Mohon tunggu...
Azzatunnabila
Azzatunnabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2019, Universitas Negeri Jakarta

Diri Sendiri yang membuatnya sulit

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kurikulum Baru Lagi Pada Pendidikan Indonesia

27 Desember 2021   12:17 Diperbarui: 30 Desember 2021   07:27 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun disampaikan oleh Nino bahwa data survey sekitar 8000 oleh guru menunjukkan hasil positif pada sekolah yang sudah menerapkan kurikulum baru ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak sekolah di daerah terpencil yang tidak mengerti penerapan kurikulum baru ini karena masih terbatasnya sarana dan prasarana di daerah mereka. Selain itu, kesiapan guru di daerah terpencil juga seharusnya bisa menjadi konsentrasi pemerintah untuk membangun sarpras yang dibutuhkan daripada terus memerus membangun hal-hal yang sudah baik dan hanya terpusat pada sekolah di kota.

Pembahasan mengenai kurikulum selalu menjadi pembahasan yang menarik karena istilah yang sering digunakan 'ganti pemerintah, ganti kurikulum'. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada pihak yang berkepentingan dalam produksi kurikulum. 

Henry Giroux melihat kurikulum hanya sebagai sebuah alat untuk kebutuhan siswa melalui seperangkat pengetahuan untuk memiliki berbagai kebutuhan pragmatis dan juga mengubah pendidikan yang awalnya produsen pengetahuan menjadi produsen tenaga kerja untuk kapitalis. 

Hal ini yang lagi-lagi diterapkan oleh kurikulum paradigma baru setelah sebelumnya ada program kampus merdeka, dimana peserta didik disiapkan untuk menjadi tenaga kerja yang siap dalam mendukung kebutuhan kapitalis.

Meskipun pemerintah membebaskan sekolah untuk menerapkan kurikulum baru ini, tetapi tidak bisa dipungkiri akan ada 'perlombaan' yang terjadi antar sekolah agar mereka bisa menggunakan kurikulum baru, padahal dari pihak guru sebagai pelaksana kurikulum belum siap dalam menerapkannya. 

Hal ini yang dijelaskan oleh Michael W. Apple bahwa keberadaan sekolah bisa menjadi representasi dominasi kultural karena adanya kelompok berkuasa karena sekolah yang sudah menerapkan kurikulum baru ini akan dianggap unggul oleh masyarakat dan lagi-lagi menimbulkan sekolah unggulan yang berusaha dihilangkan oleh pemerintah melalui sistem zonasi.

Walaupun pemerintah menjanjikan akan ada pelatihan-pelatihan yang bisa menunjang kesiapan sang guru, tetapi seharusnya pemerintah melakukan pemerataan pendidikan terlebih dahulu dari segi sarana prasana dan kesiapan guru sebagai pelaksana kurikulum. 

Sehingga guru tidak lagi terfokus pada pelatihan yang terus menerus dilakukan tetapi fokus pada bagaimana proses pembelajaran berlangsung dan output yang dihasilkan untuk peserta didik mereka.

Namun, sisi lainnya pada kurikulum ini siswa tidak lagi subjek yang hanya berpangku tangan dengan materi yang akan diajarkan oleh para guru, tetapi mereka akan mempunyai intelektual kritis melalui proyek atau karya tulis yang harus diselesaikan sesuai dengan minat mereka. 

Poin yang akan dijalankan oleh pemerintah juga dapat membuat peserta didik lebih memikirkan masa depan mereka ke depannya, sehingga lebih siap dalam berkembang di lingkungan masyarakat. 

Hal ini yang coba dikritik oleh Giroux bahwa peran guru seharusnya bukan lagi menjadi subjek, tetapi mengutamakan peserta didik untuk mengeksplor hal-hal yang menarik minatnya, sehingga tidak ada lagi dominasi di dalam kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun