Mohon tunggu...
Azzatunnabila
Azzatunnabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2019, Universitas Negeri Jakarta

Diri Sendiri yang membuatnya sulit

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kurikulum Baru Lagi Pada Pendidikan Indonesia

27 Desember 2021   12:17 Diperbarui: 30 Desember 2021   07:27 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wirda Azzatunnabila (1405619072)

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta

Indonesia sudah sering melakukan pergantian kurikulum, bahkan terdapat istilah 'ganti pemerintah, ganti kurikulum'. Namun sejak Menteri Pendidikan dipegang oleh Nadiem Makarim, baru kali ini beliau memutuskan untuk mengganti kurikulum dari pemerintah sebelumnya, yaitu kurikulum 2013 menjadi kurikulum paradigma baru atau kurikulum 2022. 

Padahal sejak covid melanda Indonesia dua tahun silam beliau menegaskan untuk tidak ada kurikulum baru, hanya penerapan kurikulum darurat saja karena perubahan sistem dari offline ke online.

Kurikulum Paradigma Baru adalah kurikulum yang disebut menjadi penyempurna dari kurikulum 2013 dan dicanangkan akan diterapkan pada bulan Maret 2022. Lalu apa bedanya Paradigma Baru dengan kurikulum sebelumnya? Setidaknya ada 2 poin perbedaan dari kurikulum sebelumnya, yaitu:

  1. Jumlah jam pelajaran akan dibuat pertahun, dimana pada kurikulum ini guru dan sekolah bebas untuk menetapkan jam pembelajaran, contohnya pada mata pelajaran matematika akan dihabiskan pada semester ganjil maka pada semester genap tidak ada pelajaran matematika lagi selama jam pembelajaran sudah terpenuhi selama setahun.
  2. Tidak ada pembagian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Pada kurikulum sebelumnya peserta didik sudah memutuskan untuk memilih jurusan pada kelas 10, tetapi pada kurikulum baru ini pada kelas 10, siswa tetap mempelajari mata pelajaran seperti saat SMP. Hal yang baru adalah siswa bisa mengambil mata pelajaran sesuai dengan profesi apa yang akan diimpikan, tetapi tetap ada mata pelajaran wajib yang harus diambil oleh siswa, seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Sejarah, Bahasa Indonesia, Penjas, Matematika, Bahasa Inggris, dan Seni Budaya.

Kurikulum yang sudah dibuat oleh pemerintah akan bersifat opsional, sehingga hanya sekolah-sekolah yang berminat untuk menerapkan kurikulum baru ini untuk melakukan transformasi pembelajaran. Sampai saat ini sekitar 2.500 sekolah sudah menggunakan kurikulum baru dan tergabung dalam Program Sekolah Penggerak.

Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Assesmen Pendidikan dari Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo, menjelaskan bahwa kurikulum ini akan lebih difokuskan pada pengembangan karkater dan kompetensi siswa, sehingga siswa akan lebih berorientasi pada profesi yang mereka dapat di masa depan.

Pada sisi guru, kurikulum ini diharapkan bisa menjadi salah satu cara agar pembelajaran bisa menjadi lebih dua arah karena di setiap mata pelajaran akan terdapat diskusi, kerja kelompok, sampai dengan proyek yang harus dihasilkan pada setiap mata pelajaran.

Pada jenjang SMA walaupun tidak ada penjurusan lagi dan siswa akan memilih kombinasi mata pelajaran untuk menunjang profesi mereka ke depan, tetapi tetap ada peran guru BK dan orang tua untuk memutuskan mata pelajaran yang sesuai dengan apa yang akan diambil. Hal ini bisa menjadi sisi positif dari pergantian kurikulum ini karena anak-anak bisa fokus apa yang menjadi minat mereka untuk menunjang karir mereka ke depannya.

Pergantian kurikulum 2022 ini menjadi banyak pertanyaan dari berbagai pihak, terutama pengamat pendidikan karena mereka mempertanyakan fungsi pergantian kurikulum, alih-alih terus meningkatkan kualitas guru Indonesia. Pada wawancara dengan CNN Indonesia, Rakhmat Hidayat sebagai pengamat pendidikan UNJ, berkata bahwa "Sosialisasi sangat dibutuhkan dalam menerapkan kurikulum baru".

Permasalahan ini yang lagi-lagi terjadi pada pergantian kurikulum di Indonesia karena kurangnya sosialsiasi oleh pemerintah yang akhirnya berdampak pada guru sebagai pelaksana kurikulum ini, sehingga ketidaksiapan guru dalam menerapkan kurikulum baru menjadi bumerang dalam pendidikan Indonesia. Karena 'uji coba' yang dilakukan pemerintah pada 2500 sekolah menjadikan siswa merasa bahwa mereka hanya kelinci percobaan oleh pemerintah dan membuat mereka harus beradaptasi lagi pada kurikulum baru.

Meskipun disampaikan oleh Nino bahwa data survey sekitar 8000 oleh guru menunjukkan hasil positif pada sekolah yang sudah menerapkan kurikulum baru ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak sekolah di daerah terpencil yang tidak mengerti penerapan kurikulum baru ini karena masih terbatasnya sarana dan prasarana di daerah mereka. Selain itu, kesiapan guru di daerah terpencil juga seharusnya bisa menjadi konsentrasi pemerintah untuk membangun sarpras yang dibutuhkan daripada terus memerus membangun hal-hal yang sudah baik dan hanya terpusat pada sekolah di kota.

Pembahasan mengenai kurikulum selalu menjadi pembahasan yang menarik karena istilah yang sering digunakan 'ganti pemerintah, ganti kurikulum'. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada pihak yang berkepentingan dalam produksi kurikulum. 

Henry Giroux melihat kurikulum hanya sebagai sebuah alat untuk kebutuhan siswa melalui seperangkat pengetahuan untuk memiliki berbagai kebutuhan pragmatis dan juga mengubah pendidikan yang awalnya produsen pengetahuan menjadi produsen tenaga kerja untuk kapitalis. 

Hal ini yang lagi-lagi diterapkan oleh kurikulum paradigma baru setelah sebelumnya ada program kampus merdeka, dimana peserta didik disiapkan untuk menjadi tenaga kerja yang siap dalam mendukung kebutuhan kapitalis.

Meskipun pemerintah membebaskan sekolah untuk menerapkan kurikulum baru ini, tetapi tidak bisa dipungkiri akan ada 'perlombaan' yang terjadi antar sekolah agar mereka bisa menggunakan kurikulum baru, padahal dari pihak guru sebagai pelaksana kurikulum belum siap dalam menerapkannya. 

Hal ini yang dijelaskan oleh Michael W. Apple bahwa keberadaan sekolah bisa menjadi representasi dominasi kultural karena adanya kelompok berkuasa karena sekolah yang sudah menerapkan kurikulum baru ini akan dianggap unggul oleh masyarakat dan lagi-lagi menimbulkan sekolah unggulan yang berusaha dihilangkan oleh pemerintah melalui sistem zonasi.

Walaupun pemerintah menjanjikan akan ada pelatihan-pelatihan yang bisa menunjang kesiapan sang guru, tetapi seharusnya pemerintah melakukan pemerataan pendidikan terlebih dahulu dari segi sarana prasana dan kesiapan guru sebagai pelaksana kurikulum. 

Sehingga guru tidak lagi terfokus pada pelatihan yang terus menerus dilakukan tetapi fokus pada bagaimana proses pembelajaran berlangsung dan output yang dihasilkan untuk peserta didik mereka.

Namun, sisi lainnya pada kurikulum ini siswa tidak lagi subjek yang hanya berpangku tangan dengan materi yang akan diajarkan oleh para guru, tetapi mereka akan mempunyai intelektual kritis melalui proyek atau karya tulis yang harus diselesaikan sesuai dengan minat mereka. 

Poin yang akan dijalankan oleh pemerintah juga dapat membuat peserta didik lebih memikirkan masa depan mereka ke depannya, sehingga lebih siap dalam berkembang di lingkungan masyarakat. 

Hal ini yang coba dikritik oleh Giroux bahwa peran guru seharusnya bukan lagi menjadi subjek, tetapi mengutamakan peserta didik untuk mengeksplor hal-hal yang menarik minatnya, sehingga tidak ada lagi dominasi di dalam kelas.

Setiap perubahan kurikulum pasti menimbulkan pro dan kontra di guru, orang tua, bahkan siswa itu sendiri. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan komunikasi kepada mereka harus dilakukan secara teratur sampai mereka sedikitnya paham perubahan kurikulum dan apa manfaat bagi pendidikan di Indonesia. 

Selain itu, perubahan kurikulum yang terus terjadi di Indonesia jika tidak dibarengi dengan kualitas guru sejatinya tidak akan berjalan dengan baik karena guru menjadi pihak yang merasakan langsung perubahan kurikulum ini. Jangan sampai guru malah disibukkan untuk belajar dalam memahami kurikulum baru daripada fokus terhadap proses pembelajaran.

Referensi:

Rakhmat Hidayat. 2016. Perspektif Sosiologi tentang Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 17 (2). 178 -- 188.

CNN Indonesia.  Siap-Siap 2022 Ganti Kurikulum. https://www.youtube.com/watch?v=J_xsc1UKgHs  (Diakses pada 27 Desember 2021)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun