Mohon tunggu...
Azzan Dwi Riski
Azzan Dwi Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penerapan Teori GONE dan CDMA pada Kasus Korupsi di Indonesia

27 Mei 2023   12:01 Diperbarui: 27 Mei 2023   12:40 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thumbnail (dokumen pribadi)

1. Menurut Robert Klitgaard, korupsi adalah perilaku yang melanggar tugas-tugas resmi suatu jabatan dalam negara, dengan tujuan memperoleh keuntungan atau uang untuk kepentingan pribadi (individu, keluarga dekat, atau kelompok tertentu), atau melanggar aturan dalam pelaksanaan yang berhubungan dengan perilaku pribadi (Klitgaard, 2015). Dalam konteks ini, Klitgaard mengamati korupsi yang lebih khas terjadi pada pejabat publik atau pejabat negara sebagai tindakan "menggunakan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi". Menurut Robert Klitgaard, secara historis, konsep ini merujuk pada perilaku politik yang tidak benar. Istilah korupsi, menurutnya, mencerminkan serangkaian tindakan yang merusak integritas.

2. Menurut Brooks, korupsi adalah tindakan sengaja melanggar tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau melalaikannya dengan sedikit atau tanpa keuntungan pribadi (Brooks, 2019).

3. Menurut Huntington, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi (Huntington, 2019).

4. Menurut Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary, korupsi merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan niat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah dengan memanfaatkan hak-hak orang lain. Tindakan ini melibatkan penyalahgunaan jabatan atau karakter seseorang dalam mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain, yang bertentangan dengan kewajiban dan hak-hak orang lain (Black, 1891).

5. Menurut Mohtar Mas'oed, korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau status bagi diri sendiri atau keluarga dekat (Mas'oed, 2019).

6. Menurut Sayed Hussein Alatas dalam bukunya "Corruption and the Disting of Asia", tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi meliputi penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan demi kepentingan pribadi. Alatas menyatakan bahwa sebuah perilaku dapat dikategorikan sebagai praktek korupsi jika memenuhi karakteristik berikut:

  • Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
  • Korupsi umumnya dilakukan secara rahasia.
  • Korupsi melibatkan unsur saling menguntungkan dan saling berkewajiban.
  • Pihak yang melakukan korupsi biasanya menyembunyikan diri di balik alasan hukum.
  • Pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi memiliki kepentingan terhadap suatu keputusan dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhinya.
  • Tindakan korupsi merupakan bentuk penipuan terhadap institusi publik atau masyarakat umum.
  • Setiap tindakan korupsi merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan.
  • Setiap tindakan korupsi melibatkan fungsi ganda yang bertentangan dari pelaku korupsi.
  • Korupsi mengganggu norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam masyarakat.

Dari semua pengertian korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perilaku yang melanggar aturan dan moral serta menyalahgunakan jabatan dan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dari sudut pandang hukum dan keadilan, korupsi meliputi:

a) mengambil sesuatu yang bukan haknya;

b) mengambil perbendaharaan publik atau barang dari pajak yang dibayarkan masyarakat secara tidak jujur untuk kepentingan pribadi;

c) bertindak menyimpang dari tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk diri sendiri, keluarga dekat atau kelompok tertentu.

Teori GONE Jack Bologna

Teori GONE adalah teori yang dikemukakan oleh Jack Bologna untuk menjelaskan penyebab korupsi. Teori ini menunjukkan bahwa korupsi disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu ketamakan (greed), peluang (opportunity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposure).

GONE Theory (dokumen pribadi)
GONE Theory (dokumen pribadi)
  • Keserakahan (Greed)

Dalam konteks korupsi, keserakahan merujuk pada keinginan berlebihan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau materi. Keinginan yang berlebihan (greed) merupakan faktor utama yang mendorong individu untuk terlibat dalam praktik korupsi. Manusia secara alami memiliki keinginan untuk memperoleh keuntungan dan kemakmuran. Namun, ketika keinginan tersebut melampaui batas moral dan etika, hal ini dapat menyebabkan timbulnya perilaku korupsi.

Keinginan materialistik yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang tergoda untuk mencari cara-cara tidak jujur dalam memperoleh kekayaan. Dorongan untuk mengumpulkan harta benda secara tidak sah sering kali menjadi pemicu bagi individu untuk terlibat dalam korupsi. Keinginan yang tak terpuaskan untuk memiliki lebih banyak harta dan kekuasaan menjadi pendorong bagi tindakan korupsi.

Selain itu, ambisi yang berlebihan juga dapat mengorbankan integritas seseorang. Ketika seseorang terobsesi dengan kekuasaan dan prestise, mereka mungkin merasa terdorong untuk melakukan tindakan korupsi demi mencapai tujuan mereka. Ambisi yang tak terkendali dapat mengaburkan pandangan seseorang terhadap konsekuensi moral dari tindakan korupsi yang mereka lakukan.

  • Kesempatan (Opportunity)

Peluang atau kesempatan terkait dengan ketersediaan akses yang membuka jalan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Tanpa adanya kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, kemungkinan besar seseorang tidak akan tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi. Meski pada awalnya individu tersebut mungkin tidak berniat melakukannya, namun dengan adanya kesempatan, ia memiliki opsi untuk terlibat dalam korupsi.

Seseorang yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyalahgunakan wewenang tersebut. Korupsi sering kali terjadi di kalangan pejabat pemerintah atau orang-orang yang memiliki kewenangan dan akses terhadap sumber daya penting. Kesempatan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan diri sendiri atau pihak lain secara tidak adil menjadi daya tarik yang sulit ditolak.

Kelemahan dalam sistem pemerintahan dan kurangnya pengawasan merupakan celah yang memungkinkan terjadinya korupsi. Ketika sistem tidak transparan atau lemah dalam menerapkan aturan dan hukuman terhadap praktik korupsi, peluang bagi individu yang korup untuk bertindak dengan bebas menjadi lebih besar.

  • Kebutuhan (Need)

Faktor ini berkaitan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang terlibat dalam praktik korupsi, seperti kebutuhan untuk memperoleh dana atau sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu. Terkadang ada juga kasus di mana individu merasa terpaksa melakukan korupsi karena alasan ekonomi atau kebutuhan hidup. Ketika seseorang merasa terdesak atau memiliki kebutuhan yang mendesak, mereka mungkin cenderung mencari cara-cara yang tidak sah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tindakan korupsi dalam konteks ini dapat dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

  • Pengungkapan (Exposure)

Pengungkapan atau penyingkapan berkaitan dengan kemungkinan individu yang terlibat dalam praktik korupsi untuk terungkap atau ditangkap dan tingkat keparahan hukuman terhadap pelaku. Dalam beberapa kasus, korupsi terjadi karena adanya kelemahan dalam sistem pengawasan atau pelaporan yang memungkinkan individu untuk melakukan tindakan koruptif tanpa adanya risiko yang signifikan. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan tindakan korupsi terbongkar, semakin sedikit motivasi seseorang untuk melakukannya, dan semakin berat hukuman yang diberikan kepada pelaku, maka semakin sedikit lagi dorongan seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.

Penerapan Teori GONE Pada Kasus Korupsi di Indonesia

Teori GONE dapat diterapkan pada berbagai kasus korupsi yang terjadi di indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan teori GONE pada kasus korupsi di Indonesia.

  • Kasus Korupsi Bansos Pandemi COVID-19

Penerapan teori GONE dapat dilihat pada kasus korupsi bantuan sosial di era pandemi COVID-19 di Indonesia. Kasus ini yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan sejumlah pejabat lainnya yang diduga menyalahgunakan dana bansos yang dialokasikan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat terdampak pandemi. Potensi kerugian negara dalam kasus korupsi bantuan sosial mantan Menteri Sosial RI tersebut diperkirakan mencapai Rp. 2 Triliun.

Dari faktor ketamakan (greed), para pelaku korupsi diduga ingin memperoleh keuntungan dari dana bansos dengan cara menetapkan harga lebih tinggi dari harga pasar, menambah jumlah penerima bansos fiktif, atau mengurangi kualitas barang bansos. Dari faktor peluang (opportunity), para pelaku korupsi memanfaatkan situasi darurat dan kebijakan penanganan pandemi yang kurang transparan dan akuntabel untuk melakukan praktik-praktik tidak jujur dalam proses pengadaan, pendistribusian, dan penyaluran bansos. Dari faktor kebutuhan (need) tampak dari alasan yang diberikan oleh Juliari Batubara, yaitu untuk membiayai kegiatan politik dan sosialnya. Dari faktor penyingkapan (exposure), para pelaku korupsi mungkin merasa berani karena adanya perlindungan atau kolusi dengan pihak-pihak berwenang atau berpengaruh yang dapat menghalangi proses penyidikan atau penuntutan.

  • Kasus Korupsi BLBI

Kasus korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) melibatkan Sjamsul Nursalim sebagai salah satu tersangka utama. Sjamsul Nursalim adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu obligor BLBI. Kerugian finansial dalam kasus BLBI yang terkait Sjamsul Nursalim diperkirakan mencapai Rp 4,58 triliun. Saat kasus tersebut diserahkan ke KPK, Sjamsul Nursalim beserta istrinya ditetapkan sebagai buron yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka diketahui bersembunyi di Singapura. KPK pun sudah beberapa kali melakukan pemanggilan terhadap keduanya. Namun, pasangan suami istri itu tidak pernah memenuhi panggilan KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka.

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan SP3 alias Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret nama konglomerat, Sjamsul Nursalim. KPK memberikan alasan bahwa SP3 dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum. Terlebih lagi, salah satu terdakwa dalam kasus yang sama, yaitu Syafruddin Temenggung, telah dinyatakan bebas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA).

Dalam kasus ini, Sjamsul Nursalim memiliki keserakahan (greed) yang tinggi untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Ia juga diberikan kesempatan (opportunity) untuk melakukan korupsi karena menjabat sebagai pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Selain itu, ia memiliki kebutuhan (need) yang mendesak untuk memperoleh uang dalam jumlah besar untuk menutupi kerugian BDNI. Exposure dalam kasus ini juga sangat rendah karena kasus baru terungkap setelah bertahun-tahun berlalu. Dan meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, nyatanya Sjamsul Nursalim tidak pernah berhasil tertangkap karena diduga bersembunyi di Singapura. Bahkan saat ini status buron nya juga sudah dicabut.

  • Kasus Korupsi Asabri

Kasus korupsi Asabri adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan pengelolaan dana investasi oleh PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri. Kasus ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 23,7 triliun dan melibatkan delapan tersangka, termasuk dua mantan direktur utama Asabri dan beberapa pengusaha.

Dalam kasus korupsi Asabri, dapat dikatakan bahwa para tersangka memiliki greed yang tinggi karena mereka ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari dana investasi Asabri yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan anggota TNI dan Polri. Mereka juga memiliki opportunity yang besar karena mereka dapat berkolusi dengan pihak-pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi atau manajer investasi, seperti Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Lukman Purnomosidi. Mereka membeli atau menukar saham-saham milik mereka dengan saham-saham dalam portofolio Asabri dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi, sehingga kinerja portofolio Asabri terlihat baik. Mereka juga mengendalikan transaksi-transaksi saham-saham tersebut dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan merugikan investasi Asabri.

Need dari para tersangka mungkin bervariasi, tetapi umumnya berkaitan dengan gaya hidup mewah, ambisi politik, atau keinginan untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan mereka. Exposure dari kasus korupsi Asabri sangat rendah karena tidak ada mekanisme pengawasan atau audit yang efektif dari pihak internal maupun eksternal Asabri. Bagaimana tidak, korupsi sudah dilakukan sejak tahun 2012-2019 tapi baru terendus pada Januari 2020 setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berbicara soal adanya dugaan kasus korupsi di ASABRI. Sampai akhirnya Kejagung menetapkan 8 orang tersangka dalam kasus ini pada 8 Februari 2021

Analisis Penerapan Teori GONE pada Kasus Korupsi di Indonesia

Dari ketiga contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa penerapan teori GONE dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi di Indonesia. Keserakahan merupakan faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kesempatan dan Kebutuhan yang mendesak juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk melakukan korupsi. Namun, jika seseorang yang terungkap diberikan hukuman atau konsekuensi yang tegas, maka ia akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun