevier, Index Copernicus, etc.), and he also publishing more than 20 National Research concerning Constitutional Law, Comparative Constitutional Law, Legislation, Public Policy, Administrative Procedural Law, and Human Rights Law. See for further details: Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=hrGYoawAAAAJ&hl=en Scopus ID: https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=57215833181 ORCID: https://orcid.org/0000-0002-0220-5574 Academia: https://universitasudayana.academia.edu/BagusHermanto

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi: Meneguhkan Kembali Jalan Ijtihad dan Denyut Konstitusionalisme

18 Juli 2023   16:23 Diperbarui: 18 Juli 2023   16:27 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Justice has nothing to do with what goes on in a courtroom; justice is what comes out of a courtroom

Clarence Darrow (1857-1938, famous American lawyer)

Adagium yang dikemukakan Clarence Darrow tersebut adalah hakikat mendasar bagi tegaknya hukum, yakni terjaminnya perwujudan keadilan. Tentu dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi didasarkan pada ide keadilan yang hendak dicapai dalam basis konstitusi suatu negara, terlebih dalam tatanan negara hukum demokratis dalam perwujudan prinsip konstitusionalisme. 

Demikian halnya di Indonesia, dengan dinamika paska reformasi pada 1998 silam, mendorong terbentuknya Mahkamah Konstitusi dibentuk pada 13 Agustus 2003 sebagai sebuah lembaga peradilan yang modern dan memastikan dirinya, sebagaimana disebut oleh Marcus Mietzner dalam tulisannya “Political conflict resolution and democratic consolidation in Indonesia: The role of the constitutional court” diterbitkan pada Journal of East Asian Studies (vol. 10, iss. 3, hal. 397-424, September 2010), mengakui bahwa Mahkamah Konstitusi telah memainkan peran sentral dengan memerankan dirinya sebagai penjaga konstitusi dan ideologi, melindungi hak konstitusional warga negara, maupun penguji undang-undang dengan batu uji tafsir konstitusi. 

Namun demikian, perkembangan dalam kurun dua dekade terakhir, peranan Mahkamah Konstitusi berkontribusi terhadap suatu perkembangan yang tidak terjadi pada era sebelumnya terhadap keadilan substantif dan itjihad menjaga denyut konstitusionalisme paska reformasi, sebagaimana diakui oleh Simon Butt dan Prayekti Murharjanti, dalam tulisannya “What constitutes compliance? Legislative responses to Constitutional Court decisions in Indonesia” diterbitkan pada International Journal of Constitutional Law (vol. 20, iss. 1, hal. 428-453, Januari 2022). Dinamika yang terjadi dalam kurun dua dekade terakhir mendorong Mahkamah Konstitusi untuk perlu mendapat masukan publik kaitannya dengan pembenahan diri kedepan sebagai peradilan konstitusi yang modern dan ber-ikhtiar terus mengumandangkan semangat keadilan substantif dan nilai-nilai konstitusi dalam putusannya, namun juga diperhadapkan dengan tantangan yang nyata bahkan beberapa catatan hitam yang menjadi antitesa terhadap kemajuan signifikan yang dicapai dalam tatanan ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana diuraikan berikut ini:

Pertama, batasan terhadap wewenang Mahkamah Konstitusi dan diskursus perluasan wewenang Mahkamah Konstitusi. 

Dalam kurun dua dekade terakhir, merujuk pada Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 (2010, Buku I), bahwa eksistensi Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi dengan wewenang yang terkait pengujian undang-undang terhadap konstitusi, disertai dengan perdebatan variannya saat pembahasan oleh PAH I BP MPR maupun PAH III BP MPR (kurun waktu 1999-2001), hingga disepakati adanya wewenang dalam sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara, pembubaran partai politik, kewajiban memberi pendapat dalam impeachment, dan memutus dalam perselisihan hasil pemilihan umum. 

Perkembangan dan dinamika dilakukan baik dalam internal Mahkamah dengan menetapkan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah menjadi wewenang yang dialihkan dari Mahkamah Agung pada Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya sejak 2008 silam. Secara eksternal, dengan berbagai kajian akademis dari sejumlah peneliti maupun akademisi terkait perlunya wewenang lainnya semisal constitutional complaint, perluasan pengujian undang-undang, perluasan wewenang dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara,  constitutional question, pengesahan ratifikasi perjanjian internasional, maupun pengujian terhadap hasil amandemen konstitusi sebagaimana dilakukan di berbagai negara dengan Mahkamah Konstitusinya. Diskursus yang berkembang ini mendorong pentingnya penguatan institusi Mahkamah Konstitusi baik secara selektif maupun secara menyeluruh.

Kedua, pengembangan peradilan modern dalam praktik Mahkamah Konstitusi. 

Berdasarkan dinamika peradilan di Indonesia, harus diakui Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga peradilan yang kali pertama dalam sejarah peradilan Indonesia menggulirkan peran aktif sebagai peradilan modern, dengan diawali keluarnya PMK Nomor 18 Tahun 2009 dan PMK Nomor 1 Tahun 2021 yang mengakomodir perkembangan peradilan jarak jauh, basis video conference dengan menggandeng institusi mitra Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat mewujudkan trilogi peradilan di Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi menjadi yang terdepan dalam mewujudkan reformasi birokrasi melalui pengajuan perkara, tracking perkara, arsip putusan yang berbasis ICT menjadi role model dalam pengembangan peradilan modern di Indonesia, termasuk diakomodirnya whistleblowing berbasis ICT dan saat ini juga dengan pengembangan manajemen talenta dikalangan internal menjadikan Mahkamah Konstitusi mampu menjadi peradilan yang adaptif dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis.

Ketiga, eksistensi amicus curiae dalam pengembangan Mahkamah Konstitusi. 

Terbentuknya Mahkamah Konstitusi dalam pergeseran ketatanegaraan paska reformasi dan perubahan UUD 1945 mendorong munculnya praktik baru dalam dunia peradilan di Indonesia, hal ini tampak dengan memberikan ruang keterlibatan yang luas bagi court watchdog yakni dengan menggandeng amicus curiae atau the friend of court pada jejaring institusi perguruan tinggi serta dibentuknya asosiasi pengajar dalam wadah APHAMK yang juga sejatinya dibentuk bukan tanpa dasar, namun betul-betul ditujukan untuk membangun kemaslahatan dan menjadi mitra akademis dalam menjawab perkembangan dinamis dalam praktik peradilan Mahkamah Konstitusi. 

Dalam perkembangan terakhir, gencarnya pelibatan Hakim Konstitusi dan seluruh peneliti dilingkungan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi untuk terlibat dalam budaya akademik dan kolaborasi akademik. Tentunya hal-hal ini, refleksi positif dalam rangka menguatkan partisipasi publik kemajuan dunia peradilan, termasuk dalam meneguhkan dan menguatkan pondasi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan konstitusi.

Keempat, perkembangan peradilan etik. 

Harus diakui bahwa dalam menjalankan peran, seluruh lembaga negara yang ada tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi diperhadapkan dengan persoalan etik profesi yang disebut oleh Ketua Mahkamah Konstitusi-Hakim Konstitusi Periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, dengan menjamurnya lembaga negara menjadikan peluang bagi praktik kelembagaan yang koruptif, bahkan mencakup KKN tidak terhindarkan, sehingga amat penting untuk dibentuk suatu mekanisme dan peradilan yang fokus pada aspek penegakan etik profesi pada lembaga negara yang ada. 

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi dengan Sapta Hutama Karsa yang diberlakukan paska PMK Nomor 9/PMK/2006 Tahun 2006 silam, mendorong pentingnya Hakim Konstitusi maupun seluruh penyelenggara dalam Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi untuk menjunjung tinggi integritas dan menjalankan kode etik dengan sebaik-baiknya. Noda hitam yang terjadi dengan kasus korupsi Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi-Hakim Konstitusi Moh. Akil Mochtar (pada Oktober 2013) dan Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (pada Januari 2017), serta pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat (pada awal 2018), menjadi catatan penting untuk menata jalan Mahkamah Konstitusi untuk konsisten dengan penegakan etik, dalam integritasnya. 

Perdebatan mengemuka saat Putusan MK 5/PUU-IV/2006 terkait soal batasan wewenang Komisi Yudisial dalam mengawasi Hakim, yakni dibatasi oleh Mahkamah hanya untuk mengawasi Hakim Agung, tidak Hakim Konstitusi. Kemudian, munculnya Perppu Nomor 1 Tahun 2003 yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 dan kemudian dibatalkan dengan Putusan MK 1-2/PUU-XII/2014 terkait pembentukan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/MKMK. Akhirnya, dengan UU Nomor 7 Tahun 2020, Putusan MK 56/PUU-XX/2022  dan PMK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK, mendorong penataan dan penguatan bagi institusi penegakan dan mekanisme internal dalam penegakan etik profesi Hakim Konstitusi.

Kelima, hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lainnya. 

Aspek ini menjadi krusial terlebih hubungan kelembagaan ini akan bersinggungan dengan legal compliance terhadap Putusan MK, dinamika judicial restraint vis-à-vis judicial activism pada Mahkamah Konstitusi, bahkan pergeseran paradigma Mahkamah dalam hal ini perubahan sikap/tafsir dalam beberapa periode kepemimpinan. 

Secara faktual, masih terdapat persoalan utama yakni terkait rekruitmen Hakim Konstitusi, kendatipun sejumlah penelitian juga telah mengungkap hal ini, akar persoalan tampak secara politik hubungan Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusulnya, baik presiden, Mahkamah Agung maupun DPR/Parlemen. Hubungan tersebut dapat merenggang dan menguat bergantung pada seberapa besar legal compliance terhadap substansi Putusan MK, demikian halnya, keberanian sikap Hakim Konstitusi dalam mengambil sikap bahwa pengujian norma tersebut sebagai open legal policy dengan judicial restraint-nya atau mengambil sikap demi tegaknya keadilan substantif dan nilai maupun norma konstitusi dengan judicial activism-nya. 

Bahkan dalam perkembangan terakhir, isu pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dan ditetapkannya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada November 2022 silam, maupun dalam sejumlah Putusan MK yang hendak diambil terdapat sikap hendak menolak atau bahkan memberi ancaman terhadap kewibawaan Hakim Konstitusi maupun institusi Mahkamah Konstitusi oleh DPR/Parlemen, Mahkamah Agung ataupun Pemerintah/Presiden dalam beberapa tahun terakhir, menjadi kritik dan bukti terhadap sangat kritisnya dan seriusnya implikasi hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga pengusul dapat berakibat terhadap kewibawaan Mahkamah dan Hakim Konstitusi, untuk tetap bersedia dalam komitmen meneguhkan keadilan susbtantif.

Keenam, penataan Hukum Acara. 

Dalam sejumlah perdebatan pada kurun waktu satu dekade Mahkamah Konstitusi, tampak diskursus penataan hukum acara mengemuka, utamanya dengan isu menempatkan pengaturannya hanya dalam wujud PMK atau dalam Undang-undang tersendiri seperti halnya KUHAP, KUHPdt, dan Hukum Administrasi (meski tidak terkodifikasi dalam sejumlah undang-undang). Peliknya persoalan hukum acara ini juga telah diupayakan dengan perubahan utamanya terhadap PMK terkait penanganan perselisihan hasil Pemilihan Umum maupun Kepala Daerah, dan juga terakhir terhadap PMK pengujian undang-undang telah diupayakan perbaikan dan adaptasi dengan perkembangan zaman dan disrupsi paska Covid-19.

Ketujuh, Perkembangan jenis Putusan Mahkamah Konstitusi. 

Dinamika Mahkamah Konstitusi dalam dua dekade terakhir juga tampak dengan perkembangan untuk mewujudkan keadilan substantif (yang disebut oleh Sekretaris Jenderal MK Periode 2003-2015, Janedjri M. Gaffar – sebagai upaya menjaga konstitusionalisme sembari memastikan keadilan substantif terpenuhi), Mahkamah Konstitusi tidak berpaku hanya terhadap isu konstitusional tidaknya suatu norma, namun juga dalam sejumlah Putusan MK tampak adanya putusan dalam pengujian perundang-undangan yang menyangkut ultra petita (melebihi dari yang dimohonkan), positive legislator (merumuskan norma baru dalam Putusan MK) yang acapkali dibenturkan vis-à-vis dengan marwah asli Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, maupun Putusan MK yang conditional constitutional/konstitusional bersyarat, conditional unconstitutional/inkonstitusional bersyarat, bahkan terdapat penundaan keberlakuan Putusan MK (dalam pengujian UU APBN terkait anggaran pendidikan (antara periode 2005 hingga 2009), dan dalam sejumlah pengujian pada masa pandemi Covid-19 (antara 2020 hingga 2022 silam).

Dengan ketujuh aspek ini, menjadi catatan berharga untuk kedepan Mahkamah Konstitusi dapat secara konsisten terus memastikan itjihad dalam perwujudan keadilan substantif dan tiada lelah menjaga konstitusi dalam relnya. Utamanya dalam memastikan derap langkah Mahkamah Konstitusi dalam menatap masa depan dan membangun peradaban ketatanegaraan Indonesia kedepan.

Keywords: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; Keadilan Substantif; Itjihad; Penguatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun