Mohon tunggu...
Anhar Azzumta
Anhar Azzumta Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, pelajar, pebisnis

Menebar manfaat melalui tulisan Menabur kebaikan di setiap kata yang tersampaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Pelita Rohani dan Ilmiah Di Tengah Wabah

16 Juni 2020   04:43 Diperbarui: 16 Juni 2020   04:42 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wahai guruku, bagaimana cara agar kita tetap bertawakkal dengan tenang dan tetap berusaha dalam mencegah  wabah (corona)?". Tanya Habib Ali Al-Jufri, tatkala menceritakan kisahnya ketika bertanya kepada Sang guru, Habib Umar Bin Hafidz. Jawaban yang diberikan ulama asal Yaman itu sangat menakjubkan  yang disertai dengan analogi yang brilian.

"Seperti tanaman yang ditabur benih, mengairinya, lalu merawatnya, namun kepastian akan tumbuh buah dari tanaman itu tetap kita pasrahkan kepada Allah". Jawab Habib Umar bin hafidz tanpa ragu. Percakapan ini seperti yang dikisahkan dalam salah satu tweet di akun twitter Habib Ali Al-Jufri. Demikian adalah secuplik percakapan ringan namun bermakna dari dua ulama dan tokoh kenamaan Timur Tengah. Habib Umar memberikan resep ketenangan jiwa dengan cara memadukan ikhtiar dan tawakkal yang maksimal agar diberikan ketenangan hati di tengah gentingnya wabah.

Sekelumit kisah diatas adalah potret ulama dalam menyebarkan narasi kebaikan dan optimisme di tengah wabah yang melanda.Ulama adalah suluh rohani umat yang sangat vital peranannya dari zaman ke zaman. Kehadiran bencana global seperti pandemi penyakit covid-19 telah menyebabkan umat mengalami gegar pemahaman dan kepanikan.

Peran Paramedis dan para ahli kesehatan sangat krusial untuk kembali menormalkan "suhu" dunia. Namun peran ilmiah dalam dunia medis tidak bisa dikatakan cukup untuk menghentikan lajunya wabah. Peran Rohaniawan juga sangat penting karena menyentuh aspek perasaan dan kepercayaan yang menjadi motivasi terkuat seseorang untuk melakukan sebuah tindakan.

Namun, banyak sekali masalah yang belum disentuh oleh ulama sehingga pandangan masyarakat terhadap tragedi covid-19 menjadi buta sebelah. Masih banyak kalangan beragama yang tidak bisa memadukan agama dengan sains yang harusnya berjalan beriringan. Banyak masyarakat yang jiwa kerohaniannya tidak dibalut dengan ikhtiar ilmiah sehingga berani melawan penyakit covid-19 tanpa usaha ilmiah dengan dalih "Jangan jadi orang yang lebih takut Korona daripada takut Allah". Ungkapan tersebut memang benar ucapannya namun bengkok pemahamannya. Contohnya tatkala diadakan rencana untuk menggelar Ijtima Ulama di Gowa. Alih alih mengikuti fatwa MUI, justru massa semakin bersikeras untuk berkumpul hingga menyentuh angka ribuan orang.

Perseteruan antar umat akan terus berlangsung selama para ulama belum bersatu. Fenomena ini juga terjadi pada pemeluk agama lain. Sebab itulah ulama tidak boleh sembarangan dalam bertindak karena dirinya adalah pemimpin arus pergerakan rohani yang paling vital.Sebuah kejadian di Iran bisa dijanjikan cerminan. Saat itu ,pada bulan maret ,puluhan ribu jemaah Syi'ah malah berkumpul  untuk memperingati Kematian Imam Besar Musa Al-Kazim, salah seorang tokoh Syiah yang wafat pada 799 Masehi. Puluhan ribu jemaah tersebut berkumpul setelah dikomandoi oleh seorang ulama bernama Mustafa Sadr, setelah menentang himbauan ulama lainnya.

Sains dan agama itu bukan sesuatu yang bertentangan. Saat MUI mengeluarkan edaran tatacara beribadah di tengah menyebarnya virus, banyak pengguna media sosial  Indonesia yang bebal bahkan menentangnya sembari mengolok-olok fatwa MUI yang membolehkan melaksanakan Sholat Jum'at serta Sholat berjamaah di rumah. Alhasil banyak debat tak berujung yang malah memperkeruh keadan dan suasana.

Hal tersebut tak ayal menjadi pekerjaan rumah  bersama dalam memajukan pola pikir masyarakat Islam. Ini adalah sekelumit bukti bahwa ummat Islam di Indonesia belum memiliki ilmu yang memadai untuk menginterpretasi segala kejadian dengan sudut pandang objektif dan harmonis. Inilah lahan basah yang masih harus digarap dengan serius oleh para Ulama.

Para ulama harus mengeluarkan statement yang sehat. Bilamana yang keluar dari lisan, tulisan, maupun tindakan Ulama adalah sesuatu yang diluar kapasitasnya, maka hal ini sangat memprihatinkan. Ulama memang sangat mumpuni jika menyampaikan hal yang berkaitan dengan kalam tuhan serta kerohanian. Namun, jika ingin mengeluarkan maklumat yang menyentuh ranah medis, maka perlu ada cek dan ricek serta konsultasi yang intens dengan dokter dan ahli kesehatan. Jika tidak, maka himbauan yang berisi tips-tips kesehatan tersebut diragukan validitasnya, meskipun keluar dari lisan seorang ulama. Karena, wewenang mengeluarkan suatu pernyataan ilmiah harus dilakukan oleh orang yang mumpuni dalam bidang tersebut.

Setiap pihak harus melakukan perannya dan juga harus memberikan peran ke pihak yang tepat. Sinergi sangat diperlukan di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini. Sinergi yang harmonis akan tercipta jikalau setiap orang menghargai spesialisasi bidang yang dimiliki orang lain. Begitupun Ulama dengan umat serta ulil Amri. Semua pihak perlu bergandengan dalam mengarungi wabah ini ,agar bisa melihat segala musibah dan tragedi dari sudut pandang yang khusus dan berbeda.

Sisi yang wajib kita taati dan apresiasi dari para Ulama kita adalah mereka telah memberikan himbauan dan fatwa serta ijtihad yang telah menjadi panduan dalam berperilaku di tengah wabah covid-19 . Dewan Ulama Senior Al-Azhar (hay'at kibarul Ulama Al-Azhar) di bawah pimpinan Grand Syeikh Prof.Dr. Ahmed Al-Tayyib, telah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan penyebaran covid-19 pada jum'at ,3 April 2020. Fatwa tersebut berisi hal hal yang berkaitan dengan ibadah dan kegiatan agama di tengah pandemi. Seperti hukum mengumpulkan orang banyak untuk berdo'a, juga mengatur hukum zakat di tengah pandemi Korona.

Shalat Idul Fitri berjamaaah sehabis bulan Ramadhan pun ditiadakan. Sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Agama Republik Indonesia No. 6 Tahun 2020. Semua aturan dadakan itu adalah ijtihad dan usaha ulama yang perlu diapresiasi, karena Para Ulama dan Para Pemangku otoritas agama telah memberikan arahan yang seirama dengan himbauan ilmiah serta memberikan komando gerakan fisik dan rohani yang tepat di tengah jalannya wabah.

Tentu wabah ini belum bisa diprediksi secara pasti kapan akan berakhir. Namun hal ini tidak selamanya menjadi mimpi buruk selagi Para ulama masih mampu memberikan imunitas iman dan moral kepada umat, serta para tenaga medis masih gencar mensosialisasikan tatacara menjaga imunitas tubuh dengan benar. Meminjam analogi Habib Umar, usaha manusia dalam menghindari penyakit covid-19 adalah seperti menabur benih lalu menyiraminya, kita artikan saja analogi ini dalam fenomena yang sedang kita obrolkan.           

Para penanam benih adalah semua pihak yang sedang terdampak oleh penyakit covid-19. Ulama menaburkan benih iman dan takwa, sedangkan pihak lainnya menjadi penabur benih ikhtiar dan usaha yang maksimal. Sebagai penutup, saya akan menyertakan kutipan pernyataan ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama ,Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulloh), yang berbunyi "Ulama adalah pemimpin rohani umat. Maka itu hendaklah ulama membangun rohani umat atau rakyat, termasuk pejabat yang mana sekalipun, agar mereka menjadi mukmin sejati, bertakwa kepada Allah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun